Iklan

Ulama Politik di Pentas Pilkada

warta pembaruan
22 Oktober 2024 | 12:44 PM WIB Last Updated 2024-10-22T05:44:43Z


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
-- Setiap kali memasuki masa Pilpres, Pileg, dan Pilkada, akan ada saja para ulama dan tokoh agama, penceramah, pimpinan institusi agama, akademisi, dlsb.) ikut sibuk menjadi Jurkam para politisi dan kandidat (paslon) tertentu.

Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk berpolitik praktis. Namun langkah yang ditempuh keterlibatan ulama di dunia politik praktis (baik langsung maupun tidak langsung) harus diniati untuk kemaslahatan umat, bukan untuk memenuhi ambisi politik-kekuasaan pribadi, 

Mengutip pandangan Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, menyatakan tidak mempermasalahkan "ulama politik”. 

Itu hak masing-masing individu untuk menentukan pilihan-pilihan politiknya. Berpolitik praktis silakan, tidak juga silakan. Mau mendukung paslon ini-itu silakan, mau menolak paslon-itu juga silakan. 

Hanya saja penolakan dan dukungan itu hendaknya dilakukan dengan cara-cara santun dan elegan. Bukan dengan sikap kekerasan dan makian karena didorong oleh “nafsu”, ambisi, keinginan, dan kepentingan paslon tertentu. 

Menurut Sumanto Al Qurtuby,  masih ada tokoh agama dan ulama yang menjaga jarak dengan dunia politik-kekuasaan. 

Ulama jenis ini disebutnya sebagai “ulama asketis”, yaitu ulama yang lebih memilih mengurusi umat, memberdayakan warga, dan menjauhi hingar-bingar dunia politik praktis kekuasaan yang korup. 

Harus diakui, ulama jenis ini kini populasinya semakin menurun dan nyaris menjadi “makhluk langka” sehingga perlu dilindungi supaya tidak terancam punah. Penting untuk dicatat, ulama asketis ini bukan berarti tidak berpolitik. 

Mereka juga berpolitik tetapi menggunakan mekanisme, cara, strategi, taktik, dan tujuan yang berbeda dengan “ulama politik”, yaitu ulama (dan tokoh agama manapun) yang secara terang-terangan maupun “malu-malu kucing” terjun di dunia politik praktis.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis berpandangan bahwa para dai tetap boleh berbicara tentang politik tetapi syarat dan ketentuan berlaku.

"Dai kan boleh juga ngajak-ngajak orang untuk milih, tapi jangan sampai dai itu atas nama dai nya, menjadikan rumah ibadah jadi tempat kampanye, jangan sampai di masjid ada kampanye," tegasnya dalam acara bertajuk “Urgensi Peran Dai Dan Dewan Kemakmuran Masjid Dalam Menjaga Ukhuwwah Di Tahun Politik," yang diselenggarakan MUI Kota Bekasi, Rabu (15/10/2023)

Menurut Kiai Cholil justru dai harus yang paling depan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang adil serta sesuai kriteria. 

Dai dituntut untuk mencerahkan masyarakat agar memilih pemimpin yang mampu mengakomodir kepentingan dunia dan akhirat.  

Soal siapa yang memenuhi kriteria itu, tambah Kiai Cholil, dikembalikan kepada pilihan masing-masing masyarakat. 

"Sampaikanlah tentang politik-politik keadaban, (misalnya) kriteria pemimpin yang baik," ajak Kiai Cholil.

Lebih dari itu, Kiai Cholil juga berpendapat bahwa dai boleh ikut berkampanye tetapi ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.

"Boleh dai ikut berkampanye? Silakan, keluar dari masjid jadi jurkam (juru kampanye, boleh. Tapi jangan sampai atas nama ayat Alquran kemudian melarang orang-orang secara hak konstitusi dapat menjadi calon," paparnya.

"Yang tidak boleh adalah menghantam pihak lain atas nama agama," tambah Kiai Cholil.

Kiai Cholil juga mengingatkan seorang dai harus tahu tempat dan situasi. Kepekaan sosial dai harus tinggi, walau boleh berkampanye tapi tetap harus mengerti kondisi.

"Bedakan antara jadi jurkam (juru kampanye) dengan dai. umpamanya, diundang untuk tahlilan. Ya orang pada jengkel lah, orang diundang untuk ceramah tahlilan kok malah kampanye," ujarnya. (affan)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ulama Politik di Pentas Pilkada

Trending Now

Iklan