Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan disharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah sangat berdampak pada pelindungan sosial ketenagakerjaan, sehingga menyebabkan kelompok pekerja informal dan pekerja rentan tidak dapat memiliki pelindungan sosial ketenagakerjaan.
Pimpinan Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan, kebijakan pemerintah pusat seperti Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2021 telah mengatur optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker). Namun banyak daerah belum memiliki regulasi yang kuat untuk mendukungnya.
"Isunya memang di tingkat regulasi. Berbicara secara nasional secara umum sebenarnya sudah komprehensif, problemnya di tingkat daerah, tidak banyak provinsi/kabupaten/kota punya regulasi. Kabupaten Manggarai Barat sudah ada, namun masih umum. Ke depan kita harapkan Kabupaten Manggarai Barat itu menyusun perbup terkait pengalokasian dana bagi para pekerja rentan seperti petani, nelayan dan pekerja informal lainnya sehingga ada payung hukumnya," ungkap Robert, dikutip Jumat (8/11/2024).
Robert menuturkan, secara nasional klasifikasi pekerja informal mendominasi status pekerja di Indonesia. Sekitar 59,17% dari jumlah pekerja di Indonesia atau 84,13 juta penduduk merupakan pekerja informal atau dalam sistem jaminan sosial pekerja informal dikategorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (BPU). Dalam klasifikasi tersebut, profesi petani dan nelayan merupakan profesi yang paling rentan terhadap risiko sosial-ekonomi seperti penyakit hingga kematian akibat kerja, kecelakaan kerja, hingga kesulitan ekonomi di masa tua.
Dalam situasi demikian, sebagian besar petani dan nelayan justru belum tersentuh skema jaminan sosial ketenagakerjaan. Baru sekitar 2 juta jiwa atau 6,9% dari jumlah petani di Indonesia yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan jumlah BPU dari profesi nelayan baru mencapai 491 ribu jiwa atau 38,7% dari jumlah nelayan yang ada di Indonesia.
Temuan di beberapa daerah menunjukkan banyak masyarakat, khususnya pekerja informal yang terhambat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan diakibatkan faktor kemampuan ekonomi (ability to pay). Hal ini ditengarai lantaran pekerja informal atau pekerja mandiri tidak terikat dengan perusahaan tempat bekerja (pemberi upah) sehingga cenderung rentan menjadi peserta tidak aktif.
Menurut Robert, Ombudsman RI akan merekomendasikan kepada pemerintah agar pekerja informal rentan seperti petani dan nelayan yang kesulitan membayar iuran tersebut bisa mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan dengan keberadaan skema penerima bantuan iuran (PBI).
"Sehingga di sisi regulasi kita meminta, pertama, agar Kemenko ini duduk bersama dengan kementerian terkait untuk menyusun SKB (Surat Keputusan Bersama) yang memastikan agar para petani dan nelayan itu bisa mendapatkan bantuan iuran PBI," ujar Robert.
"Harmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah, serta peningkatan peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk program Jamsosnaker (PBI) ini diperlukan untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia, yang menjadi salah satu fokus pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto menuju Indonesia Emas," pungkas Robert. (Azwar)