Oleh: Yakub F. Ismail
OPINI, Wartapembruan.co.id -- Sebulan terakhir ini bencana alam, khususnya banjir tiada henti melanda sejumlah kawasan di Jabodetabek dan wilayah lainnya.
Pemicunya sudah banyak yang tahu: hujan deras. Namun, haruskah setiap hujan (baca: periodik iklmi/cuaca) harus disertai dengan banjir?
Jika setiap hujan harus mendatangkan banjir, lalu di mana lagi letak rahmat Tuhan?
Banjir dan kehidupan masyarakat sepertinya semakin sulit terleraikan bagi masyarakat yang mendiami wilayah Jabodetabek.
Hampir dapat dipastikan kawasan ini terdampak banjir atau longsor tatkala datang hujan. Baik itu hujan dengan intesitas tinggi ataupun sedang.
Hujan pasalnya, bukan lagi sebuah keberkahan yang dikirim Tuhan melalui perantara langit. Ia justru lebih menyerupai sebuah kutukan bagi hambanya.
Lantas, sampai kapan seperti ini? Adakah sisi keadilan Tuhan di balik bencana ini?
Banjir dan Refleksivitas Diri
Filsuf berkembangsaan Jerman, Jurgen Habermas dalam konsepnya yang terkenal dengan istilah "reflesivitas" menyebut dunia ini selalu dilanda ketegangan antara idealitas dan realitas.
Manusia kerap mengharapkan cita idealitas atas dunia yang penuh materi ini. Seuatu yang ideal selalu mengandung makna kebaikan, harapan, ambisi, keinginan dan atau nilai yang diingin-capaian.
Relasi tensionalitas antara cita dan fakta ini dimediasi oleh sebuah dieliketika kehidupan yang mengatasi pikiran ang abstrak dan materi yang kasar atau aktual.
Terkadang hubungan idealitas dan realitas ini tidak sejalan dengan kesesuaian. Kesesuaian di sini tak lain apa yang diharapkan dengan kenyataan yang ada. Misal, yang diinginkan adalah "A", namun yang terjadi justru "B".
Jadi rumus sederhana ini menjadi sebuah gambaran kehidupan di mana banyak doa, harapan dan cita-cita kerap terbentur oleh kenyataan yang bertolak belakang atau tidak selaras dengannya.
Dalam medan hidup yang demikian, refleksivitas dibutuhkan. Ia merupakan sebuah kualitas diri manusia yang diperlukan saat kecemasan hadir sebagai bagian dari respons terhadap dikotomi antara fakta dan harapan (persoalan).
Refleksivitas adalah sebuah metode untuk kembali menyelam dalam diri. Berusaha mencari sumber dari segala penyebab yang membuat sesuatu menjadi berlainan atau bertentangan dengan tujuan.
Hidup, singkatnya, sebuah sebuah proses di mana manusia terus dan terus melakukan konsultasi diri untuk mengatasi setiap patahan harapan dan ruang-waktu yang telah dilalui.
Kaitannya dengan banjir ini, refleksivitas dibutuhkan untuk menangkap fakta penyebab di balik bencana yang terus melanda negeri ini, utamanya di wilayah Jabodetabek. Ada apa?
Apakah kita semua sudah benar? Apakah pejabat kita sudah benar? Apakah masyarakat kita sudah benar? Atau, jangan-jangan ada yang salah dengan cari hidup kita ini?
Lebaran, Duka Atau Kemenangan?
Satu yang paling ditakutkan di momen hari-hari ini yakni jangan sampai Lebaran yang penuh pasrah dan aktualisasi meraih kemenangan setelah bertempur sepanjang 30 hari penuh (bagi umat Islam) untuk melaksanakan ibadah puasa (menahan diri).
Seyogyanya sebuah kemenangan, ia mestinya dirayakan (baca: syariat Islam). Dalam Islam, menyarakan Hari Raya Idul Fitri adalah sebuah bentuk pengagungan terhadap Allah SWT atas rezeki dan karunia yang telah diberikan kepada hambanya.
Idul Fitri adalah simbol kemenangan bagi umat Islam dalam membersihkan diri dari noda kehidupan. Ia seperti terlahir kembali dari wujudnya yang penuh najis dan hina karena berlumuran dosa.
Momen ini harus menjadi titik awal bagi sebuah spirit baru mengawali kehidupan yang baru. Karena ia merupakan sebuah titik permulaan, maka untuk memulainya perlu persiapan, baik mental maupun fisik.
Lantas, bagaimana jika ternyata momentum penting ini hancur karena kesalahan kita mengelola tugas dan tanggung jawab sehingga dikirimkanlah bencana melalui alam yang kita rusaki?
Ketakutan itu kini terus menghantui masyarakat yang dalam siang dan malam selalu berdoa agar Hari Raya Idul Fitri 1446 H ini tidak berubah menjadi duka sosial.
Harapan ini tentu menjadi PR besar bagi pemerintah untuk memastikan seluruh persiapan tanggap bencana.
Manajemen risiko bencana, antisipasi bencana dan strategi mitigasi harus dipikirkan dan disiapkan matang-matang.
Masyarakat butuh ketenangan dan kekhusyukan di momen lebaran 2025 ini, bukan nestapa. Mereka menginginkan momentum ini menjadi titik pijak untuk menatapan hari esok.
Momentum ini juga menjadi ajang silaturahmi nasional yang harus dilakukan dengan penuh gembira dan suka cita, bukan kesedihan dan kegetiran.
Karenanya sekali lagi, jangan sampai momen Idul Fitri tahun ini masyarakat merayakannya di atas banjir.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Median Online (IMO) Indonesia*