Iklan

BPJS Kesehatan 2024: Apakah Masih “Sehat”?

warta pembaruan
07 Februari 2025 | 8:38 AM WIB Last Updated 2025-02-07T01:38:00Z

  


Oleh : Dr. Drs. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc,CIRB, FISQua (Pemerhati Jaminan Sosial/Ketua DJSN 2010-2015/Dosen FISIP UNAS)


Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Pertanyaan di atas belakangan ini sering masuk ke whatsapp saya, atau jika ada berbagai kesempatan bertemu dengan teman-teman yang mengenal saya sebagai orang yang turut serta bertanggung jawab proses transformasinya PT.Askes menjadi BPJS Kesehatan dengan program tunggalnya JKN sesuai dengan UU BPJS ( Nomor 24 Tahun 2011).

Teman-teman ada yang berkelakar, *“jangan sampai BPJS Kesehatan yang menjamin kesehatan pesertanya, lembaganya sendiri tidak sehat”*.

Jawaban singkatnya “BPJS Kesehatan masih  sehat dengan catatan”. Untuk jawaban panjangnya dapat kita kaji dari beberapa aspek, sesuai dengan pedoman pada Perpres 59/2024.

Kondisi umum keuangan akhir 2024, BPJS Kesehatan dapat mengumpulkan iuran dari seluruh peserta sebesar Rp. 163,9 triliun, dari yang direncanakan Rp. 157,7 triliun. Artinya melampui target 104%. Apakah karena targetnya yang rendah atau BPJS Kesehatan gaspol mengejar mereka yang menunggak dan cakupan kepesertaan yang bertambah, itu memerlukan kajian tersendiri.

Bagaimana dengan biaya manfaat yang harus dibayarkan kepada faskes? BPJS Kesehatan merencanakan pembayaran manfaat Rp. 176,7 triliun. Ternyata sampai akhir 2024, manfaat yang dibayarkan lebih sedikit yakni Rp.174,9 triliun (98,9%). Walaupun beban manfaat berkurang dari yang diproyeksikan, tetapi masih melampui dari besaran iuran yang terkumpul dengan selisih sekitar Rp. 10 triliun.

Mari kita cermati Asset BPJS Kesehatan (DJS), diperhitungkan akan berkurang menjadi Rp. 78,2 triliun, tetapi sampai akhir Desember 2024, dapat dikendalikan pada angka Rp. 82,4 triliun. Bagaimana dengan beban utang (liabilitas) ternyata sampai akhir Desember 2024, masih cukup besar Rp. 32,8 triliun. Beban utang ini termasuk pending klaim terhadap faskes. Memang BPJS Kesehatan memproyeksikan utang yang harus dibayar sebesar Rp. 35,5 triliun.

Dengan besaran Asset BPJS Kesehatan Rp. 82,4 triliun, dan beban utang Rp. 32,8 triliun, maka Asset Netto sebesar Rp. 49,5 triliun. Angka ini sebenarnya  terus menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi tahun 2024 penurunan Asset Netto bisa “agak” dikendalikan. Karena menurut RKAT 2024 (Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan) Asset netto  bersisa Rp. 42,7 triliun.

Asset Netto sebesar Rp. 49,5 triliun itu, menjamin estimasil pembayaran klaim  sekitar 3,5 bulan. Angka itu cukup aman untuk kelangsungan hidup BPJS Kesehatan.

Sekarang kita melihat dari aspek kepesertaan.

Secara kuantitatif sudah mencapai UHC (98%) dari jumlah penduduk. Bahkan beberapa Pemda Kabupaten/Kota, dan Provinsi yang sudah mendeklarasikan UHC 100%. Bahkan saat ini kepesertaan JKN sudah dapat di Link-NIK/KTP elektronik. Jadi kalau kita tidak bawa kartu JKN, cukup menunjukkasn KTP saja.

Secara kualitas kepesertaan, memang masih ada masalah. Peserta non aktif yang menunggak membayar iuran masih cukup besar angkanya. Walaupun angka itu dinamis. Ada peserta yang kembali aktif, jika memang sakit dan membutuhkan  JKN, maka mereka mengaktifkan kepesertaannya dengan membayarkan denda tunggakan iuran, dan juga beban tambahan biaya dalam pelayanan kesehatan di RS.

Kepindahan FKTP peserta, dibeberapa daerah masih rumit, dan bertele-tele dengan birokrasi daerah. Ada tiga pihak yang terlibat dalam perpindahan FKTP. Peserta dapat meminta kepindahan FKTP nya ke BPJS Kesehatan cabang setempat. BPJS Kesehatan tidak punya otoritas tunggal. Jika perpindahan antar PKM harus berkoordinasi dengan Dinkes Kab/Kota. Jika pindah dari PKM ke Klinik, harus melibatkan Asosiasi faskes setempat. Mekanisme ini juga fair sebenarnya. Tetapi akan menjadi kesulitan tersendiri, karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu terutama di birokrasi dan bukan tidak mungkin di BPJS Kesehatan Cabang setempat.

Dari Aspek Pelayanan Kesehatan.

Secara keseluruhan jaringan pelayanan kesehatan JKN sudah sangat luas. Bahlkan seluruh Puskesmas, dan jaringan faskes sekunder milik negara merupakan mitra BPJS Kesehatan. Sebagian besar klinik-klinik swasta mitra BPJS Kesehatan, termasuk TPMD dan TPMDG. Lebih 20.000 jumlahnya.

Namun persoalan pemerataan fasiltas faskes baik primer maupun sekunder, masih menjadi kendala utama, terutama daerah terpencil, terluar dan perbatasan. Banyak klinik yang tidak dapat ikut kerjasama BPJS Kesehatan karena tidak memenuhi persyaratan administrative yang disyaratkan.

Kalau pada awalnya banyak RS Swasta yang belum mau ikut BPJS Kesehatan. Sekarang dengan cakupan 98% penduduk menjadi peserta, sudah dapat dipastikan jika RS tidak kerjasama dengan BPJS Kesehatan, akan sulit menjalankan operasionalisasi RS. Ada beberapa RS yang sudah tutup, karena diputus kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan karena melakukan fraud.

Masih jadi persoalan di FKTP sebagai _gate keeper,_ adalah fungsi FKTP sebagai gate keeper untuk 144 jenis penyakit semakin lemah. Akses pelayanan peserta ke FKTL semakin meningkat. FKTP sekarang ini ada yang langsung saja memberikan rujukan ke FKTL, dari pada melakukan upaya promotif dan preventif.

Terkait pelayanan kesehatan di faskes,  secara regulasi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, bukan BPJS Kesehatan. Tetapi tentu BPJS Kesehatan punya tanggung jawab mandatory untuk memastikan peserta JKN yang iurannya  ditarik BPJS Kesehatan, mendapatkan  pelayanan kesehatan sesuai haknya.

Persoalan yang paling berat dihadapi BPJS Kesehatan pada tahun 2024 adalah isu klaim RS yang menyimpang bahkan ada yang fiktif sama sekali (phantom billing). Tapi jumlah RS yang melakukannya tidaklah banyak. Mereka mendapatkan sanksi denda pengembalian atas klaim yang sudah dibayar.

Lebih terpuruknya ada RS yang sudah membayarkan denda dimaksud, ternyata kerjasama dengan RS tidak dilanjutkan. Karena dana operasional RS dari klaim JKN, sedangkan kerjasama diputus, akibatnya ada yang sudah mem PHK karyawannya. Bahkan ada yang ingin menjual RS.

Implikasi-implikasi itu terjadi karena hampir 100% pasien RS adalah peserta JKN. Bayangkan kalau tidak ada peserta JKN, RS akan collaps. Hal-hal seperti ini terkadang tidak dipikirkan oleh pengelola RS, apakah itu Manajemennya maupun owners nya.

Ada saran yang bagus sebenarnya. Kalau ada fraud, pengelolanya saja yang diperkarakan, tapi kerjasama jangan diputus. Ganti manajemennya, jika perlu proses pergantian Manajemen di supervise oleh BPJS Kesehatan.

Tidak kalah penting peran asosiasi faskes yang harus berani menghadapi persoalan yang dihadapi anggotanya. Assosiasi  harus terus-menerus mengadvokasi RS anggotanya dan menyiapkan team Pengacara yang  membela kliennya. Assosiasi harus berdiri tegak, membusungkan dadanya untuk sama-sama mencari solusi jika ada persoalan penyimpangan dan manipulasi klaim RS. Kalua Assosiasi sudah tiarap, ya habislah anggotanya.

Sekarang ini hubungan kerjasama sebagaimana suatu kemitraan antara BPJS Kesehatan dengan FKTL tidaklah seimbang. FKTL merupakan entitas yang lemah menghadapi BPJS Kesehatan yang begitu kuat. Apalagi kalau Assosiasinya  juga ayam sayur. Posisi negosiasi tidak berimbang.

Berbeda pada tahun 2014 yang lalu, dimulainya program JKN sebagian besar FKTP swasta tidak berminat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Karena pasien umumnya masih banjir. Sekarang memang roda sudah berputar. Assosasi yang berperan sebagai mediator yang handal untuk membangun sinergitas antara penyedia dana dengan penyedia pelayanan yang sama-sama penting.

Sekarang kita bicara iuran.

Iuran JKN belum optimum sesuai dengan nilai keekonomian. Saatnya penyesuaian dengan memperhatikan factor inflasi, kenaikan harga bahan obat, dan alkes.

Tarif pelayanan sudah disesuaikan, tetapi belum diikuti kenaikan iuran. Akibatnya Asset Netto DJS terus mengalami penurunan. Saat ini tidak balance antara penerimaan iuran dengan biaya manfaat yang dikeluarkan. Untung masih ada cadangan Asset Netto. Kapan saat yang tepat menaikkan iuran. Menurut analisis kita, paling lambat awal tahun 2026. Jika tidak, kemampuan pembayaran klaim yang saat ini 3,5 bulan, boleh jadi tinggal 1 bulan, itu sudah lampu merah.

Karena BPJS Kesehatan itu badan hukum publik, dimana sebagai pemiliknya adalah mereka yang menjadi peserta dan membayar iuran JKN. Maka salah satu prinsipnya dari 9 prinsip  UU SJSN, adalah badan jaminan social itu harus nirlaba.

UU SJSN juga mengharuskan BPJS memisahkan pembukuan pengelolaan keuangan. Buku pertama adalah terkait dana badan. Dana ini harus dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan operasional lembaga. Sumber dana ini adalah warisan sewaktu masih PT. Askes, dan sejumlah kecil disisihkan dari Dana Jaminan Sosial (DJS) untuk dukungan biaya operasional lembaga. Buku kedua mencatat Dana Jaminan Sosial (DJS) yakni dana yang berasal dari iuran peserta. Saat ini terkumpul Rp. 163 triliun dari 98% penduduk, walaupun masih ada yang menunggak iuran.

DJS ini harus bersifat nirlaba. Dana itu tidak boleh dikelola secara bisnis untuk kepentingan lembaga atau pemerintah. Dana itu harus digunakan seluruhnya untuk membayar biaya kesehatan peserta, dengan sedikit cadangan. Agar keberlangsungan DJS untuk pembayaran faskes tidak terputus, maka daya tahan jangka waktu pembayaran klaim tidak boleh kurang dari 1,5 bulan, dan tidak boleh lebih 6 bulan.

Batas maksimum 6 bulan itu ditujukan agar BPJS Kesehatan tetap terkendali sebagai lembaga nirlaba. Prinsip ini salah satu yang membedakan dengan private insurance. Disamping pesertanya bilangan besar, sehingga iurannya bisa tidak sebesar private insurance. Keunggulan JKN BPJS Kesehatan  yang lain sesuai dengan UU, peserta yang sakit harus mendapatkan pembiayaan kesehatan sesuai dengan indikasi medis, komprehensif mulai promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dengan kata lain sesuai dengan perintah UU SJSN, negara mengharuskan kepada BPJS Kesehatan dengan pengawasan eksternal oleh DJSN dan pengawasan internal oleh Dewas BPJS Kesehatan harus dapat memastikan besaran iuran tidak boleh over, berlebihan atau terlalu tinggi sehingga penumpukan Asset Netto DJS melampui 6 bulan kemampuan bayar klaim. Tetapi juga tidak boleh terlalu rendah sehingga kemampuan bayar klaim dibawah 1,5 bulan. Jika itu yang terjadi, maka disebut DJS BPJS Kesehatan mengalami defisit.

Aspek lain yang juga perlu dicermati adalah Pembayaran ke fasilitas kesehatan.

Sejak paska Covid 19, dan penyesuaian tarif JKN, tidak ada isu terkait pembayaran ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga memperbaiki besar klaim faskes. Walaupun kenaikan paket Ina-CBGs dan kapitasi, tidak memuaskan sebagian faskes, tetapi juga sudah mampu memperbaiki performance pelayanan dan fasilitas faskes.

Ada kebijakan yang memudahkan cash flow faskes, yakni memberikan uang muka 50% dari pengajuan klaim yang masuk, dan sisanya dibayarkan sesudah verifikasi clear and clean oleh verifikator. Kalau faskes bekerja secara professional dan akuntabel, tidak neko-neko, dipastikan faskes itu akan sehat dan berkembang. 

Jika FKTP dapat cakupan peserta kapitasi lebih dari 5.000 bisa hidup dengan layak. Jika kurang FKTP itu memang agak sulit untuk mengembangkan dirinya.

Godaan terbesar untuk melakukan moral hazard dan fraud adalah di FKTL. Model klaim Ina-CBGs, dan kelompok varian penyakit yang beraneka jenis, bisa terjadi bermacam-macam soal. Mulai dari up coding, phantom billing dan lain-lain. Pola klaim ini mengundang FKTL tergoda untuk mendapatkan keuntungan yang  berlipat. Disinilah seharusnya Assosiasi rumah sakit melakukan pengawasan dan mengingatkasn RS untuk jangan bermain-main dengan klaim. Tim Cash-Mix di RS harus punya integritas yang tinggi. Jangan mau digoda Manajemen atau owners untuk manipulasi klaim.

Kita juga dapat memahami jika BPJS Kesehatan Cabang setempa membuat efek jera jika ada manipulasi klaim. Tindakan pending klaim, mengembalikan dana, dan pemutusan kerjasama belakangan ini ramai kita dengan diberbagai pemberitaan. Kalau sudah begini siapa yang disalahkan.

Dalam suatu diskusi daring saya dengan dengan ratusan tenaga kesehatan yang terlibat di faskes, ditanyakan jika terjadi “sengketa” yang diuraikan diatas, siapa yang harus menjadi penengah. Saya mengatakan menurut UU SJSN, tugas itu harus dilakukan oleh DJSN. Sebab sebanyak 15 orang anggota DJSN, terdiri dari 4 untuk keterwakilan. Unsur pemerintah, unsur tokoh/ahli jaminan social, unsur pemberi kerja dan unsur pekerja. Posisi legal DJSN itu cukup kuat. Tinggal bagaimana mengoptimalkan fungsi dan peran DJSN

Aspek keuangan.

Aspek ini merupakan persoalan pokok bagi BPJS Kesehatan. Ibarat darah yang mengalir keseluruh tubuh manusia membawa oksigen sebagai pembakar (energy) agar BPJS Kesehatan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya yakni menjamin peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya secara baik.

Sumber utama keuangan BPJS Kesehatan adalah Dana Jaminan Sosial (DJS) yang bersumber dari iuran peserta. Jenis peserta ini bermacam-macam. Ada pekerja yang bekerja dengan pemerintah maka iurannya dibayarkan sharing dengan sejumlah persentase tertentu . Pola yang sama juga untuk pekerja yang bekerja di sector swasta dan BUMN.

Bagi peserta yang mengkais rejekinya secara mandiri, tidak digaji pihak lain, maka iurannya dibayarkan secara mandiri dan sejumlah nominal tertentu. Demikian juga untuk orang miskin dan tidak mampu dan penyandang cacat total tetap, iurannya dibayarkan oleh permerintah dengan nominal tertentu. Jadi jelas, fundamental keuangan BPJS Kesehatan itu kuat dan jelas. Oleh karena itu undang-undang melarang BPJS Kesehatan menggunakan DJS diluar kepentingan kemanfaatan pelayanan kesehatan pesertanya. Itu harga mati.

Tetapi yang menjadi persoalan saat ini, adalah bagaimana mampu BPJS Kesehatan melakukan proteksi atas kebijakan kementerian tertentu yang “memaksa”  BPJS Kesehatan melaksanakan program-program pengembangan diluar kewajiban BPJS Kesehatan. Disinilah tantangan utama tim Direksi  BPJS Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kalaupun ada kebijakan khusus yang harus dilakukan BPJS Kesehatan terutama penggunaan DJS, legal standingnya harus dengan Instruksi Presiden. Tidak bisa dengan Kepmen.

Mandatori BPJS Kesehatan sebagai payers yang harus mengutamakan kehati-hatian, juga memastikan tersedianya keuangan yang cukup dan memadai. Sehingga kewajiban pembayaran kepada faskes  tanggal 15  setiap bulannya dan jika melampui ada sanksi denda sejumlah persentase tertentu yang diatur dengan PP. Pembayaran tepat waktu dan tepat jumlah harus  menjadi komitmen yang dipegang BPJS Kesehatan. Diawal tulisan saya, sudah diuraikan tentang performace keuangan BPJS Kesehatan.

Perintah UU SJSN dan UU BPJS ditindak lanjuti dengan Perprres JKN, bahwa iuran sebagai sumber utama DJS harus ditinjau secara periodik.

Persoalan keuangan BPJS Kesehatan berkaitan dengan manfaast, tarif dan iuran. (Perpres 59/2024) pasal 103B angka (8), mengharuskan ditetapkan paling lambat 1 Juli 2025. 5 bulan kedepan bukanlah waktu yang lama untuk merumuskan suatu manfaat yang komprehensif, dikaitkan dengan besaran tarif dan iuran.

Perpres 59/2024 juga menetapkan pada pasal 103B angka (1) bahwa penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) harus diberlakukan di semua Rumah Sakit paling lambat 30 Juni 2025. Definisi kelas standar itu berapa tempat tidur setiap kamar sampai sekarang masih perdebatan tim antar sector  yang ditetapkan dalam Perpres 59/2024.

Tim antar sector itu adalah Kemenkes, Kemenkeu, BPJS Kesehatan, DJSN dan Asosiasi Faskes Rumah sakit. Tidak mudah membangun kesepakatan diantara sector itu. Persoalan utama yang mereka hadapi adalah benturan penetapan rawat inap kelas 1, 2 dan 3, yang diatur dalam Perpres JKN sebelumnya. Ada benturan dengan peserta yang eksisting yang tidak mau diturunkan hak kelas perawatannya.

Persoalan tarif apakah single tarif atau double tariff, dan apakah rawat inap kelas standar itu dimaknai satu jenis kelas standar atau dua jenis kelas standar. Penyelesaian persoalan itu harus tuntas sebelum 30 Juni 2025. Memaqng tidak mudah menyatukan pendapat jika tidak diawali dengan pemahaman filosofi Perlindungan dan Jaminan Sosial secara mendalam oleh mereka yang punya wewenang membuat kebijakan. Terutama yang terkait dengan prinsip asuransi social dan equitas pelayanan kesehatan.

Aspek Organisasi dan Kelembagaan.

BPJS Kesehatan merupakan lembaga negara yang berbentuk badan hukum publik. Hubungan kelembagaan dengan lembaga negara lainnya adalah kemitraan dan kolaboratif. Alas hukumnya dua UU yakni UU SJSN (Nomor 40/2004) dan UU BPJS (No.24/2011). Kedua undang-undang itu bersifat Lex specialist. Undang-undang tersebut steril dari  peran kementerian atau lembaga negara lain. UU itu punya otoritas tunggal terkait pengaturan Jaminan social yang  diamanatkan dalam Konstitusi Pasal 28 dan 34.

Perlu diketahui bahwa aturan pelaksanaan JKN, ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres), sedangkan PBI, Hubungan Antar Lembaga dan pengaturan Asset dan Liabilitas ditetapkan dengan PP karena berlaku untuk kedua BPJS (Naker dan Kesehatan). Dalam hal yang spesifik seperti batas teratas tariff JKN ditetapkan dengan Permenkes, dan regulasi teknis kepentingan BPJS Kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Badan dan atau Peraturan Direksi.

Perpres 59/2024 juga dalam pasal-pasalnya memberikan ruang yang cukup untuk adanya pengaturan pelaksanaannya ditetapkan dengan peraturan BPJS Kesehatan tetapi ada yang tidak sedapnya, ada narasi tambahan “setelah berkoordinasi dengan Kementerian terkait”.  Ini rumus lepas kepala, pegang ekor. Mungkin kementerian takut BPJS Kesehatan menjadi “kuda liar”.

Saat ini dalam implemenasi di lapangan, pihak yang posisinya paling lemah  adalah FKTP dan FKTL dan Asosiasi faskes. Padahal eksistensi Asosiasi faskes diakui dalam UU SJSN dan BPJS. Cermati Surat Perjanjian Kerja Sama faskes dengan BPJS Kesehatan, isinya berat sebelah dan menguntungkan BPJS Kesehatan. Asosiasi Faskes bukan lembaga yang kuat dan berwibawa didepan BPJS Kesehatan.

Saatnya kini Asosiasi Faskes diperkuat dengan tingkat kredibiltas yang tinggi. Agar mekanisme _check and balances_ dapat berjalan dengan baik. Semoga. (Azwar)


Cibubur, 6 Februari 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • BPJS Kesehatan 2024: Apakah Masih “Sehat”?

Trending Now

Iklan