Jakarta, Wartapembruan.co.id — Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menggelar diskusi publik bertajuk "Lanskap Demokrasi dan Ekonomi 6 Bulan Pemerintahan Prabowo-Gibran", pada Senin (21/4/2025) di Sekretariat PP KAMMI, Tebet, Jakarta Selatan. Kegiatan ini merupakan bagian dari refleksi kritis atas situasi nasional terkini berdasarkan kajian strategis internal dan pandangan para narasumber ahli.
Ketua Umum PP KAMMI, Ahmad Jundi, menyampaikan pentingnya kajian dalam menjaga konsistensi dan ketahanan gerakan mahasiswa. Ia mengibaratkan kajian sebagai bahan bakar yang menentukan panjang pendeknya napas perjuangan.
"Kajian itu ibarat bahan bakar. Semakin kuat kajian, semakin banyak bahan bakarnya, maka semakin panjang napas kita untuk terus bergerak," ujarnya saat membuka diskusi.
Lebih lanjut, Jundi menilai bahwa kelemahan gerakan mahasiswa saat ini adalah rendahnya daya tahan dalam menjaga visi dan konsistensi. Oleh karena itu, menurutnya, kajian yang simultan dan berkelanjutan menjadi sangat penting untuk menjaga semangat serta napas panjang gerakan.
"Dalam sebuah pertarungan, yang menang bukanlah siapa yang paling banyak membunuh, tetapi siapa yang masih bisa bernapas esok hari. Karena itu, diskusi ini adalah bahan bakar untuk menjaga napas dan semangat perjuangan kita. Gerakan hari ini kerap meletup lalu hilang, dan itu yang harus kita perbaiki," tegasnya.
Sementara itu, Agustinus Edy Kristianto sebagai pemerhati demokrasi & ekonomi, mengkritik arah pemerintahan Prabowo-Gibran yang menurutnya tidak mencerminkan proses transisi, melainkan keberlanjutan dari rezim sebelumnya. "Sejak awal, pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung ideologi atau mindset keberlanjutan. Karena itu, istilah transisi menjadi tidak relevan. Pertanyaannya: apakah ideologi keberlanjutan ini mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat?" ujarnya.
Ia juga menyoroti corak politik pemerintahan saat ini yang ditandai dengan kerukunan elite dan konsolidasi kekuatan politik. Menurutnya, praktik kekuasaan yang dijalankan cenderung mengooptasi seluruh kekuatan politik, atau dalam istilah kasarnya, "bagi-bagi lapak." Langkah tersebut, menurutnya, dilakukan demi menciptakan stabilitas dan menyenangkan semua pihak.
Dari sisi ekonomi, Rani Septyarini, peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menggarisbawahi tren negatif dalam pertumbuhan penerimaan negara. Ia menyebutkan bahwa penurunan ini disebabkan oleh keterlambatan implementasi sistem administrasi perpajakan core tax serta membengkaknya belanja akibat program-program populis Presiden Prabowo.
"Kalau kita bahas pertumbuhan ekonomi, yang paling bisa dilihat adalah pertumbuhan pajak yang kecil, yaitu negatif 27,8 persen dibandingkan tahun lalu. Kemudian pertumbuhan penerimaan bukan pajak negatif 26 persen. Itu kenapa? Ya lagi-lagi karena core tax, peralihan sistem yang membuat pengumpulan pajak jadi terlambat. Selain itu, program populis Prabowo yang menghabiskan banyak anggaran," ujaranya.
Rani juga menyoroti koreksi target pertumbuhan ekonomi yang awalnya dipatok sebesar 5 persen, namun kemudian diturunkan menjadi 4 persen. Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen. Penurunan ini dipicu oleh ketegangan perdagangan global dan perlambatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Kepala Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, Arsandi, menyampaikan bahwa diskusi ini bagian dari komitmen PP KAMMI untuk terus memainkan peran sebagai kekuatan moral dan intelektual yang kritis terhadap jalannya pemerintahan. Melalui ruang-ruang diskusi yang terbuka dan berlandaskan data, KAMMI berharap mampu membangun tradisi berpikir strategis serta memperkuat posisi gerakan sebagai mitra kritis negara.
"Evaluasi terhadap demokrasi dan ekonomi bukan sekadar soal kritik, tetapi juga upaya membangun arah kebijakan yang lebih inklusif, adil, dan berpihak pada rakyat. Di tengah stagnasi demokrasi dan tekanan fiskal, suara independen dari kelompok masyarakat sipil seperti KAMMI menjadi penyeimbang yang penting dalam memastikan arah bangsa tetap berada pada rel reformasi dan keadilan sosial," tutup Arsandi.