By ; Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Ketua DJSN 2011-2015/Ketua Dewas PP IAI/Ketua Umum LPA Lafkespri)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Persoalan fraud dalam Program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan menjadi pembicaraan hangat di kalangan kami mantan anggota DJSN lintas periode di group Whatsapp, karena minimnya regulasi yang terkait dengan standar pelayanan medis di Rumah Sakit.
“Bagaimana batasan _fraud_ yang hendak dipersoalkan, jika standar pelayanan medis batas atasnya “langit” ujar salah seorang mantan anggota DJSN teman saya berdiskusi sejak lama sampai sekarang ini.
Ungkapan itu mengingatkan saya, bagaimana akar persoalannya adalah di hulu.
UU SJSN dalam regulasinya, tidak mengatur tentang standar tindakan medis terhadap pasien. Hal itu ranahnya UU Tentang Kesehatan. UU SJSN hanya memberikan batasan pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta JKN. Apa itu? Berikan pasien itu sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan yang menjadi haknya untuk sehat dari penyakit yang dideritanya.
Batasan apa yang ditanggung dan menjadi jaminan kesehatan peserta juga sudah jelas. Lakukanlah tindakan sesuai indikasi medis, dan jika memerlukan rawat inap maka gunakanlah fasilitas rawat inap kelas standar. Apa itu definisi dan batasan kelas standar dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan. Silahkan dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang JKN, bagaimana definisi operasionalnya.
KDK Kebutuhan Dasar Kesehatan), lingkup indikasi medis mulai dari preventif, kuratif dan rehabilitatif dan batasan rawat inap kelas standar, implikasinya dengan besaran iuran, sampai hari ini persoalan tersebut masih menjadi kajian, bahasan, uji coba yang ujungnya terkait dengan besaran iuran peserta, masih belum jelas.
Persoalan di hulu itu, siapa yang paling bertanggung jawab. Jika merujuk ke UU Tentang Kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sebagai lembaga yang diamanatkan menyelenggarakan urusan kesehatan.
DJSN sebagai pihak yang ditugaskan untuk menghitung besaran tarif iuran JKN, agar balance dengan pembayaran manfaat, dan menyediakan sedkit surplus diakhir tahun sebagai dana cadangan, tentu juga mengalami kesulitan dalam melakukan perhitungannya, jika tidak jelas kebijakan di hulu yang mencakup berbagai hal tersebut.
BPJS Kesehatan dengan acuan UU SJSN, UU BPJS, Perpres JKN, dan berbagai Permenkes yang terkait, tekadang berada pada posisi yang sulit.
Dengan dana jaminan sosial yang dikelolanya ratusan triliun, tentu dilandingkan ke provider secara pruden. Berbagai Kebijakan Badan maupun Direksi, mengatur secara teknis terkait pemberian dana ke faskes, dan memastikan faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan melaksanakan kesepakatan dengan jujur, profesional, dan akuntabel.
Persoalan kebijakan yang belum tuntas dari Kementerian terkait, jika tidak dikelola dengan baik oleh BPJS Kesehatan misalnya adanya _moral_ _hazard_, _fraud_ dalam pelayanan medis, mungkin saja terjadi karena belum lengkapnya PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) sebagai acuan rumah Sakit, dan juga mungkin belum semua RS membuat SOP/Clinical Pathway, sebagai Pedoman Teknis tenaga medis, merupakan ruang gelap yang bisa BPJS Kesehatan terjerembab kedalam lobang fraud dan moral hazard.
Kalau persoalannya manipulasi/phantom itu tidak sulit penyelesaiannya, karena sudah cukup terang dan jelas, tinggal eksekusi saja. Tetapi wilayah abu-abu atau lorong gelap tidaklah mudah penyelesaiannya.
Contoh lain, persoalan di hulu terkait faskes (FKTP/FKTL). Karena faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan belum diakreditasi standar mutu pelayanannya, maka BPJS Kesehatan melakukan kredensialing sebagai persyaratan untuk perpanjangan kerjasama.
Banyak cerita dan keluhan terkait kredensialing yang dilakukan. Bagi BPJS Kesehatan hal tersebut tentu menambah pekerjaan. Karena hakekatnya UU SJSN dan UU BPJS, tidak ada perintah untuk melakukan kredensialing. Kewajiban BPJS Kesehatan memastikan apakah faskes yang diajak bekerjasama itu sudah memenuhi persyaratan ijin yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Sekarang ini semua faskes primer dan rujukan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sudah diakreditasi oleh Lembaga Penyelenggaran Akredsitasi yang ditunjuk Kemenkes. BPJS Kesehatan juga sudah mengharuskan untuk pepanjangan kerjasama faskes dimaksud harus menunjukkan sertifikat akreditasi yang diterbitkan Kemenkes bersama LPA yang melaksanakan survei paling lambat akhir Juni 2024 yang lalu.
Hakekatnya kredensialing dan akreditasi faskes, subtansi dan materi penilaiannya tidak jauh berbeda. Bahkan akreditasi lebih dalam, detail, mencakup dokumen, alat dan sarana perlengkapan, SDM, sistem pelaporan, MRE, bahkan sampai penyusunan Perencanaan Perbaikan Strategis (PPS) harus dirumuskan dan ditindak lanjuti sampai selesai.
Artinya dengan demikian kredensialing bagi faskes yang sudah akreditasi tidak diperlukan lagi. Tetapi sampai saat ini kredensialing jalan terus walaupun faskes yang sudah akreditasi. Mudah-mudahan kedepan sudah ada kesepakatan mengintegrasikan kredensialing dengan akreditasi.
Kembali persoalan di hulu yang diutarakan di atas, sebaiknya diselesaikan secepatnya. Kementerian Kesehatan merupakan institusi yang harus menyelesaikannya. Masih adanya PNPK yang belum selesai sesuai dengan kelompok jenis penyakit, fleksibilitas Formularium Nasional Obat-obat JKN diperlukan untuk perlindungan pasien, khususnya penyakit katastropik. Demikian juga halnya KDK, rawat inap kelas standar, merupakan sisi rawan untuk terjadi fraud dan moral hazard.
BPJS Kesehatan memang tidak bisa masuk persoalan di hulu. Jika masuk akan mengacaukan rumusan kebijakan yang akan dilakukan Kemenkes. Saat ini yang diperlukan terjalinnya hubungan antar lembaga yang beririsan tebal terkait Jaminan Sosial, dalam suatu kolaborasi, sinergitas, dan hindari penetrasi. (Azwar)
Cibubur, 2 Oktober 2024