Banten, Wartapembaruan.co.id ~ Kerajaan Sriwijaya --yang artinya Cahaya Kemenangan terkenal no dengan kerajaan yang kuat dengan corak Bahari, sehingga menguasai jalur perdagangan laut yang tangguh. Dan sampai sekarang pun masyarakat sekitarnya -- Jambi Lampung, Palembang -- tetap gemar mengkonsumsi ikan, utamanya yang bersumber dari air tawar. Karena itu harga ikan air tawar jauh lebih mahal dari ikat yang dihasilkan dari laut. Bahkan pada hari Raya pun, harga ikan cenderung lebih mahal dari harga daging sapi maupun daging kerbau. Akibatnya, memang ikan Belida yang over konsumsi hingga tahun 1980-an kini seakan punah, sangat sulit untuk diperoleh di kampung pedalaman yang paling plosok sekalipun. Apalagi di pasar-pasar tradisional atau pelelangan ikan, Selasa , 3 Desember 2024
Kerajaan Sriwijaya yang sudah mulai bertumbuh sejak awal ke-7 hingga penghujung abad ke-11 Masehi, mempunyai wilayah kekuasan yang sangat luas, meliputi Sumatra, Bangka, Jawa, Melayu hingga Thailand. Bahkan mampu membangun hubungan internasional seperti dengan sejumlah kerajaan besar Cina, dan Timur Tengah dalam kesetaraan, sejak awal didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Setidaknya dari prasasti Kedulan Bukit di Palembang bertarikh 682 Masehi mampu mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-10 yang ditandai oleh armada laut yang sangat kuat dengan kemampuan mengendalikan jalur perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka yang kini didominasi oleh Singapore.
Dalam masalah budaya dan keagamaan, Sriwijaya mempunyai komplek Candi Muara Takus dan Candi Muara Jambi yang indah dan spektakuler, karena terbuat dari bati bara merah yang indak konstruksi maupun tata seni arsitekturnya. Hanya saja sangat disayangkan tidak mendapat perhatian dari pemerintah pusat apalagi dari pemerintah daerah untuk melihatnya sebagai kekayaan budaya suku bangsa nusantara yang mempunyai nilai jual sebagai obyek ziarah spiritual kaliber dunia, karena tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia ini.
Kecuali itu -- sebagai jejak sejarah ilmu dan pengetahuan -- Sriwijaya jelas tercatat sebagai pusat keagamaan seperti yang ditandai oleh Bikhu I-Tsing dari Cina yang bolak-balik datang ke Sriwijaya untuk mempelajari agama Budha. Ketika itu Nalanda di India riuh disebut sebagai pusat pendalaman pengetahuan Budhisme di dunia. Tapi, toh Bhiku I-Tsing tetap tertarik untuk belajar dan menterjemahkan Kitab agama budha dan memperdalam bahasa Sansekerta di Sriwijaya. Jadi memang kedakhsyatan kerajaan Sriwijaya sungguh luar biasa. Dari nukilan sejarah yang masih perlu dilengkapi datanya, Sriwijaya bermula dari Minanga Tamwan, lalu pindah ke Jambi hingga akhirnya membangun pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Kesaksian Ibnu Hordadzbeh pada tahun 844-848 Masehi, saudagar Sulayman pada tahun 851 Masehi dan Ibn Al Fakih tahun 902 Masehi, begitu juga Ibn. Rosteh tahun 903 serta catatan Abu Zayd tahun 916 Masehi hingga catatan ahli geografi Mas'udi tahun 935 Masehi menandakan pada masa itu Kerajaan Sriwijaya sudah berada pada puncak kejayaannya. Sejumlah prasasti bangsa asing yang menyebutkan tentang Kerajaan Sriwijaya mulai dari Nalanda, India, Ligor Thailand dan Prasasti Tanjore India.
Yang tidak kalah menarik adalah dokumen surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah di Damaskus, Suriah pada masa itu yang membuktikan budaya menulis, luasnya ilmu dan pengetahuan serta kesadaran untuk membangun komunikasi --jaringan dengan negera luar -- sudah mampu dilakukan melalui surat menyurat. Surat Raja Sriwijaya itu jadi sangat menarik hingga terpilih oleh sejarawan asal Pakistan SQ. Fatimi untuk dibahas secara khusus dalam karya tulisnya The Two Letter from The Maharaja to The Khalifah. Disebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah atau 718 Masehi, Raja Sriwijaya telah bersurat kepada Khalifah Daulah Umayyah. Atas dasar tahun yang tertera di surat tersebut, dapat diketahui bahwa ditujukan kepada Umar bin Abdul Azis yang berkuasa di Damaskus, Suriah antara tahun 717 - 720 Masehi. Adapun sang pengirim surat tersebut adalah Sri Indrawarman yang meminta agar dapat mengirimkan seorang yang mampu untuk menjelaskan tentang ajaran Islam.
Surat yang sangat sarat dengan kesadaran nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas ini juga sempat dikutif dalam Al-Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih, seorang sastrawan asal Spanyol, serts dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qashirah (Tentang Perbintangan Terang Raja Mesir dan Kairo) karya Ibnu Tagribirdi, seorang sastrawan Mesir.
Dari sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya, Widya Lestari Ningsih mengungkapkan (Kompas.com, 30 Oktober 2023) ada juga berita dari masa Dinasty Song (Cina tahun 960-1279) sehingga dapat diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya juga secara rutin mengirimkan utusan ke Cina. Artinya jelas dalam konteks jaringan dan kesadaran diplomatik sudah, suki bangsa nusantara telah memahaminya sebagai bagian dari budaya yang perlu di bangun dan dipelihara untuk menyerap informasi maupun ilmu pengetahuan untuk kemajuan masyarakat maupun tata kelola Kerajaan Sriwijaya hingga berjaya. Yang sangat disayangkan, tak ada sejarawan Indonesia yang tertarik menelusuri kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan menuliskannya untuk generasi hari ini dan di masa mendatang, seperti keengganan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mau memberi perhatian, honoraria untuk menggali lebih jauh dan lebih mendalam sejarah besaran dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang akan member banyak energi bagi daya hidup dan kehidupan yang dapat memberi daya dorong serta rasa percaya diri bahwa suku bangsa Nusantara tampil pada era global. Sejarah kejayaan masa silam yang telah ditoreh oleh Kerajaan Sriwijaya ini pernah menerangi peradaban manusia pada masa silam -- lebih dari 1.000 tahun lalu -- pernah bersinar terang menerangi kegelapan bumi.
Oleh: Jacob Ereste.