Batanghari, Wartapembaruan.co.id - Kejahatan Migas di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Sfaifuddin yang terletak di wilayah Kecamatan Muara Tembesi, Batanghari, Jambi, kini semakin 'menyala' dengan berbagai sumur-sumur illegal drilling.
Kawasan konservasi tersebut kian miris seiring dengan maraknya aktivitas illegal drilling yang terkoordinasi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Berbagai pibak tak bertanggungjawab disinyalir memanfaatkan cadangan minyak bumi yang terkandung dalam areal tersebut demi meraup 'cuan gede'.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber bahkan menyebutkan areal Jebak, Senami kini sudah macam ajang koordinasi antara para pemilik sumur dengan sejumlah warga setempat. Sosok koordinator di wilayah tersebut diduga merupakan oknum Ketua RT setempat berinisial JK.
Berdasarkan pantauan tim awak media di lokasi belum lama ini, memang tampak adanya cuan atau Fee untuk Desa dari hasil tindak pidana migas tersebut. Polanya dengan mendirikan sejumlah pos-pos pantau menuju titik-titik pengeboran.
Pos-pos tersebut berdiri tegak di beberapa RT, dan sosok koordinator dibelakanganya diduga kuat merupakan salah satu oknum Ketua RT inisial JK. Setiap mobil yang mengangkut minyak hasil ilegal driling diduga kuat menyetor uang sebesar Rp 300 ribu pada tiap pos RT yang dilewati.
Setidaknya ada 5 - 7 Pos yang berdiri tegak di sana.
Selain pos-pos yang ada di sepanjang jalan Senami Jebak menuju ke arah Sridadi Muara Bulian. Menurut pengakuan salah seorang warga bahwa uang koordinasi itu juga diduga di setor oleh pemilik sumur terhadap ketua RT inisial JK tadi, dengan hitungan fee Rp 50 ribu/drom.
Sementara itu oknum Ketua RT, JK dikonfirmasi lewat WhatsApp soal aktivitas ilegal drilling dikawasannya tersebut, menjawabkan pesan dengan ketikan bang kato siapo, koordinator itu yang seperti apo, jangan baseng nak bilang bang.
"Kalau abng mau jelas masuk, banyak itu pelaku tambang, semuanyo ado", balasnya JK.
Selanjutnya ditanyakan persoalan setoran dan keterkaitan JK ia menjawab maaf kalu itu bukan link aku bang, dan untuk koordinator sepertinya JK menyangkal sepertinya begitu bang.
Tak sampai situ, untuk menguatkan diduga Oknum ketua RT JK sebagai koordinatornya pembagian uang koordinasi desa dan rt, awak media berhasil mendapatkan hasil konfirmasi dari salah satu RT yang saat di tanyakan siapa yang pegang uang koordinasi untuk desa dan RT tersebut menjawab JK.
"Kayaknyo udah aman, hari jumat kemaren kabarnya orang itu kedesa lagi, namun apo yang diputusan yang diputuskan oleh desa sementara ini sayo belum tahu", ujarnya.
Namun berbagai temuan informasi dilapangan kian mengarahkan dugaan, adanya pengrusakan lahan hutan tahura secara sengaja dan terang-terangan oleh oknum pelaku ilegal driling dan aparatur desa setempat yang terkesan didiamkan oleh APH serta pengelola Tahura STS.
Apakah mereka tidak tau, pura-pura tidak tau. Atau kebagian koordinasi dari hasil ilegal tersebut? Soal ini awak tim awak media masih terus melakukan penelusuran lebih lanjut.
Sebab Tahura sebagai bagian dari kawasan pelestarian alam taman hutan raya memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem yang harus di jaga dan dilestarikan.
Pihak berwenang macam APH serta pengelola Tahura STS, pun diharapkan dapat melakukan penindakan terhadap massifnya aktivitas yang merusak Tahura tersebut. Jangan sampai tahura dibabat habis oleh aktivitas ilegal drilling hingga kemudian bencana kebakaran terulang kembali.
Selain itu sudah barang pasti bahwa illegal drilling merupakan tindak pidana yang punya sanksi berat, lihat saja
Undang Undang No 22 tahun 2021 tentang Migas pasal 85, bahwa setiap orang yang melakukan penambangan minyak secara ilegal tanpa mempuyai kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000. (*)