Oleh: Timboel Siregar (Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Berita akhir tahun 2024 yang menyuguhkan data Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mencapai angka 80 ribu selama 2024 menjadi pembicaraan hangat dan sekaligus menjadi keprihatinan kita bersama.
Ancaman PHK akan terus berlanjut di 2025, dan jumlahnya berpotensi semakin meningkat dengan segala kondisi kebijakan perekonomian yang belum melindungi produk dalam negeri.
Impor produk asing akan terus berlanjut dan membanjiri pasar Indonesia, sementara produk lokal akan kalah bersaing di pasar Indonesia sendiri. Demikian juga produk ekspor kita terus mengalami penurunan permintaan karena kondisi geopolitik Internasional, dan para Duta Besar kita masih belum mampu membuka pasar ekspor baru untuk produk kita.
Kehadiran UU Cipta Kerja yang dijanjikan Pemerintah dan DPR akan membuka lapangan kerja lebih banyak sehingga bisa mengatasi defisit Angkatan kerja ternyata hingga tahun keempat (di tahun 2024) belum mampu memenuhi janjinya tersebut. Bukan mengatasi defisit Angkatan kerja, yang terjadi malahan angka PHK semakin besar.
PHK memang menjadi ancaman nyata untuk peningkatan angka kemiskinan. Akibat PHK, jumlah kelas menengah menurun (2019 - 2024), dan penurunan ini menjadi awal kemiskinan sistemik.
UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja mengamanatkan Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun amanat baik ini ternyata hanya ada di atas kertas saja.
Ancaman PHK yang lebih besar 2025 coba diantisipasi oleh Pemerintah dengan menggelontorkan paket kebijakan ketenagakerjaan yaitu diskon pembayaran iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 50 persen selama 6 bulan (Januari hingga Juni 2025), dan pembebasan PPh 21 untuk upah hingga Rp. 10 juta per bulan. Keduanya hanya untuk sektor padat karya.
Seharusnya upaya pencegahan PHK terus dilakukan Pemerintah agar angka PHK benar benar bisa diminimalisir. Ancaman PHK terjadi di semua sektor industri, termasuk di sektor kesehatan yaitu di Rumah Sakit (RS) dan Klinik.
Akhir tahun bagi beberapa RS swasta dan klinik (tidak untuk faskes pemerintah) menjadi masalah ketika ada pemberitahuan dari BPJS Kesehatan yang tidak memperpanjang kerjasama untuk melayani pasien JKN. Dengan fakta hampir 80 hingga 90 persen pasien di RS adalah pasien JKN maka pemberitahuan tersebut menjadi awal turunnya jumlah pasien yang akan berobat ke RS dan klinik tersebut. Dan kondisi ini menjadi awal kesulitan cash flow RS dan klinik untuk membiayai keperluan mereka membeli obat, alat kesehatan, termasuk membayar dokter, perawat, bidan, dan karyawan lainnya.
Kesulitas cash flow RS akan berujung pada PHK karyawan RS, dan ini akan meningkatkan jumlah PHK di 2025. Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS merupakan pengingkaran amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Di wilayah Pekanbaru saja ada tiga RS yang tidak diperpanjang kerjasamanya yaitu RS Efarina, RS Sansani, dan RS Khusus Mata SMEC Pekanbaru. Tidak hanya RS, ada juga klinik dan Dokter Perorangan yang tidak dilanjutkan kerjasama. Pemberitahuan tidak memperpanjang Kerjasama disampaikan dalam surat resmi tanggal 30 Desember 2024, hanya dua hari sebelum tanggal 1 Januari 2025. Keputusan tidak memperpanjang Kerjasama per 1 Januari 2025 ini pun menimpa RS di daerah Tangerang, yang pemberitahuannya diberikan tanggal 27 Desember 2024.
Tentunya dasar BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS adalah terkait rekredensialing atau adanya fraud yang dilakukan RS. Namun umumnya tidak memperpanjang Kerjasama adalah karena adanya fraud.
Pasal 93 ayat (1) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 mengamanatkan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/ kota dapat memberikan sanksi administratif bagi setiap orang atau korporasi yang melakukan Kecurangan (fraud). Ini artinya sanksi hanya diberikan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota terhadap fasilitas Kesehatan yang melakukan fraud, bukan diberikan oleh BPJS Kesehatan.
Pada ayat (2) dan (3) mengamanatkan sanksi bagi fasilitas Kesehatan yang melakukan fraud, yaitu sanksi administratif berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/ atau c. perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan (fraud) pada pihak yang dirugikan. Selain sanksi administratif dapat juga dikenai sanksi tambahan. Pada ayat (4) nya Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan ketentuan Pasal 93 Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 seharusnya BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan sanksi tidak memperpanjang Kerjasama terhadap RS, sehingga RS tetap bisa melayani pasien JKN.
Tentunya Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS menjadi komplain bagi pasien JKN yang tidak dilayani RS lagi karena BPJS Kesehatan tidak akan membayar klaim RS tersebut ketika merawat pasien JKN, kecuali untuk urusan kegawatdaruratan.
Tidak dilanjutkannya Kerjasama RS berarti BPJS Kesehatan mempersulit akses Masyarakat peserta JKN ke RS, seperti yang dialami anak seorang teman peserta JKN di Pekanbaru yang tidak bisa dilayani RS karena tidak diperpanjang kerjasamanya. Demikian juga seorang wartawan menghubungi saya kemarin yang menyampaikan adanya penolakan RS melayani pasien JKN. Atas complain dan keluhan tersebut saya menjelaskan bahwa memang ada RS yang tidak diperpanjang kerjasamanya walaupun RS tersebut berharap terus bekerjasama.
Kebingungan Masyarakat peserta JKN yang tidak dilayani RS karena tidak dilanjutkannya Kerjasama adalah hal biasa terjadi di awal tahun, yang menyebabkan Masyarakat selalu menyalahkan RS. Seharusnya Masyarakat melakukan complain kepada BPJS Kesehatan yang menyebabkan RS tidak melayani pasien JKN lagi. Pasien JKN akan sulit mengakses RS lain (transportasi yang lebih jauh), dan akan ada antrian lebih lama karena RS yang bekerjasama semakin berkurang.
Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama dengan RS adalah bentuk ketidakadilan bagi RS swasta atau klinik swasta, karena RS pemerintah dan puskesmas wajib bekerja sama (tidak pernah mengalami pemutusan Kerjasama atau pun kerjasamanya tidak diperpanjang) walaupun RS pemerintah dan puskesmas ada juga yang melakukan fraud.
BPJS Kesehatan harus bisa melaksanakan amanat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yaitu Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan putus Kerjasama maka Masyarakat akan sulit mengakses fasilitas Kesehatan yang layak.
Jadi Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama dengan RS atau klinik swasta merupakan bentuk ketidakpatuhan BPJS Kesehatan, sebagai organ negara, menjalankan amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Saya berharap BPJS Kesehatan tetap memperpanjang Kerjasama dengan RS swasta, walaupun ada fraud yang dilakukan RS. Pakailah mekanisme sanksi di Pasal 93 Perpres no. 82 tahun 2018. Segeralah memperpanjang kembali kerjasama RS dan Klinik yang sudah tidak diperpanjang kerjasamanya per 1 Januari 2025 ini, agar tidak terjadi PHK dan rakyat mudah mengakses fasilitas Kesehatan.
Dan ke depan saya berharap ada perubahan regulasi yaitu mewajibkan seluruh fasilitas Kesehatan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk melayani peserta JKN. Tidak boleh ada diskriminasi lagi antara RS dan klinik swasta dan fasilitas kesehata milik Pemerintah.
BPJS Kesehatan wajib ikut bertanggungjawab untuk pembukaan lapangan kerja dan memastikan penyediaan fasilitas Kesehatan yang layak bagi bagi rakyat Indonesia. (Azwar)
Pinang Ranti, 7 Januari 2025