Banten, Wartapembaruan.co.id ~ Kekuasaan dan popularitas lelaki itu sungguh sudah memudar, tenggelam akibat ambisinya yang terlalu banyak dan kemaruk. Tetapi birahi dan ambisi kekuasaannya tetap tidak terkendali dan terus dis umbar seperti komplek prostitusi, seakan semua isi dunia dia beli. Lalu apa saja yang bisa dia libas bersama anak, istri, menantu dan cucu terus dia dorong seperti memaksakan untuk kendaraan yang mogok. Sebab harta dan benda serta duit telah dijadikannya seperti Tuhan, Jum'at 27/12/24.
Banyak orang tak hanya mencerca dan mengutuk, tapi ada yang mengirimkan sumpah serapah kepada Tuhan, agar karma dan bala dapat membuatnya jera. Atau bahkan didera oleh sakit dan derita yang setimpal seperti yang dirasakan banyak orang.
Jadi sangat sulit membayangkan pemahamannya terhadap kemiskinan dalam persepsi dan kemiskinan dalam realitas yang nyata. Sebab dalam manset kepalanya cuma ada hawa nafsu, sehingga arti dari kemiskinan dalam arti kondisi ekonomi yang nyata tidak pernah dapat dipahami adanya kemiskinan yang selalu hanya semacam bunga pemikiran semata. Sehingga dia merasa harus menjadi kaya sekaya-kayanya dengan menggasak semua yang bisa dia lakukan, meskipun itu adalah hak orang miskin. Sebab di atas langit masih ada langit yang harus dia lalui, sehingga tidak satu pun orang mampu menandingi dirinya. Dan hanya dalam sepuluh tahun terakhir, semua itu telah mampu dia kangkangi dengan gagah perkasa. Layak penindas paling kampiun dari belahan dunia manapun.
Semuanya sukses dan berhasil dengan tipu daya dan kemampuannya melakukan perselingkuhan dengan semua orang yang selaras dengan birahi bejadnya. Tidak sedikit orang yang terpesona dan mengaguminya sejak awal kemunculannya seakan makhluk ghaib yang layak dipuja dan dipuji. Lalu bersekongkol dengan pengkhianatan nya yang canggih tampil dalam gaya khas kampungan, seakan lugu, ikhlas dan jujur yang sukses serta berhasil melakukan tipu daya yang kini disesali banyak orang. Bahkan tidak sedikit diantara pendukungnya dahulu menyatakan penyesalan hingga merasa perlu melakukan tobat nasuha.
Manset bagi orang kaya yang selalu merasa miskin, tidak kalah banyak jumlahnya di negeri Konoha yang terlanjur melegenda atau bahkan menjadi mitos sampai di dewakan bahkan dianggap Tuhan. Sanepo tentang Ketuhanan Yang Maha Esa diplesetkan menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa. Sampai tetangga dari negeri seberang jadi tercengang, bagaimana mungkin urusan bangsa dan negara hanya berkisar diantara perselingkuhan politik, manipulasi ekonomi -- korup -- bisnis hukum dan peradilan seperti di pasar gelap yang terang benderang diketahui -- bahkan diikuti -- oleh banyak orang yang juga mau selamat.
Semua drama itu persis seperti rakyat yang diajak sibuk memikirkan buronan yang mereka simpan di kamar belakang, sambil menghitung pundi-pundi yang masih bisa dibagikan sedikit kepada sejumlah pihak yang telah ikut melakukan pengamanan. Atau, setidaknya memberi jalan yang lapang untuk aktor utama dari drama sebabak itu. Sebab dalam episode yang lain masih terlalu banyak yang belum tergarap secara tuntas untuk dijadikan tontonan dan pementasan bagi rakyat agar bisa melupakan rasa lapar, lantaran tidak lagi mampu membeli bahan panganan di pasar, sebab lonjakan harganya memang telah sempurna pula dipelihara.
Sudah begitu keji dan kejamnya hidup yang mendera rakyat ini, ambisi dan birahi penguasa yang masih kasmaran -- kayak remaja tingting yang baru berakhir baleq -- masih melirik janda tua atau duda renta yang sudah berulang menanggung derita akibat dusta dan tipu daya yang pernah berjaya pada periode sebelumnya.
Ya, tragika sekali memang kisahnya. Meski begitu, toh tidak ada sineas Indonesia yang mampu mengangkat narasinya ke layar lebar sampai hari ini. Kendati dramatika peristiwanya masih terus berlangsung, entah sampai kapan, seperti mengejar bayangan buronan yang ada di belakang rumah.
Jacob Ereste.