Anggota Elpala SMA 68 Jakarta di Carstensz
Jakarta, Wartpembarun.co.id -- Meninggalnya dua pendaki Indonesia, Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono, akibat hipotermia saat turun dari Puncak Carstensz Pyramid pada 1 Maret 2025, menjadi perhatian serius bagi komunitas pendaki gunung. Praktisi pendakian gunung, Dar Edi Yoga, menilai bahwa insiden ini menunjukkan perlunya peningkatan standar keamanan dalam ekspedisi gunung ekstrem.
Menurut Dar Edi Yoga, faktor utama yang menyebabkan tragedi ini adalah cuaca ekstrem yang menyebabkan suhu turun drastis, diperparah oleh kondisi fisik pendaki dan keterlambatan evakuasi.
"Hipotermia bisa berkembang sangat cepat di ketinggian seperti Carstensz, terutama jika tubuh tidak terlindungi dengan baik dari angin dan basah akibat hujan atau salju," ujar Dar Edi Yoga saat dimintai pendapatnya mengenai insiden tersebut, Minggu (2/3).
Ia juga menyoroti pentingnya pakaian standar untuk pendakian gunung, yang seharusnya berbahan wol, bukan katun atau bahan lain yang menyerap air.
"Pakaian berbahan wol sangat penting karena tetap bisa menghangatkan tubuh meskipun dalam kondisi basah. Pendaki yang mengenakan pakaian yang tidak sesuai bisa kehilangan panas tubuh lebih cepat, meningkatkan risiko hipotermia," jelas anggota Top Ranger And Mountain Pathfinder (TRAMP) angkatan 1985 ini.
Selain itu, ia menilai bahwa pendakian ke gunung-gunung ekstrem seperti Carstensz masih memiliki keterbatasan dalam infrastruktur penyelamatan dan sumber daya darurat.
"Pendakian ke Carstensz masih menghadapi tantangan dalam hal komunikasi dan evakuasi. Dibandingkan dengan ekspedisi ke Himalaya atau Acouncagua, sistem penyelamatan kita masih perlu ditingkatkan," tambah Yoga, yang telah membawa sejumlah pendaki ke empat puncak tertinggi dunia.
Ia merekomendasikan beberapa langkah perbaikan ke depan, termasuk penggunaan radio satelit atau GPS darurat, penambahan jumlah tim rescue yang siaga 24 jam, serta regulasi ketat terkait perlengkapan wajib pendaki yang mencoba jalur ekstrem seperti Carstensz.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa pendakian gunung, terutama di ketinggian ekstrem, selalu memiliki risiko besar. Dengan persiapan yang lebih matang, baik dari sisi pendaki maupun sistem penyelamatan, diharapkan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.