Iklan

Perbaikan Data PBI dan Peningkatan Layanan BPJS Kesehatan

warta pembaruan
12 Januari 2025 | 11:14 PM WIB Last Updated 2025-01-12T16:14:51Z


Oleh: Timboel Siregar (Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengamat Ketenagakerjaan)

Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Saat ini banyak pemberitaan yang menyoroti kepesertaan Harvey Moeis dan Sandra Dewi di Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang iurannya dibayar full oleh APBD DKI sebesar Rp. 42.000 per orang per bulan.

Saya menilai terdaftarnya Harvey Moeis dan Sandra Dewi sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yaitu Kartu Jakarta Sehat (KJS) merupakan bukti keteledoran Pemprov DKI Jakarta dalam menyeleksi calon penerima KJS. Harvey dan istrinya seharusnya terdaftar di kepesertaan mandiri karena bukan orang miskin dan tidak mampu.

Bahwa kepesertaan PBI diamanatkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang menyatakan Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dan pada ayat (2)-nya menyatakan Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.

Pada Pasal 17 ayat (4) menegaskan Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. Pemerintah disini bisa Pemerintah Pusat (APBN) atau Pemerintah Daerah (APBD). Pemerintah Pusat mengkuotakan jumlah peserta PBI sebanyak 96,8 juta orang setiap tahun, sementara APBD masing-masing daerah tidak memiliki kuota tertentu tetapi diserahkan kepada kemampuan masing-masing APBDnya.

Pemprov Jakarta memang memiliki Pergub Nomor 169 Tahun 2016 tentang Kepesertaan dan Pelayanan Jaminan Kesehatan yang berisi amanat pemenuhan hak kesehatan bagi warga Jakarta, namun, seharusnya Pergub tersebut diarahkan untuk menjamin warga DKI yang miskin dan tidak mampu.

Saya menilai beleid tersebut koruptif lantaran APBD membayarkan iuran JKN bagi Masyarakat mampu, dan tidak khusus menyasar hak kesehatan kaum miskin dan tidak mampu.

Mengacu pada Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN, seharusnya APBD DKI membayar iuran JKN bagi peserta KJS yaitu orang miskin dan tidak mampu, bukan malah mengobral KJS untuk warga DKI yang mampu seperti Harvey Moeis dan Sandra Dewi. Itu bentuk korupsi APBD yaitu mengeluarkan dana APBD untuk orang yang tidak berhak.

Saya punya pengalaman tentang KJS ini ketika saya menegur salah seorang teman yang berkecukupan tetapi malah mengantongi KJS dari Pemprov DKI. Saya bilang seharusnya ia mengembalikan KJS dan menghapus kepesertaannya, dan mulai mendaftar sebagai peserta mandiri karena ia orang mampu. Namun, ia enggan lantaran KJS-nya dikasih oleh RT dan tidak pernah merasa meminta KJS tersebut.

Saya pun sebagai peserta penerima upah, di tahun 2018 pernah mendapatkan KJS termasuk anak saya. Namun KJS tersebut saya kembalikan dan meminta dihapus sebagai peserta KJS karena saya dan anak sudah terdaftar di JKN sebagai peserta penerima upah.

Saya bingung kenapa BPJS Kesehatan menerima kepesertaan JKN saya dan anak sebagai peserta KJS, padahal saya sudah terdaftar di JKN sebagai penerima upah. Memang pada saat itu kepesertaan JKN belum berbasis NIK sehingga dimungkinkan ada kepesertaan ganda.

Kasus yang saya alami tersebut menjadi salah satu bukti “diobralnya” KJS oleh Pemda DKI. Sejak lama saya meminta Pergub atau kebijakan yang selama ini diterapkan Pemprov DKI Jakarta dikoreksi sehingga target kepesertaan KJS tepat sasaran dan APBD benar-benar membiayai warga DKI yang miskin dan tidak mampu. Saya pun mendorong Dinsos DKI melakukan cleansing data yang mencakup penghapusan data penerima KJS yang tidak tepat sasaran, atau menambahkan kepesertaan KJS bagi Masyarakat DKI yang jatuh miskin (misalnya akibat PHK, dsb).

Saya berharap Pemda DKI harus segera merevisi Pergub tersebut dan segera mencoret nama Harvey dan Sandra Dewi dan orang kaya lainnya dari kepesertaan KJS, dan fokuskan saja mendata warga DKI yang jatuh miskin akibat menjadi PHK atau akibat lainnya.

Persoalan data kepesertaan yang tidak tepat sasaran bukan hanya terjadi di DKI Jakarta namun juga terjadi di daerah lain dan kepesertaan PBI yang dibiayai oleh APBN.

Hasil survei Kesehatan Indonesia 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan di 2024 menyatakan sebanyak 35 persen penerima bantuan iuran JKN yang berasal dari anggaran APBN atau APBD adalah pegawai swasta atau kelompok Pekerja Penerima Upah (PPU). Seharusnya 35 persen peserta PBI tersebut didaftarkan sebagai peserta penerima upah yang membayar iuran sebesar 5 persen, yang terdiri dari 4 persen dibayar pemberi kerja dan 1 persen ditanggung pekerja, dengan maksimal upah Rp. 12 juta perbulan.

Karena kelemahan dalam pendataan maka Perusahaan atau pemberi kerja justru mencari cara agar tidak membayar 4 persen, dengan cara para pekerja dimasukkan ke dalam kelompok PBI, sehingga pihak Pemda dan Pusat yang membayar jaminan kesehatannya.

Mengacu pada PP no. 101 tahun 2013 junto PP no. 76 Tahun 2015, data calon peserta BPJS Kesehatan kategori PBI diolah, diverifikasi dan ditetapkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos), dengan melibatkan DJSN dan Kemenkes. Data itu yang kemudian diserahkan ke BPJS Kesehatan oleh Kemenkes.

Persoalan kepesertaan PBI yang dibiayai Pusat atau Pemda adalah penonaktifan sepihak yang dilakukan pemerintah pusat atau Pemda sehingga banyak orang miskin yang memegang kartu KIS tidak dilayani JKN.

Masih terjadi golongan miskin justru dicoret dari kepesertaan BPJS sedangkan orang kaya dimasukkan ke dalam daftar penerima. Ini adalah tanggungjawab Kemensos dan Dinsos yang seharusnya menonaktifkan berdasarkan data yang obyektif dan harus berkomunikasi dengan Masyarakat miskin dan tidak mampu sebelum menonaktifkan.

Ini bukan kesalahan BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan hanya menerima data dari Kemensos dan Dinsos.

Selain kasus kepesertaan yang tidak tepat sasaran, kasus klasik yang ditemui peserta BPJS Kesehatan, yakni diskriminasi pelayanan. Situasi tersebut terjadi di beberapa rumah sakit, mulai dari pelayanan rawat jalan, akses ruangan rawat inap, obat, alat Kesehatan, dsb.

Sejumlah persoalan yang dialami pasien JKN, misalnya, diberikan batas waktu rawat inap tiga atau empat hari sekalipun si pasien belum layak pulang. Apotek RS memberikan obat untuk beberapa hari walaupun resep dokter menuliskan obat untuk 30 hari kepada pasien rawat jalan.

Peserta JKN ketika mendapat pelayanan di faskes tidak boleh diminta lagi biaya, karena dengan jelas di pasal 68 Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mengamanatkan faskes tidak boleh meminta biaya kepada pasien JKN mendapatkan layanan yang sesuai haknya.

Pasalnya, pasien sudah dibiayai oleh BPJS dengan paket INA-CBGs (Indonesia Case Based Group), di mana pihak rumah sakit mengajukan klaim ke BPJS Kesehata yang diawali dengan proses verifikasi klaim oleh verifikator BPJS. Bila sudah sesuai maka BPJS Kesehatan membayar klaim ke RS paling lama 14 hari.

Hal ini berbeda dengan pasien umum yang tidak menggunakan JKN, yang cenderung mendapatkan pelayanan lebih cepat, lantaran pasien umum dikenakan tarif fee for service mulai saat mendaftar, pemeriksaan, hingga perawatan. Semua tindakan yang dilakukan RS dibayar pasien secara langsung dan tunai.

Persoalan-persoalan yang terjadi tersebut harus bisa diselesaikan oleh Kementerian Kesehatan dan Dinkes seluruh pemda yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, sehingga program JKN berjalan semakin baik dan pasien JKN tidak mengalami diskriminasi lagi.  Semoga di Tahun 2025 ini pelayanan Kesehatan untuk pasien JKN lebih baik lagi, dan hak pasien JKN benar-benar dijamin di fasilitas Kesehatan. (Azwar)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perbaikan Data PBI dan Peningkatan Layanan BPJS Kesehatan

Trending Now

Iklan