Jakarta, Wartapembaruan.co.id ~ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk membuka penyelidikan terhadap 20 proyek besar di PT PLN (Persero) yang berlangsung selama periode 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia. Proyek-proyek ini diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah, dengan keterlibatan berbagai vendor seperti PT Kabel Metal Indonesia (KMI), PT Sucaco, PT Berca, PT Prysmian Cable, dan lainnya.
Sebanyak lima vendor kabel mendapatkan proyek dengan sistem "arisan" dari PT PLN dalam kurun waktu 2016-2019. Para vendor ini berbagi wilayah kerja mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, hingga Makassar. Proyek penanaman kabel ini menggunakan metode Horizontal Directional Drilling (HDD), yaitu metode pengeboran tanpa galian yang dilakukan dengan menarik pipa atau utilitas lain ke dalam lubang bor. Beberapa perusahaan yang terlibat dalam pengerjaan proyek ini termasuk PT Pharma di Makassar, PT Kencana Sakti Indonesia, dan PT Citra Gentari Indonesia di Jakarta dan Palembang, dengan vendor PT BICC (Berca).
Vendor PT Sucaco menggandeng PT Pharma, PT Jamindo, dan PT SAJ untuk pengerjaan di Makassar, Cilegon, Kebon Jeruk, dan Ancol. Sementara itu, vendor PT Kabel Metal Indonesia (KMI) menggandeng PT CME di Bali. Proyek-proyek ini melibatkan jaringan kabel sepanjang ratusan kilometer.
Dalam pelaksanaan proyek, PT PLN menetapkan harga HDD untuk tiga pipa sebesar Rp 12 juta per meter, untuk enam pipa Rp 16 juta per meter, dan untuk 12 pipa Rp 24 juta per meter. Selain itu, pengadaan kabel 150 KV yang disediakan oleh vendor juga berharga tinggi.
Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) mencurigai adanya potensi korupsi besar dalam proyek-proyek ini. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 847/Pid.B/2020/PN.Jak.Sel, yang diputuskan pada tanggal 26 Oktober 2020, biaya satuan HDD per meter sebenarnya hanya Rp 2,1 juta.
Dalam proyek HDD Pecatu-Nusa Dua di Bali yang dikerjakan oleh PT Kabel Metal Indonesia (KMI) dan subkontraktor PT CME, total pengerjaan proyek mencapai Rp 31,18 miliar untuk PO pertama dan Rp 27,72 miliar untuk PO kedua. Namun, dari total panjang pekerjaan 12.600 meter, hanya sekitar 9.636 meter yang benar-benar dikerjakan. Ini menunjukkan bahwa harga per meter sebenarnya Rp 4,4 juta, jauh lebih tinggi dari estimasi biaya maksimal sebesar Rp 2,1 juta per meter.
Lebih lanjut, pekerjaan tersebut kembali disubkontrakkan oleh PT Ida Iasha Nusantara (IIN) kepada PT Surya Cipta Teknik (SCT) dengan harga yang lebih rendah, yakni Rp 3,4 juta per meter. INDECH mencatat bahwa pekerjaan HDD Bali tersebut telah disubkontrakkan tiga kali, dengan dugaan mark up hingga Rp 9 juta per meter.
Sekretaris Jenderal INDECH, Order Gultom, mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta persidangan, harga HDD hanya Rp 2,1 juta per meter, sedangkan PT PLN membayar Rp 12 juta per meter. "Kalaupun ada tambahan harga pipa, hitungan kami tidak sampai Rp 1 juta. Artinya, pekerjaan HDD bisa selesai dengan baik dengan harga Rp 3 juta per meter, namun PLN mengucurkan Rp 12 juta per meter. Ada dugaan mark up Rp 9 juta per meter," jelasnya, seperti dikutip dari monitorindonesia.com, Selasa (17/9).
Dengan adanya mark up sebesar Rp 9 juta per meter untuk proyek HDD di 20 lokasi selama 2016-2019, kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Kerugian ini hanya mencakup proyek fisik yang dikerjakan oleh kontraktor HDD, belum termasuk pengadaan kabel oleh vendor.
Desakan untuk Penyelidikan oleh KPK
INDECH mendesak KPK untuk segera membuka penyelidikan terhadap proyek-proyek HDD di PT PLN. Organisasi tersebut siap memberikan data dan nama-nama perusahaan yang diduga terlibat dalam skandal ini kepada KPK. "Kami menduga ada oknum pejabat PLN yang menitipkan harga kepada kontraktor. Pekan depan, INDECH akan melaporkan kasus ini ke KPK," ujar Order Gultom.
Sebelumnya diberitakan, PT Ida Iasha Nusantara sebagai perantara dalam proyek ini memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,3 juta per meter, sementara PT SCT yang mengerjakan proyek hingga selesai hanya menerima Rp 2,1 juta per meter. INDECH menyoroti bahwa keuntungan yang didapat oleh perusahaan perantara ini menunjukkan adanya dugaan mark up yang sangat besar dalam proyek HDD di PT PLN.
Pengalihan pekerjaan tersebut melanggar peraturan dalam pengadaan barang dan jasa, di mana penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab pekerjaan utama kepada pihak lain tanpa persetujuan pengguna barang/jasa. Hingga berita ini diturunkan, Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasojo, belum memberikan komentar terkait kasus ini.