Oleh : Komjen Pol (Purn) Dr. AnangIskandar, SIK, SH, MH.
Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Seandainya saya memiliki kesempatan menjadi Presiden, salah satu agenda utama yang akan saya jalankan adalah merumuskan strategi baru dalam menangani kasus narkotika di Indonesia, sebuah langkah yang menurut saya sangat mendesak. Kebijakan pertama yang saya rasa sangat penting adalah memberikan pengampunan atau penghapusan pidana bagi para terpidana kasus narkotika, sekaligus memastikan mereka mendapatkan perawatan dan rehabilitasi yang memadai. Langkah ini bukan hanya bertujuan untuk memulihkan mereka secara fisik dan mental, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan peran yang lebih positif.
Kebijakan kedua adalah merevisi hukuman mati bagi terpidana kasus narkotika dengan mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup. Selain itu, bagi terpidana mati yang telah menjalani hukuman lebih dari 12 tahun, saya akan mempertimbangkan untuk melakukan ekstradisi ke negara asal mereka, memanfaatkan hukum internasional yang berlaku. Pendekatan ini tidak hanya memberi solusi atas isu kepadatan lembaga pemasyarakatan (lapas) tetapi juga membuka peluang untuk meninjau kembali efektivitas hukuman mati dalam konteks penanggulangan narkotika.
Kebijakan penegakan hukum terkait narkotika selama ini memang berhasil menjerat penyalah guna dan pengedar narkotika, namun hasil akhirnya adalah lapas yang penuh sesak dengan terpidana kasus narkotika. Secara formal, ini mungkin dipandang sebagai prestasi penegakan hukum, tetapi dalam konteks pemberantasan narkotika, hal ini justru menunjukkan ketidakefisienan. Kebijakan yang diterapkan saat ini mengabaikan asas “lex specialis derogat lex generalis” atau bahwa hukum khusus seharusnya mengesampingkan hukum umum, serta justru merugikan masyarakat yang mengharapkan keadilan.
Lantas, mengapa kebijakan saat ini belum efektif? Penyebab utamanya adalah karena sanksi penjara yang dijatuhkan tidak mengatasi akar masalah kecanduan narkotika. Banyak pengguna narkotika berulang kali terlibat kasus yang sama, contoh seperti Ammar Zoni yang telah tiga kali dijatuhi hukuman, Ibra Ashari sebanyak enam kali, dan Rio Reifan lima kali. Selain itu, hukuman mati bagi pengedar narkotika pun belum dilaksanakan dengan konsisten; beberapa terpidana bahkan telah menunggu eksekusi hingga 25 tahun. Artinya, pendekatan saat ini tidak menghasilkan efek jera atau dampak positif yang diharapkan.
Tidak hanya tidak efektif, penegakan hukum ini juga memboroskan sumber daya. Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengutamakan prinsip efektivitas dan efisiensi, mewajibkan para pecandu untuk melapor dan menjalani rehabilitasi (Pasal 55) serta menghilangkan status pidana mereka, sehingga mereka tidak dituntut secara pidana (Pasal 128 ayat 3). Sayangnya, banyak penyalah guna justru menjalani hukuman pidana, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Memenjarakan penyalah guna narkotika terbukti tidak memberi dampak jera atau menyembuhkan adiksi mereka. Seperti yang diamanatkan UU Narkotika Pasal 103, para hakim seharusnya mempertimbangkan rehabilitasi, bukan hukuman penjara, bagi para pecandu. Ini didasarkan pada nilai-nilai ilmiah yang mengakui bahwa pengguna narkotika adalah individu yang butuh perawatan, bukan sekadar hukuman.
Maka dari itu, sebuah perubahan paradigma dalam penanganan kasus narkotika sangatlah diperlukan. Dengan menerapkan pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif, bukan hanya kita akan mengurangi kepadatan lapas, tetapi kita juga berpeluang menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan terbebas dari jerat narkotika.