Penulis: Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
Semarang, Wartapembaruan.co.id - Menyimak Opini TEMPO edisi Minggu ini (26/8/2024), tersibak peran Gerindra menggerakkan Baleg RI untuk Raker Kilat menolak Keputusan MK Nomor 60 dan 70 Tahun 2024.
Dua orang pemain utamanya adalah Ketua Harian dan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco dan Menkumham Supratman yang baru diangkat jadi Menteri, sebelumnya Ketua Baleg RI.
Setelah demo besar-besaran di kota-kota besar terutama di DPR RI 23 Agustus 2024, Prabowo tentu berhitung panjang akan dampaknya sebagai Presiden mendatang. Kejadian ini bisa ibarat krikil di dalam sepatu. Disamping itu RUU Pilkada yang melawan keputusan MK untuk kepentingan dinasti Jokowi. Mungkin saat itulah jiwa patriot Sapta Marga dan Sumpah Prajuritnya muncul dikepala Prabowo. Lantas, Sufmi Dasco diperintahkan untuk membatalkan Sidang Paripurna membahas RUU Pilkada, dan malamnya menyampaikannya melalui konperensi pers.
Siapa yang tidak kenal Sufmi Dasco, orang yang sangat dipercaya Prabowo, Ketua Harian Gerindra, politikus lincah dan fleksibilitasnya luar biasa. Langkahnya yang cepat meminta Polisi membebaskan mahasiswa demonstrasi yang ditahan, tentu suatu strategi handal untuk menghilangkan jejak. Tapi Majalah TEMPO mengungkapkan dengan jelas peran Dasco di Baleg DPR.
Prabowo jika tidak hati-hati di masa transisi 2 bulan menjelang pergantian Presiden, harus cermat memperhatikan gerakan politikus, Ketua-Ketua Partai yang sedang ramainya ber-Kongres. Forum itu panggung orasi Ketua Umum Partai untuk menunjukkan jati dirinya yang sangat patriotis, konsisten, dan punya komitmen tinggi untuk menuju Indonesia Emas 2045. Seakan lupa, ada calon Presiden yang diusungnya, kemudian kalah, dan ditinggalkan begitu saja, lantas balik belakang bergabung dalam KIM-Plus. Itulah definisi konsiten dan komitman tinggi dibenak para Ketua Partai Politik.
Sejujurnya bagi Prabowo, tidak ada keuntungan politik dan kekuasaan yang didapat pada saatnya menjadi Presiden 2 bulan mendatang. Bahkan jika tidak pintar meniti buih, bisa ikut terjerembab, jungkir balik dan akhirnya terkapar. Sebab mengikuti keinginan Jokowi melawan keputusan MK, jelas dan terang benderang pembegalan terhadap konstitusi.
Bagi Jokowi yakin benar sudah dapat mengendalikan semua Ketua Partai (KIM-Plus) kecuali PDI-P. Kasus pembegalan konstitusi ini yang kedua, dan merasa puas pembegalan pertama putusan MK Nomor 90, sukses besar. Anaknya Gibran jadi Wakil Presiden.
Tetapi, Jokowi lupa. Rakyat, mahasiswa, intelektual, kelompok menengah, para dosen dan guru besar tidak sanggup dia lawan. Pagar Gedung DPR RI yang begitu kokohnya jebol. Anggota DPR ada kena lemparan botol aqua. Gerakan ini masif di kota-kota besar secara serentak.
*Bagi Jokowi, ini persoalan masa depan keluarga. Sedangkan bagi Prabowo sedang berjuang untuk masa depan bangsa*. Bagi Jokowi ini mungkin sudah pada fase “_to be or not to be_”.
Ancaman kelompok masyarakat yang kita baca di media sosial, sungguh menakutkan dan mengerikan, jika waktunya Jokowi lengser. Ada yang ingin menuntutnya ke pengadilan, dan menuntut hukuman mati. Suatu kondisi emosional masyarakat yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Sekarang ini tidak ada lagi pejabat, penyelenggara negara, politisi, yang dapat mencegah segala manuver Jokowi yang sistemik. Korban terakhir adalah Partai Politik Golkar. Begitu hebat dan banyaknya senior, sesepuh, dan intelektual Golkar, sakit gigi menghadapi Bahlil Lahadalia yang baru anak kemarin sore dan belum berdarah-darah berjuang untuk Golkar. Secara aklamasi tanpa ada saingan terpilih menjadi Ketua Umum Golkar dalam Munaslub baru-baru ini. Secara terbuka para kader Golkar mengetahui itu, semua tidak terlepas dari peran Jokowi. Bahlil mengingatkan kepada peserta Munaslub jangan main-main dengan Raja Jawa (maksudnya-Jokowi).
Satu-satunya Penyelenggara Negara yang dapat mengendalikan Jokowi adalah Jenderal TNI (Pur) Parabowo. Posisinya sebagai Presiden terpilih dan Menteri Pertahanan yang mempunyai akses langsung ke TNI dan Kepolisian, dapat mengingatkan dan mengontrol Presiden Jokowi agar dalam waktu yang tinggal 2 bulan ini, dapat fokus dalam persiapan transisi kepada pemerintahan Presiden Prabowo.*
Jokowi dan Teori Lame Duck (Bebek Lumpuh)
Teori Lame Duck, terkait dengan peralihan kekuasaan. Seorang Presiden yang sudah dua periode menjadi Presiden dan tidak boleh mencalonkan lagi karena perintah Konstitusi. Beberapa bulan menjelang akhir jabatannya, Presiden yang berakhir itu harus membatasi diri dan dibatasi untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis yang berdampak pada penyelenggaraan negara Presiden berikutnya. Moralitas dan perilaku Presiden yang akan berakhir masa jabatannya harus memperlihatkan keikhlasan, legowo, dan mendorong penuh agar proses transisi berjalan lancar.
Teori Lame Duck ini tidak berlaku bagi Presiden Jokowi. Dengan kecepatan penuh terus melakukan kebijakan strategis seperti pergantian menteri yang tinggal berusia 2 bulan, membentuk Badan baru dan melantik Ketua Badan sebagai Lembaga Negara. Tidak jelas dimana kantornya, siapa pejabat-pejabat struktur dibawahnya, sumber dana dan besar angggaran APBN yang harus dialokasikan. Mengotak atik Ketua Partai agar dapat me-remote anggota DPR-RI patuh pada Presiden Jokowi.
Prabowo harus mengendalikan manuver-manuver Jokowi itu. Jangan terlalu sungkan, karena sudah turut berjuang terpilihnya Prabowo sebagai Presiden. Dukungan Jokowi itu tidak gratis. Prabowo harus menggandeng anak sulungnya menjadi Wakil Presiden. Suatu beban yang luar biasa beratnya bagi Prabowo. Karena dalam prosesnya ada yang diduga melanggar Konstitusi. Sehingga muncul isitilah “Anak Haram Konstitusi”.
Prabowo dapat melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, sudah terbiasa menghadapi situasi kegentingan pemerintahan.
Dengan atribut Prabowo yang diuraikan di atas, dapat mengontrol berbagai jaringan kekuasaan dan kekuatan yang sedang bermain saat ini. Upaya melakukan strategi Lame Duck perlu dilakukan, supaya langkah Presiden Jokowi dalam 2 bulan kedepan ini terseok-seok untuk bermanuver. Dua bulan bukan waktu yang panjang, tetapi juga bukan waktu yang pendek.
alam kurun waktu itu, apapun bisa terjadi. Prabowo punya tanggung jawab besar mengawal dua bulan kedepan terkendali, dan Pelantikan Presiden Prabowo 20 Oktober 2024 dapat dilaksanakan dengan aman, damai, tertib. Tidak perlu pelantikan Presiden di IKN, tetapi di Istana Negara Jakarta saja agar lebih hemat.
Mataram, 27 Agustus 2024
(Azwar)