Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Untuk mendukung kesejahteraan pekerja/buruh dan dunia usaha, khususnya di sektor padat karya, pemerintah merilis 3 (Tiga) Paket kebijakan ekonomi di sektor ketenagakerjaan.
"Saya menilai Tiga Paket Kebijakan ini baik, dan diharapkan ada kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat memastikan kesejahtetaan pekerja dan kelangsungan dunia usaha dapat ditingkatkan secara sistemik, tidak bersifat adhoc semata. Tiga paket kebijakan ini pun diharapkan dapat mendukung upaya untuk menekan jumlah PHK oleh Perusahaan, apalagi paska kenaikan upah minimum di 2025," kata Timboel Siregar, Sekjen OPSI, Kamis (19/12/2024).
Menurut Tmboel, tiga paket kebijakan dari APBN ini memang layak diberikan kepada pekerja dan pengusaha karena selama ini dana jaminan sosial ketenagakerjaan milik pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang jumlahnya sudah mencapai Rp. 782 Triliun (per Oktober 2024), sangat membantu perekonomian dan pembangunan Indonesia.
Dana pekerja yang diinvestasikan di Surat Berharga Negara (SBN) sudah mencapai sekitar 72 persen, yang memang sangat mendukung Pemerintah dalam mengatasi defisit APBN setiap tahun, yang imbal hasil SBN sekitar 6 - 7 persen per tahun. Dana pekerja di SBN yang imbal hasilnya relatif "murah", digunakan Pemerintah menjadi sumber dana untuk membangun Indonesia, yang akan mendorong kemandirian bangsa membangun bangsa, dengan berbasis dana dalam negeri, sehingga pinjaman luar negeri secara bertahap bisa dikurangi.
Demikian juga alokasi investasi dana pekerja di deposito perbankan sekitar 12 persen pun sangat mendukung fungsi utama perbankan menjalankan intermediasi yang mendukung sektor usaha, yang juga akan signifikan membangun perekonomian Indonesia.
Alokasi dana pekerja yang diinvestasikan di saham sekitar 8 persen dan reksadana sekitar 6 persen tentunya sangat mendukung geliat pasar modal Indonesia untuk mendukung dunia usaha dan perekonomian Indonesia.
Dengan kekuatan dana jaminan sosial ketenagakerjaan milik pekerja yang akan terus meningkat semakin besar, yang terus mendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia, maka sudah sepatutnya skema paket kebijakan bagi pekerja dan dunia usaha bisa dilakukan secara sistemik, tidak hanya secara adhoc untuk beberapa bulan saja.
Menurut Timboel yang juga pengamat ketenagakerjaan, dari paket kebijakan tersebut, dan keterlibatan dana pekerja yang signifikan mendukung perekonomian Indonesia, ada beberapa hal yang perlu didorong sebagai perbaikan secara sistemik, yaitu, pertama, diharapkan ke depannya kebijakan PPh 21 dengan upah hingga 10 juta yang ditanggung pemerintah, dapat juga diberikan untuk pekerja di sektor non-padat karya.
"Tentunya hal ini akan membantu daya beli pekerja dan keluarganya. Dan kebijakan PPh 21 ini pun diharapkan bisa juga menyasar penghapusan pajak progresif untuk pekerja yang mencairkan dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap," ujarnya.
Kedua, peningkatan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada paket kebijakan ini adalah hal baik. Pemberian manfaat tunai sebesar 60 persen flat dari upah selama enam bulan akan mendukung daya beli pekerja dan keluarganya pada saat mengalami PHK. Pemberian manfaat pelatihan dengan biaya pelatihan dinaijkan menjadi Rp 2,4 juta akan meningkatkan skill pekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Namun demikian seharusnya biaya pelatihan ini bisa disesuaikan dengan biaya pelatihan yang diberikan Program KartuPrakerja yang nilainya sebesar Rp.3,5 juta.
Selain itu, dalam revisi PP 37 tahun 2021 penting juga untuk memasukan pekerja PKWT yang jatuh tempo dan terPHK sebagai penerima manfaat JKP. Demikian juga untuk waktu daluarsa klaim JKP dijadikan 6 bulan.
Sebagai usulan lainnya, lanjut Timboel, dalam Revisi PP 37 tahun 2021, Pemerintah sebaiknya menghentikan sementara rekomposisi iuran JKm ke JKP, karena ketahanan dana JKm mengalami penurunan yang akan mengancam kemampuan dana JKm membayar klaim ke depannya.
Program JKP selama ini belum bisa diakses seluruh pekerja karena tidak semua pekerja menjadi peserta eligible. Persyaratan harus menjadi peserta penerima upah di program JKN, JKK, JKm, JHT, dan JP membuat masih banyak pekerja yg tidak ikut JKP.
Per akhir November 2024, jumlah peserta JKP sebanyak 14.317.513 pekerja, peserta JP 14.879.727 pekerja, peserta JHT 18.322.582 Pekerja, dan peserta JKK JKm 28.356.727 pekerja. Bila persyaratan kepesertaan JKP hanya di program JKK JKm maka kepesertaan JKP akan meningkat signifikan hampir 100 persen, yang artinya akan semakin banyak pekerja yang terbantu pada saat mengalami PHK.
Dengan fakta ini seharusnya pemerintah mempermudah persyaratan kepesertaan JKP yaitu dengan hanya mensyaratkan kepesertaan JKK dan JKm saja, sehingga lebih banyak lagi yg menjadi peserta JKP yg eligible.
Selama ini Kementerian Ketenagakerjaan cq. Pengawas Ketenagakerjaan gagal melakukan pengawasan dan penegakkan hukum dengan baik kepada perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke seluruh program jaminan sosial, sehingga kepesertaan JKP masih relatif rendah dibandingkan kepesertaan jaminan sosial lainnya. Kegagalan Pemerintah menjadikan pekerja sebagai korban, tidak menjadi peserta JKP.
Secara yuridis, pasal 46C UU Cipta Kerja hanya mensyaratkan pembayaran iuran sebagai syarat peserta JKP namun pasal 4 PP 37 tahun 2021 mensyaratkan kepesertaan di selurun program jaminan sosial sebagai syarat peserta JKP. Kedudukan hukum PP di bawah UU, dan oleh karenanya PP 37 harus mengacu pada UU Cipta Kerja, dengan mensyaratkan hanya pembayaran iuran. Karena pembayaran iuran JKP dari rekompsosisi JKK dan JKm maka seharusnya persyaratan kepesertaan JKP hanya pada kepesertaan JKK JKm.
Tentunya paket kebijakan yang menyasar JKP dan usulan perbaikan JKP lainnya bisa dilakukan dengan mensegerakan revisi PP no. 37 Tahun 2021, agar peningkatan manfaat ini bisa lebih cepat diterima pekerja yang terPHK dan semakin banyak pekerja yang terlindungi JKP.
Ketiga, dengan paket kebijakan berupa relaksasi berupa potongan 50 persen iuran JKK diberikan untuk sektor padat karya yang mencakup sekitar 3,76 juta pekerja, diharapkan Pemerintah memastikan Perusahaan yang mendapatkan relaksasi pembayaran iuran JKK tersebut tidak melakukan PHK. Pemerintah harus meminta komitmen Pengusaha yang mendapatkan relaksasi iuran tersebut untuk tidak melakukan PHK, dan bila melakukan PHK maka relaksasi tersebut ditinjau ulang.
"Semoga Tiga Paket Kebijakan benar-benar mendukung kesejahteraan pekerja dan kelangsungan dunia usaha, dan pemerintah dapat memformat paket kebijakan lainnya secara sistemik," pungkas Timboel Siregar. (Azwar)