Banten, Wartapembaruan.co.id ~ Kritik dan protes terhadap proses revisi UU TNI merupakan hal lazim dalam sistem demokrasi di Indonesia yang masih mencari format kematangan dalam pelaksanaannya. Yang tidak lazim itu justru dalam tata cara pelaksanaan pembahasan yang dilaksanakan di luar gedung DPR RI sehingga bertentangan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi penghematan anggaran yang sudah dilakukan pada semua mata anggaran, sehingga harus berhemat, tidak seperti yang dilakukan DPR RI saat membahas UU TNI untuk disempurnakan, 21/03/25.
Kecuali itu yang lebih pokok adalah acara pelaksanaan pembahasan UU TNI itu dilakukan secara tertutup, tidak menganggap penting untuk melibatkan warga masyarakat yang masih tetap diklaim diwakili oleh DPR RI.
Padahal, sangat mungkin revisi UU TNI itu sungguh akan lebih baik dan mendapat persetujuan dari warga masyarakat, karena mungkin sekali akan lebih menguntungkan masyarakat yang akan ikut menikmati nilai manfaatnya.
Celah dari praktik dwifungsi ABRI yang pernah dipraktikkan semasa Orde Baru memang telah membuktikan tersingkirnya peran masyarakat sipil, lantaran mulai dari kepala daerah -- bupati, Walikota dan Gubernur bahkan ketua DPRD tingkat II hingga tingkat I dan pusat diduduki oleh personil militer hingga prajurit TNI yang telah pensiun, seperti pada masa Orde Baru.
Trauma masa lalu semasa Orde Baru ini memang tak elok untuk diulang. Maka itu wajar saja kecurigaan rakyat yang mendambakan demokrasi, tegaknya supremasi sipil jadi mengemuka dan menjadi isu dalam aksi unjuk rasa pada acara pembahasan revisi UU TNI di luar gedung DPR RI, apalagi kemudian dilakukan secara tertutup. Hingga terkesan ada sesuatu yang tidak baik hendak diselundupkan dalam UU TNI tersebut.
Sejatinya, peran TNI yang maksimal dalam menjaga ketahanan dan pertahanan negara yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pejuang dahulu dengan pengorbanan yang tidak terkira nilainya itu -- sampai jiwa, raga bahkan nyawa -- patut dijaga bersama segenap elemen masyarakat.
Agaknya, dari perspektif nasionalis kebangsaan seperti itulah, aksi dan unjuk rasa berbagai elemen masyarakat itu patut dan pantas dipahami, tidak semerta-merta memposisikan aksi dan unjuk rasa itu hanya untuk menimbulkan kegaduhan. Apalagi sikap lancang dan songong para wakil rakyat itu terkesan mengabaikan suara rakyat dan tetap mengambil kesempatan untuk menghambur-hamburkan duit yang didulang dari keringat rakyat.
Penegasan bahwa TNI sebagai tentara profesional yang tidak berpolitik, tidak berbisnis dan tunduk pada kebijakan politik negara seperti yang termaktub dalam Pasal 2 butir d. Begitu pula kesepakatan untuk Pasal 39 yang melarang prajurit aktif untuk menjadi anggota partai politik, berpolitik praktis, berbisnis dan mengikuti (sebagai peserta Pemilu).
Begitu juga dalam pasal 47 ayat 2 dari UU TNI tersebut tidak berubah, bahwa prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil tetap harus mengundurkan diri atau memilih pensiun.
Adapun penambahan 5 instansi negara yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif pada pada 42 ayat 2 justru semacam limitasi (pembatasan) seperti yang diungkap TB. Hasanuddin yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Lima institusi tambahan itu diantaranya adalah pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung.
Setidaknya, jika revisi UU TNI dapat segera disahkan, maka sejumlah personil TNI aktif yang menduduki jabatan di BUMN, Bulog, Kemenhub dan instansi lainnya diluar 15 instansi yang telah disahkan itu, wajib dan harus mengundurkan diri atau pensiun dari TNI bila masih ingin menduduki jabatan sipil tersebut.
Pernyataan TB. Hasanuddin, mantan anggota TNI yang kini berada aktif di partai politik dan menjadi anggota DPR RI dapat menjadi rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan secara lahir (hukum positif) maupun batin (terhadap Allah SWT) sebagai umat beragama yang baik, dan paham terhadap dosa serta ganjaran dari Yang Maha Kuasa.
Pernyataan TB. Hasanuddin bahwa tidak ada penambahan jumlah Kementerian/ lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI dan tidak adanya perubahan terhadap pasal-pasal yang melarang praktik dwifungsi TNI. Bahkan, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini juga meyakinkan revisi UU TNI ini justru memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara. Setidaknya untuk fungsi dan peranan TNI Angkatan Laut yang sebelumnya terkesan tidak memiliki otoritas di laut Indonesia yang sangat rentan dijamah dan dirayah kekayaannya oleh bangsa asing. Jadi masalah kegaduhan dalam pelaksanaan pembahasan revisi UU TNI tersebut, lantaran etika dan tata cara pelaksanaan dari pembahasan revisi UU TNI itu, mengabaikan peran dan suara rakyat, serta pemborosan dana dalam kondisi ekonomi nasional yang parah sedang mendera penderitaan rakyat.
Jadi keculasan DPR RI dalam pelaksanaan pembahasan revisi UU TNI sungguh telah melukai hati rakyat. Padahal, materi dari isi pembahasannya, sangat mungkin tidak satu pun yang bermasalah, seperti riuh dicemaskan banyak orang.
Jacob Ereste :