Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Proses pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Allianz Life Indonesia yang menyasar pekerja di bagian informasi teknologi (IT), yang kemudian diserahkan kepada Perusahaan outsoursing (alih daya), akan terjadi di bulan Juni ini, dengan menyasar 136 pekerja.
Ketua Umum Serikat Pekerja PT Allianz Life Indonesia Donny Pharma Hotman, menolak tegas proses PHK ini, karena pelindungan dan manfaat dipastikan akan berkurang, termasuk hilangnya karir kerja.
Memang tidak mungkin Perusahaan alih daya akan memberlakukan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang ada di PT Allianz Life Indonesia sehingga manfaat dan pelindungan tetap sama, termasuk tentang karir para pekerja, karena Perusahaan alidaya berbeda badan hukum dengan PT Allianz Life Indonesia.
"Serikat Pekerja (SP) Allianz Life Indonesia sudah mendatangi Kementerian Ketenagakerjaan untuk meminta bantuan agar PHK ini dibatalkan. Namun piihak Kementerian Ketenagakerjaan tidak bisa membantu sehingga PHK akan tetap terealisasi," kata Donny Pharma Hotman.
Pengamat Ketenagakerjaan yang juga Sekjen OPSI, Timboel Siregar menyatakan, penolakan PHK oleh SP Allianz Life Indonesia adalah sangat beralasan, mengingat perlindungan dan manfaat bagi pekerja di Perusahaan baru (outsourcing) dipastikan akan berkurang, termasuk ketiadaan karir pekerja. "Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan membantu agar tidak terjadi PHK tersebut," kata Timboel, Selasa (22/4/2025).
Timboel menilai, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan justru berkontribusi pada proses PHK ini, karena Presiden hingga saat ini tidak juga merevisi PP no. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu dengan membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
Kewajiban Pemerintah merevisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan adalah amanat Pasal 64 Perppu no. 2 Tahun 2022 junto UU No. 6 Tahun 2023, dan Putusan MK no. 168/PUU-XXI/2023.
Pasal 64 Perppu No. 2 Tahun 2022 yang saat ini sudah menjadi UU no. 6 Tahun 2023 berbunyi :
Ayat (1) : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Ayat (2) : Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Demikian juga Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 dengan tegas menyatakan “… sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan Sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
"Dengan lahirnya Pasal 64 di UU No. 6 Tahun 2023 dan diperkuat Putusan MK no. 168 maka seharusnya Pemerintah sudah segera merevisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan membatasi pekerjaan yang boleh dialihdayakan," tegas Timboel.
Semangat lahirnya Pasal 64 dan Putusan MK no. 168 adalah untuk membatasi pelaksanaan system kerja outsourcing (alihdaya) sehingga tidak semua jenis pekerjaan bisa dioutsourcing. Dengan pembatasan tersebut maka pekerja terlindungi sehingga tidak bisa diPHK untuk selanjutnya diserahkan kepada Perusahaan outsourcing.
Pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dioutsourcing diatur di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dioperasionalkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.
Pasal 17 ayat (3) Permenaker 19 tersebut dengan sangat jelas mengatur pembatasan hanya untuk 5 jenis pekerjaan, yang isi lengkapnya menyatakan “Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Timboel juga menilai, pembatasan pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam Revisi PP No. 35 Tahun2021 sebaiknya mengutip kembali Pasal 17 ayat (3) Permenaker 19 tahun 2012 sehingga jelas pekerjaan apa saja yang dapat dialihdayakan.
Pekerjaan IT merupakan pekerjaan utama di sebuah Perusahaan terkhusus asuransi, karena pekerjaan ini mengelola data nasabah yang harus dijaga keamanan dan kerahasiannya, serta pekerjaan yang menjadi “dapur” untuk mengembangkan bisnis Perusahaan ke depannya.
"Jadi pekerjaan IT tidak boleh dialihdayakan. Banyak resiko yang akan dialami Perusahaan dan nasabah bila pekerjaan IT diserahkan ke Perusahaan alihdaya, dan ini akan menurunkan kepercayaan public atas pengelolaan data pribadinya," tutur Timboel.
Sejak lahirnya Perppu no. 2 Tahun 2022 seharusnya Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan sudah berupaya menginisiasi revisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan melakukan pembatasan pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Namun hingga hari ini, sudah 3 tahun, belum ada kejelasan tentang revisi ini, yang menyebabkan 136 karyawan PT Allianz Life Indonesia menjadi korban.
PHK yang akan terjadi di PT Allianz Life Indonesia merupakan akibat kelalaian Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan yang tidak mematuhi hukum positif yang ada.
Sampai saat ini Timboel, belum tahu proses revisi PP no. 35 Tahun 2021, atau mungkin juga belum dilakukan atau dihentikan karena adanya efisiensi anggaran.
"Semakin lama kelalaian sistemik ini terjadi maka akan semakin banyak korban PHK lainnya, seperti yang dialami 136 pekerja PT. Allianz Life Indonesia," pungkas Timboel Siregar. (Azwar)