Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Pelindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Amanat pelindungan sosial ini sesuai UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Pelaksanaan pelindungan sosial yang umum dilakukan Pemerintah adalah bantuan sosial dan jaminan sosial. Bantuan sosial dikhususkan untuk Masyarakat miskin dan tidak mampu, sementara jaminan sosial merupakan hak konstitusioanl seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah memiliki berbagai program bantuan sosial (bansos) yang memang dikhususkan bagi Masyarakat miskin dan tidak mampu, untuk memastikan mereka tetap mampu memenuhi minimal kebutuhan dasarnya atau bagi kelompok rentan agar tidak jatuh ke kemiskinan ekstrim, bantuan dalam bentuk uang, barang, atau layanan.
Namun, sepanjang 2024 ini di Tahun Politik, program Bansos mengalami banyak politisasi yang kerap digunakan penguasa sebagai alat untuk menyogok rakyat untuk menarik suara rakyat dalam Pemilihan Umum.
Program bansos yang seharusnya netral untuk mendukung kesejahteraan rakyat namun dengan kasat mata dipakai Penguasa untuk mengkampanyekan calon yang didukungnya.
Pemberian bansos pun tidak lagi didasari pada Masyarakat penerima yang terdaftar dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang ada dalam system Kementerian Sosial, tetapi pembagian bansos sudah dilakukan secara sembrono berdasarkan kepentingan penguasa.
Kementerian Sosial yang diamanatkan UU No. 11 Tahun 2009 untuk melaksanakan program bantuan sosial ternyata tersisihkan dalam proses pelaksanaannya karena bantuan sosial diambil alih penguasa untuk kepentingan electoral calon tertentu yang didukungnya.
Kenaikan anggaran bantuan sosial di 2024 pun mendapat sorotan public yang memang sengaja dinaikkan untuk “menyogok” rakyat lebih banyak lagi.
Pada 2024, pemerintah mengalokasikan Rp 496,8 triliun untuk pelindungan sosial, naik 13,1 persen dibanding tahun 2023 sebesar Rp 439,1 triliun. Alokasi di 2024 tersebut menyerupai alokasi anggaran pada awal masa pandemi Covid-19 pada 2020 yaitu sebesar Rp 498 triliun.
Anggota : YAYASAN PELINDUNGAN SOSIAL INDONESIA INSP!R Indonesia : Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Trade Union Rights Center (TURC), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Jaringan Buruh Migran (JBM), Serikat Buruh Migran dan Informal Indonesia (SEBUMI), Relawan Kesehatan (REKAN), Jejaring Serikat Pekerja-Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI), BPJS Watch, Flower Aceh, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), FSB Garteks, Gajimu, Lembaga Informasi Perburuhan Sadne (LIPS).
Bansos sudah benar-benar menjadi instrumen politik untuk mengikat hati rakyat memilih calon penguasa baru yang didukungnya.
Pemberian bansos pada masa Pemilu sudah sangat melenceng dari semangat pemberian Bansos yang diamanatkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2009 yaitu dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Penyelenggaraan Jaminan sosial yang merupakan hak konstiusional seluruh rakyat Indonesia, yang sudah memasuki tahun kesebelas di 2024 ini, memang sudah memberikan banyak manfaat kepada rakyat Indonesia khususnya penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Demikian juga dengan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan juga sudah membantu pekerja dan keluarganya ketika mengalami resiko yang tidak diharapkan.
Capaian baik tersebut tentunya masih disertai oleh berbagai masalah sehingga jaminan sosial belum benar-benar menjadi hak konstitusional rakyat Indonesia.
Kepesertaan Program JKN yang ditayangkan dalam Website BPJS Kesehatan berjumlah 277.859.856 Peserta memang sudah melampaui target kepesertaan yang diamanatkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 36 Tahun 2023 yaitu sebanyak 274,4 juta peserta di 2024, namun jumlah kepesertaan tersebut didalamnya sudah termasuk 54 juta peserta yang nonaktif karena tidak membayar iuran atau iurannya tidak dibayarkan Pemerintah lagi. Peserta nonaktif ini tidak mendapat penjaminan Program JKN, dan oleh karenanya tidak lagi disebut peserta.
Mengacu pada UU SJSN, peserta orang adalah yang membayar iuran atau iurannya dibayar Pemerintah.
Dengan definisi peserta tersebut di atas, maka target kepesertaan 2024 yang dicantumkan dalam Perpres no. 36 Tahun 2023 sebenarnya belum tercapai. Pemerintah belum mampu untuk menyelesaikan masalah kepesertaan yang nonaktif tersebut sehingga masih sangat banyak Masyarakat kita yang tidak dilayani Program JKN.
Seharusnya Pemerintah memiliki skema penyelesaian masalah kepesertaan nonaktif tersebut sehingga seluruh rakyat benar-benar terlindungi JKN.
Untuk peserta nonaktif dari kepesertaan mandiri seharusnya Pemerintah memberikan relaksasi pembayaran tunggakan iuran berupa diskon pembayaran tunggakan sebesar 60-70 persen sehingga peserta yang menunggak dapat membayarkannya dan kembali dijamin program JKN.
Bila peserta mandiri tersebut memang menjadi miskin maka daftarkan peserta tersebut sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan menghapus tunggakannya 100 persen.
Bagi Masyarakat miskin dan tidak mampu yang dinonaktifkan sepihak oleh Pemerintah, seharusnya Pemerintah mengaktifkan kembali dengan membayarkan lagi iuran mereka.
Merujuk pada target peserta PBI yang dibiayai APBN di Perpes no. 36 Tahun 2023, target kepesertaan PBI di 2024 adalah sebanyak 113 juta orang. Pada saat ini kepesertaan PBI yang dialokasikan Pemerintah masih 96,8 juta orang.
Dari sisi pelayanan, hingga di tahun 2024 ini, masih terjadi pelanggaran hak peserta JKN mendapatkan layanan Kesehatan yang layak. Obat yang harusnya diberikan full namun diberikan hanya sebagian, masih terjadi sehingga saat ini sehingga pasien JKN membeli sendiri obat di apotik.
Hal ini pun dialami oleh penyandang disabilitas mental yang kerap kali mengalami kendala untuk mengakses obat-obatan yang harus dikonsumsi. Demikian juga pasien JKN yang belum layak pulang namun diharuskan pulang setelah dirawat 3-4 hari, adalah hal yang masih banyak terjadi, dan ini adalah bentuk pelanggaran hak pasien mendapat pelayanan Kesehatan yang layak.
Peran pengawasan dan penegakan hukum yang dimiliki Pemerintah tidak berjalan dengan baik sehingga pelanggaran hak-hak peserta JKN masih terjadi hingg saat ini.
Pemerintah harus menjamin hak pasien JKN, dan meningkatkan layanan Kesehatan bagi peserta JKN akan mendukung keberlanjutan program JKN.
Pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan juga masih menyisakan banyak masalah di tahun 2024 ini, baik dari sisi regulasi maupun pelaksanaan. Hingga di tahun 2024 ini Pemerintah belum meregulasikan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi pekerja miskin dan tidak mampu, sesuai amanat Pasal 14 dan 17 UU SJSN.
Pemerintah Joko Widodo tidak memenuhi janjinya mengimplementasikan program JKK dan JKm bagi pekerja miskin dan tidak mampu walaupun sudah dijanjikan dalam RPJMN 2020-2024.
Demikian juga, hingga tahun 2024 ini, Pemerintah belum memberikan ruang kepesertaan Jaminan Pensiun (JP) bagi pekerja bukan penerima upah/PBPU (pekerja informal) dan Pekerja Migran Indonesia (PMI), sehingga PBPU dan PMI yang memasuki masa tua tidak terlindungi oleh program JP. Kepesertaan PBPU dan PMI di program JP akan mendukung perlindungan masa tua mereka.
Selain itu kepesertaan PBPU di JP akan mendukung keberlanjutan kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami PHK di program JP sehingga mereka dapat melanjutkan pembayaran iuran untuk memenuhi syarat pembayaran iuran minimal 15 tahun guna mendapatkan manfaat pasti (manfaat pensiun bulanan).
Dari sisi pelaksanaan, target kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan di 2024 yang diamanatkan Perpres 36 tahun 2023 yaitu kepesertaan JKK-JKm sebanyak 53,52 juta peserta, kepesertaan JHT sebanyak 41,25 juta peserta, kepesertaan JP sebanyak 21 juta peserta, dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebanyak 15 juta peserta, belum berhasil dicapai.
Kehadiran INPRES No. 2 Tahun 2021 belum mampu ditindaklanjuti oleh Kementerian/Lembaga (K/L) sehingga kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan hingga 2024 ini belum mencapai target yang diamanatkan Perpres 36 Tahun 2023.
Pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan (Program JKK-JKm dan JHT) bagi PMI juga masih diwarnai permasalahan klasik yaitu kepesertaan yang masih rendah, dan Tingkat pemahaman yang rendah karena kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada PMI dan keluarganya.
Kepesertaan pekerja Perempuan di program jaminan sosial ketenagakerjaan pun masih jauh dibandingkan kepesertaan pekerja pria. Hal ini disebabkan oleh Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan sebesar 55,41 persen sementara TPAK Pria sebesar 84,02 persen.
Pekerja Perempuan yang masih banyak bekerja di sektor informal dan rumahan tentunya masih banyak yang belum terlindungi oleh program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diberikan kepada pekerja formal yang mengalami PHK, masih belum banyak dirasakan manfaatnya oleh pekerja. Dengan kepesertaan sebanyak 14,3 juta menunjukkan masih banyaknya pekerja formal yang belum menjadi peserta eligible JKP, dan ini yang menyebabkan pekerja yang terPHK belum semuanya mendapat manfaat JKP.
Di sisi lain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin meningkat, di pertengahan tahun 2024 berdasarkan satu data Kemnaker telah mencapai 32,064 pekerja, 23,29 persen disumbang dari DKI Jakarta, dan diakhir tahun 2024 kembali diguncang berita yang tidak sedap yaitu PT Sritex, Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara di nyatakan pailit oleh Pengadilan Negri Niaga Jawa Tengah, ada sekitar 14.112 pekerja yang terdampak langsung, dan sekitar 50,000 Pekerja yang berada dalam group Sritex terdampak, ini berarti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan akan berkurang sedang klaim terhadap JKP semakin meningkat, target yang harus di capai ditahun 2024 menjadi turun atau tidak tercapai.
Bencana Lanina sedang melanda wilayah laut Pacific Timur dan dekat Amerika tetapi dampaknya sampai di Indonesia dengan ditandai curah hujan tinggi, berakibat banjir dan tanah longsor terjadi diberbagai daerah, bantuan sosial dibutuhkan untuk mengatasi bencana, perlu tenaga medis dan tenaga konstruksi, Psikolog untuk mengatasi trauma dan tenaga-tenaga ahli lainnya untuk mengatasi kebencanaan dan juga financial. Dan Penyandang Disabilitas meningkat akibat bencana juga harus dipikirkan penanganannya.
INSPIR Indonesia yang fokus pada pelindungan sosial yang adaptif dan inklusif mendorong dan meminta Pemerintah untuk serius membenahi pelaksanaan Bantuan Sosial dan Jaminan sosial sehingga benar-benar mampu mendukung kesejahteraan rakyat Indonesia.
Revisi UU 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dengan memastikan Bantuan Sosial tidak boleh dijadikan instrument politik dalam agenda Pilpres, Pileg maupun Pilkada. JKK dan JKm perlu di regulasi dengan system PBI bagi Pekerja miskin dan tidak mampu, Pekerja informal dan PMI masuk dalam program Jaminan Pesiun.
Fragmentasi Bansos harus dihentikan dengan membangun system kebijakan Pelindungan sosial yang adaptif dan Inklusif untuk semua rakyat, agar Indonesia Emas dapat tercapai di tahun 2045. (Azwar)
Jakarta, 2 January 2024
Yatini Sulistyowati
Ketua Yayasan