Jakarta, Wartpembaruan.co.id – Kejanggalan hukum terjadi di Kota Bekasi, di mana Timin bin Nisan, pemilik sah atas tanah di Jatisari, justru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan tanah dan perusakan, hal itu disampaikan dirinya kepada awak media pada Rabu (19/3).
Penetapan tersangka terhadap Timin tertuang dalam Surat Ketetapan Tersangka Nomor S.TAP/23/W2025/RESKRIM yang diterbitkan oleh Polres Metro Bekasi Kota. Ia diduga terlibat dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 385 dan Pasal 170 KUHP terkait penggelapan hak atas barang tidak bergerak dan pengerusakan.
Kasus ini berawal dari laporan polisi yang teregister dengan Nomor LPB/1115/VI/2024/SPKT.Satreskrim/Polres Metro Bekasi Kota/Polda Metro Jaya pada 25 Juni 2024. Berdasarkan hasil penyidikan dan gelar perkara, penyidik menetapkan Timin sebagai tersangka meskipun ia memiliki dasar hukum kuat sebagai pemilik tanah yang sah.
Timin dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Jumat, 14 Maret 2025, di ruang Unit Krimsus Polres Metro Bekasi Kota. Penetapan status tersangka ini memicu berbagai pertanyaan dari pihak keluarga dan kuasa hukum Timin, yang menilai ada kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani kliennya.
"Kami sangat menyayangkan penetapan tersangka terhadap klien kami yang jelas-jelas memiliki hak sah atas tanah tersebut. Kami menduga ada unsur kriminalisasi dalam perkara ini," ujar Eko Ramadhani Nanto, kuasa hukum Timin.
Dugaan rekayasa hukum ini juga semakin menguat setelah adanya putusan Pengadilan Agama Tigaraksa yang mengakui Timin sebagai salah satu ahli waris sah atas tanah di Jatisari. Dalam penetapan Nomor 743/Pdt.P/2024/PA.Tgrs, disebutkan bahwa Timin merupakan cucu dari pewaris tanah, Nyi Pungut Ridin binti Kirun, yang telah meninggal dunia pada tahun 1985.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan lebih lanjut terkait kontroversi dalam kasus ini. Sementara itu, pihak kuasa hukum Timin berencana mengajukan praperadilan guna mempertanyakan legalitas penetapan tersangka terhadap klien mereka.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama dalam konteks perlindungan hak kepemilikan tanah dan keadilan hukum bagi warga yang sah secara administratif namun menghadapi kriminalisasi hukum.