OPINI - Tulisan berjudul “Kebohongan demi kebohongan” beredar di berbagai grup WhatsApp. Awalnya, saya tidak tertarik membacanya. Namun, karena tulisan itu mengaku berasal dari Hendry Ch Bangun, yang menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2023-2028, saya merasa perlu merespons dan menelusuri lebih dalam.
Pada awal tulisan, saya sempat terharu. Saya membayangkan bahwa penulisnya adalah sosok yang religius dan gemar memberikan nasihat, serta mengajak orang untuk selalu berbuat baik. Luar biasa, bukan?
Sayangnya, rasa kagum itu segera berubah menjadi hilangnya rasa hormat. Kisah yang ditulis oleh Hendry Ch Bangun terkait kemelut yang panjang di tubuh PWI Pusat sudah jelas menunjukkan keberpihakan. Ceritanya melompat-lompat, seolah-olah mengikuti pikirannya yang tidak tertata. Ia memilih menyusun alur cerita versi karangannya sendiri, berharap mendapat dukungan bahwa dirinya benar. Dalam narasi itu, ia seakan-akan menggambarkan dirinya sebagai korban dari orang-orang yang berupaya merebut kursi Ketua Umum PWI Pusat.
Padahal, kenyataannya tidak seperti yang ia tuliskan. Kasus cash back yang disebutkan benar-benar terjadi dan didukung dengan bukti kwitansi serta saksi-saksi yang mengetahui kejadian tersebut. Hingga saat ini, tidak ada satu pun pihak yang membantah kronologis yang disusun oleh Bendahara Umum (Bendum) terkait pengambilan uang miliaran rupiah dari rekening PWI Pusat. Bahkan, pihak yang disebut sebagai penerima cash back juga membantah pernah menerima uang dari pengurus PWI Pusat. Akhirnya, karena ketahuan, uang tersebut dikembalikan ke rekening PWI Pusat, dan kasus ini sedang berproses di kepolisian, tinggal menunggu waktu.
Sebenarnya, dana bantuan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari BUMN yang diduga digunakan oleh oknum pengurus untuk kepentingan pribadi menjadi pemicu utama kegaduhan di tubuh PWI Pusat. Tidak ada hubungannya dengan perebutan kursi Ketua Umum PWI.
Selanjutnya, kegaduhan di antara pengurus PWI Pusat terus berlanjut. Padahal, orang-orang yang berada di PWI Pusat pada awalnya adalah pendukung Hendry Ch Bangun saat Kongres PWI di Bandung. Bahkan, Zulmansyah, yang saat itu menjabat sebagai Ketua PWI Riau, menjadi kunci kemenangan Hendry menjadi Ketua Umum PWI Pusat. Kini, Hendry Ch Bangun tampaknya kehilangan sahabat-sahabatnya. Ia terlihat seperti seseorang yang berupaya melawan meskipun hatinya hancur berkeping-keping.
Mungkin, kondisi batinnya yang penuh kegalauan membuatnya tak lagi mampu menulis cerita dengan jujur dan runtut. Karena kebohongan selalu akan ditutupi dengan kebohongan lainnya.
Pertikaian panjang di tubuh PWI Pusat yang berujung pada digelarnya Kongres PWI dan terpilihnya Zulmansyah sebagai Ketua Umum merupakan proses yang melibatkan Dewan Kehormatan (DK). Lembaga inilah yang satu-satunya memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah anggota PWI melakukan pelanggaran AD/ART, dan keputusan mereka bersifat final. DK akhirnya mencabut kartu anggota PWI Hendry Ch Bangun. Bahkan, Dewan Pers mengusir Hendry dari kantor PWI di lantai 4 Gedung Dewan Pers.
Semua ini terjadi akibat keras kepala Hendry Ch Bangun, yang terus berupaya mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PWI Pusat, meskipun ia sudah bukan lagi anggota PWI. Ia bahkan membabibuta memecat anggota dan membekukan kepengurusan PWI daerah. Bagaimana mungkin seseorang yang bukan lagi anggota PWI tetap mengklaim bisa menjadi Ketua Umum?
Kasus cash back ini membuat Hendry Ch Bangun kehilangan kendali emosinya. Ia terlihat seperti orang yang minim pendidikan dan pengalaman, yang seharusnya sudah legowo dan mundur tanpa banyak alasan lagi. Walaupun sejatinya Anda bukan lagi anggota PWI, setidaknya berusahalah menjadi seorang kesatria. Sebab, selain kasus cash back, Anda adalah pemicu utama kegaduhan di tubuh PWI Pusat.
Ada begitu banyak catatan yang menunjukkan bahwa Anda sudah tidak layak lagi menjadi Ketua Umum PWI Pusat, meskipun dengan alasan AHU (Administrasi Hukum Umum) Anda tetap bersikeras. Di usia yang sudah tidak muda lagi, seharusnya kita mulai berkata jujur. Tidak perlu lagi ngotot dan berupaya menggambarkan diri sebagai korban.
Peristiwa di tubuh PWI Pusat bukan lagi hanya menjadi urusan anggota PWI, tapi sudah menyebar luas ke masyarakat. Publik tahu apa yang terjadi dan siapa yang memicu kegaduhan ini. Jangan lagi bersembunyi di balik jari-jari yang renggang. Masih ada waktu untuk bercerita dan mengakui semuanya dengan jujur.
_Edison Siahaan_
_Praktisi Media_