Wartapembaruan.co.id ~ Sindikat perjudian dan Narkoba memang harus mendapat hukuman berat. Setidaknya bagi aparat yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam peredaran Narkoba minimal dikenakan hukuman dua kali lipat pengedarnya. Danu untuk aparat yang terlibat dalam pelaksanaan perjudian -- langsung atau tidak langsung -- minimal dikenakan hukuman satu setengah kali pelakunya. Hanya dengan demikian d
sindikat Narkoba dan sindikat perjudian di Indonesia bisa sedikit mereda untuk kemudian hilang dari bumi Indonesia yang telah sangat parah dan meresahkan masyarakat.
Sebab dampaknya meski tidak langsung mendera masyarakat tapi korban akibat Narkoba dan perjudian telah menimbulkan berbagai tindak kejahatan dalam bentuk lain yang membuat rakyat sebagai korban.
Pengakuan Teddy Minahasa dalam persidangan yang viral termuat dalam berbagai media bahwa transaksi Narkoba terjadi justru dikakukan di instansi pemerintah, Polres lalu semua jajaran yang ada dibawahnya dijadikan jaringan untuk mengedarkan Narkoba. Artinya, sindikat Narkoba sungguh telah melebihi kartel untuk suatu usaha yang justru berlawanan dengan tugas dan fungsi pokok aparat pemerintah. Praktek serupa ini persis seperti yang terjadi dalam sindikat perjudian yang melibatkan aparat pemerintahan dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang sedang menjadi berita terhangat awal bulan November 2024, seakan menjadi pesaing pemberitaan korupsi yang sedang mencecar Tom Limbong yang sungguh terkesan sangat berlebihan itu sehingga membuat kecurigaan banyak pihak bahwa kasus Tom Limbong hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah lainnya yang sesungguhnya lebih besar dan berat.
Pernyataan Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada tentang sindikat Narkoba yang terkait dengan Fredy Pratama terbilang sindikat terbesar di Indonesia. Saat itu -- ketika konferensi pers dilakukan pada 12 September 2023, status Fredy Pratama adalah DPO (Daftar Pencarian orang). Karena wilayah operasinya tidak cuma Indonesia, tapi juga Thailand dan Malaysia.
Batangkan, 10, 2 ton sabu, 116.346 ribu butir pil ekstasi,13 umit kendaraan, 4 bangunan dan sejumlah uang yang sangat banyak di sejumlah rekening, bisa disita oleh Polri.
Lalu bagaimana nasib sejumlah harta dan uang yang disita itu, ini yang terkadang jadi luput perhatian banyak orang, seperti narkoba yang diganti oleh sagu atau gandum untuk kemudian diedarkan kembali secara gelap.
Agaknya, inikah yang membuat banyak usulan dilontarkan. Jika keinginan ingin memberantas peredaran Narkoba, semua badan atau instansi yang diberi tugas khusus menangani masalah narkoba harus dihapuskan. Sebab justru dengan adanya badan atau instansi yang dilembagakan itu, alur peredaran narkoba justru semakin marak dan langgeng (nyaman dan aman).
Dari operasi yang dilakukan Polri berhasil menangkap 39 orang dari jaringan Narkoba yang dikendalikan oleh Fredy Pratama pada Mei 2023. Toh, sampai hari ini -- sejak Teddy Minahasa dieksekusi mati -- gairah sindikat baru narkoba -- seperti sindikat perjudian terus bertumbuh dilahan subur Indonesia.
Tak perduli teriakan ratusan aktivis hingga melakukan aksi melawan gelap di depan Istana Negara, Jakarta pad delapan tahun silam pada 5 Agustus 2016 akibat adanya aktivis dikriminalisasi setelah memberi testimoni tentang Freddy Budiman sebagai bandar besar narkoba yang terkesan saksi dan mendapat perlindungan dari sejumlah pejabat.
Sejumlah oknum dari TNI, Polri dan BNN, menurut laporan Tempo.Co, pada 6 Agustus 2016. Dan BNN (Badan Narkotika Nasional) pun mengaku adanya 72 jaringan mafia narkoba ada di Indonesia. Freddy Budiman sendiri ketika ditangkap setelah mengimpor 1,4 juta butir ekstesi pada Mei 2012. Dahsyatnya, Informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perputaran uang terkait sindikat narkoba di Indonesia mencapai Rp 51 triliun. Freddy Pratama pernah menimbulkan masalah yang terkenal dengan debutan "bilik asmara" saat berada dalam LP. Cipinang, Jakarta Timur. Bilik asmara di LP Cipinang itu adalah ruang kerja Kepala Seksi Kegiatan yang dikomersialkan oleh aparat LP. Cipinang. Akibatnya, Kepala Lembaga Pemasyarakatan cima dikenakan sanksi pencopotan.
Delapan tahun lalu pada 29 Juli 2016 Freddy Budiman dieksekusi mati di LP. Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah , setelah puas berulang kali terjerat kasus narkoba.
Tentu jumlah korban yang berjatuhan akibat ulah bisnis haramnya itu sulit terbilang, karena mereka pun seperti korban perjudian enggan mengakui pilihan buruk mereka itu.
Saat Freddy Budiman ditangkap tahun 2011 di Kemayoran, Jakarta Pusat dengan barang bukti yang cukup, terbukti juga keterlibatan sejumlah anggota kepolisian. Di dalam LP Cipinang pun, Freddy Budiman tetap bisa dan leluasa mengendalikan peredaran narkoba di Indonesi. Artinya, peredaran narkoba di Indonesia tidak akan pernah dapat dihentikan, selama aparat masih terlibat dan ganjaran untuk mereka yang seharusnya melakukan pencegahan hingga pemberantasan harus dan pantas diganjar hukuman yang berlipat dari pengedarnya. Atau minimal dihukum mati juga.
Banten, 2 November 2024
Oleh: Jacob Ereste