Iklan

MK Perintahkan Kluster Ketenagakerjaan Dikeluarkan dari UU Cipta Kerja

warta pembaruan
01 November 2024 | 10:34 AM WIB Last Updated 2024-11-01T03:34:49Z


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
- Setelah bertahun-tahun berjuang, para pekerja/buruh akhirnya lega atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebanyak 21 norma yang dimohonkan.

MK, Kamis (31/10/2024), memerintahkan pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan baru dan mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Untuk itu, MK memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk undang-undang membuat UU Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi yang ada di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 6/2023, dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan MK itu pun dinilai sebagai kemenangan rakyat seluruhnya, khususnya kaum buruh.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan, perjuangan kaum buruh yang dilakukan beberapa tahun terakhir akhirnya menemukan keadilan.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Kamis, di Jakarta, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan organisasi-organisasi buruh.

Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian oleh MK atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Sebanyak 21 norma tersebut berkaitan dengan tujuh isu besar, yaitu mengenai tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, tenaga alih daya atau outsourcing, upah dan minimum upah, cuti, pemutusan hubungan kerja, serta uang pesangon, uang penggantian hak upah, dan uang penghargaan masa kerja.

Sebelum sampai pada kesimpulan bahwa kluster ketenagakerjaan harus dikeluarkan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan mengatakan, MK telah memutus 36 perkara terkait UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebanyak 12 perkara di antaranya dikabulkan oleh MK. Artinya, sebelum sebagian substansi UU No 13/2003 diubah menjadi UU No 6/2023, sejumlah materi telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.

Selain itu, sebagian substansi pada UU No 13/2003 juga diubah oleh UU No 6/2023, selain ada pula yang sudah disesuaikan dengan putusan MK. Dalam batas penalaran yang wajar, terbuka kemungkinan adanya materi/substansi di antara kedua undang-undang tersebut yang tidak sinkron, tidak harmonis satu sama lain. Ada kemungkinan terjadinya perimpitan norma antara yang sudah dibatalkan oleh MK di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja.

Selain itu, MK mendapatkan fakta adanya sejumlah peraturan pemerintah yang dibuat tanpa mendapat delegasi dari UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, terdapat banyak materi dalam peraturan pemerintah yang jika diletakkan dalam konteks hierarki peraturan perundangan merupakan materi yang seharusnya menjadi materi undang-undang. Misalnya, terkait pembatasan hak dan kewajiban warga negara baik sebagai pekerja/buruh maupun pemberi kerja/pengusaha. Padahal, ditegaskan oleh Enny, pembatasan hak hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, pembentuk udang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No 6/2023.

”Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentuk udang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No 6/2023,” kata Enny saat membacakan pertimbangan putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023.

Enny menambahkan, undang-undang baru dapat menyelesaikan masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan tak sinkronnya materi/substansi terkait ketenagakerjaan. Permasalahan itu  dapat diurai, ditata ulang, dan dapat segera diselesaikan. Demikian pula substansi peraturan yang ada di bawah undang-undang dapat dimasukkan sebagai materi UU Ketenagakerjaan.

Dalam putusannya, MK juga menegaskan sejumlah norma yang dimintakan oleh partai buruh. Misalnya, terkait dengan tenaga kerja asing, MK menyatakan bahwa tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. Namun, hal itu dilakukan dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

MK juga mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh terkait dengan ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu. Ditegaskan oleh MK, jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. Perjanjian kerja waktu tertentu pun harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

MK juga menghidupkan upah minimum sektoral yang dihapus oleh UU Cipta Kerja. Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan pertimbangan putusan, menyampaikan, upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka menjamin kesejahteraan pekerja di sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dengan sektor lain.

Pengaturan mengenai upah minimum sektoral tersebut memberikan perlindungan yang lebih spesifik dan adil kepada pekerja di sektor-sektor tersebut, terutama ketika kondisi di mana sektor tersebut memerlukan standar upah yang lebih tinggi karena tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.

"Dengan dihilangkannya ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam UU No 6/2023, terdapat potensi penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” pungkas Suhartoyo. (Azwar)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MK Perintahkan Kluster Ketenagakerjaan Dikeluarkan dari UU Cipta Kerja

Trending Now

Iklan