Oleh: Tmboel Siregar (Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kehadiran pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja ojek online (Ojol) sangat mendukung percepatan pergerakan barang dan jasa di Masyarakat, yang akan mendukung peningkatan perekonomian Indonesia seperti pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pajak untuk mengisi pundi-pundi APBN.
Perdebatan tentang status kerja Pekerja kemitraan ini terus terjadi. Pemerintah masih memposisikan pekerja kemitraan ini sebagai pekerja di luar hubungan kerja, yang tidak memiliki tiga unsur yaitu upah, perintah dan pekerjaan.
Dampak tidak diakuinya Pekerja Kemitraan tersebut sebagai pekerja dalam hubungan kerja (atau pekerja formal) adalah minimnya pelindungan bagi mereka. Harus diakui bahwa selama ini Pemerintah tiadak memiliki regulasi yang melindungi pekerja di luar hubungan kerja seperti pekerja ojol ini. Pemerintah terlalu sibuk mengatur pekerja di dalam hubungan kerja, yang memposisikan pekerja di luar hubungan kerja terus termarjinalkan dalam meraih kesejahteraannya.
Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengamanatkan Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan, salah satunya, adalah memberikan pelindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
Dan pada Pasal 1 angka 31 UU Ketenagakerjaan dengan sangat jelas memposisikan Pembangunan Ketenagakerjaan juga menyasar bagi pekerja di luar hubungan kerja. Secara lengkap isi Pasal 1 angka 31 tersebut adalah Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Atas amanat regulasi tersebut di atas maka Pemerintah seharusnya sudah meregulasikan tentang pekerja di luar hubungan kerja seperti pekerja kemitraan berbasis digital.
Ada kekhasan bagi pekerja kemitraan berbasis digital ini dibandingkan dengan pekerja di luar hubungan kerja lainnya yang memang hanya melibatkan dua pihak. Pekerja kemitraan ini melibatkan tiga pihak yaitu Perusahaan aplikator (penyedia aplikasi), konsumen dan pekerja. Ketiga pihak ini sangat terkait satu sama lain yang mendapat nilai tambah dari relasi yang dibangunnya. Namun ada ketimpangan dalam memperoleh nilai tambah pendapatan dari relasi tersebut antara pekerja dan aplikator yang menyebabkan kesejahteraan pekerja ojol tidak membaik.
Perusahaan aplikator memegang kekuasaan untuk mengatur pekerja ojol yang tertuang dalam Perjanjian Kemitraan, termasuk tidak memasukkan kewajiban mendaftarkan pekerja ojol ke jaminan sosial ketenagakerjaan (Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian) seperti yang diamanatkan Pasal 34 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 5 Tahun 2021, ke dalam Perjanjian Kemitraan.
Oleh karenanya untuk mendukung kesejahteraan pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja ojol, sesuai amanat Pasal 1 angka 31 dan Pasal 4 UU Ketenagakerjaan, maka penting hadirnya intervensi positif Pemerintah untuk menyeimbangkan antara aplikator dan pekerja ojol.
Untuk masalah ketenagakerjaan yang sudah ada regulasinya, Pemerintah harus tegas ke seluruh aplikator untuk memasukan kewajiban mendaftarkan jaminan sosial di Perjanjian Kemitraan, dan memastikan aplikator benar-benar mendaftarkan seluruh pekerja kemitraan berbasih digital ke BPJS Ketenagakerjaan.
Selain jaminan sosial, penting diregulasikan tentang pembagian pendapatan antara pekerja dan aplikator termasuk Tunjangan Hari Raya (THR), jam kerja pekerja, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) termasuk Alat pelindung diri, hak berserikat dan bernegosiasi, dsb.
Pemerintah telah menjanjikan akan melindungi pekerja kemitraan tersebut namun sampai saat ini tidak ada regulasi yang terbit sebagai dasar yuridis perlindungan tersebut.
Saya mendapat informasi bahwa draft regulasi tersebut sudah ada namun Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan belum menandatanganinya.
Saya berharap Pemerintah benar-benar mau melindungi pekerja kemitraan tersebut, dan untuk jangka waktu dekat menjelang Hari Raya Iedul Fitri Pemerintah seharusnya sudah merilis ketentuan THR untuk pekerja kemitraan seperti pekerja ojol ini. Bukankah Kementerian Ketenagakerjaan sudah pernah menjanjikan THR dan berkeinginan untuk mengaturnya dalam regulasi.
Kehadiran THR bagi pekerja kemitraan ini sangat penting untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan keluarganya dalam merayakan hari Raya Iedul Fitri, dan pemberian THR ini pun akan mendukung peningkatan daya beli Masyarakat sehingga perekonomian semakin meningkat.
Saya mendesak Pemerintah untuk berani dan tegas kepada Perusahaan aplikator sehingga pembayaran THR di tahun 2025 ini segera terealisasi, dan hal ini akan menjadi momentum baik bagi Pemerintahan Prabowo merealisasikan janji kampanyenya untuk kalangan pekerja/buruh khususnya pekerja ojol dan pekerja kemitraan berbasi digital lainnya. (Azwar)
Pinang Ranti, 17 Februari 2025