Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan, produktivitas sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung menurun dan kalah jika dibandingkan dengan Malaysia. Padahal, jika dilihat dari luas lahan dan produksinya, sawit Indonesia lebih besar ketimbang Malaysia.
Ketua Kompartemen Media Relation GAPKI, Fenny Sofyan, mencatat, ada tren penurunan produktivitas kelapa sawit di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Bahkan, produktivitasnya jauh di bawah Malaysia.
“Memang kalau dilihat dari produksinya Indonesia lebih besar dari Malaysia, karena lahannya juga lebih luas. Tapi kalau dilihat dari produktivitas, ternyata sawit kita di bawah Malaysia. Itu yang harus kita evaluasi bersama,” ungkap Fenny pada acara "Menjaga Keberlanjutan Industri Sawit Dalam Pemerintahan Baru" yang digelar Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Fenny mengatakan, penyebab turunnya produktivitas tanaman sawit dikarenakan 40 persen dari total lahan kelapa sawit di Indonesia, setara dengan 6,57 juta hektare, sudah masuk dalam kategori usia tanaman tua.
“Penurunan produktivitas ini secara signifikan disebabkan oleh komposisi umur tanaman sawit yang sudah tua. Hal ini menuntut percepatan dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk memperbarui kebun sawit secara menyeluruh,” kata Fenny.
Oleh karena itu, Fenny menekankan pentingnya edukasi terkait dengan peremajaan kelapa sawit (PRS) kepada petani. “Kemudian perusahaan-perusahaan juga mensosialisasikan agar perusahaan secara konsisten melakukan replanting. Jangan sampai nanti terlambat,” tambah Fenny.
Fenny juga menyoroti dampak dari moratorium kebun sawit yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden sejak tahun 2011. Meskipun mengakui pentingnya upaya pelestarian lingkungan, menurut Fenny, moratorium tersebut telah memperlambat produktivitas dan menyulitkan upaya untuk meningkatkan produksi dalam menjawab kebutuhan pasar yang terus meningkat.
“Kami tidak mengingatkan bahwa perlu adanya moratorium itu ditiadakan atau tidak. Bukan seperti itu. Tapi dengan adanya moratorium kebun sawit ini berarti kan kita harus evaluasi bagaimana caranya memproduksi lebih banyak dan dalam waktu cepat,” ucap Fenny.
Lebih lanjut, Fenny menegaskan bahwa penurunan produktivitas ini berpotensi mengorbankan volume ekspor, nilai devisa, serta kemampuan untuk membiayai program-program strategis seperti biodiesel dan replanting.
Dia juga menekankan urgensi pemerintah dalam memberikan dukungan yang konsisten untuk menjaga keberlanjutan hilirisasi produk kelapa sawit sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045.
“Dalam konteks hilirisasi produk, kelapa sawit memiliki peran kunci untuk ekonomi nasional. Oleh karena itu, peremajaan dan inovasi dalam meningkatkan produktivitas harus menjadi prioritas bersama untuk menjaga daya saing global,” tambah dia.
Dis sisi lain Ketergantungan dunia terhadap minyak kelapa sawit mengalami peningkatan signifikan, mencapai 61 persen dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Meskipun ada inisiatif hijau yang mengakibatkan penurunan ekspor minyak sawit pada tahun 2022-2023, permintaan global terhadap minyak kelapa sawit terus meningkat.
Produksi minyak kelapa sawit Indonesia naik sebesar 25 persen, menjadikannya salah satu produsen utama di dunia.
“Indonesia secara konsisten menempati posisi terdepan dalam produksi minyak nabati dan minyak alami lainnya selama beberapa tahun terakhir,” tutur Fenny.
Fenny mengatakan, produksi minyak esensial yang dulunya mendominasi pasar mulai menunjukkan tren penurunan. Di sisi lain, minyak kedelai juga mengalami peningkatan produksi, terutama di Brazil yang memanfaatkannya untuk biodiesel.
Meskipun demikian, suplai minyak kelapa sawit secara global diperkirakan akan tetap meningkat meskipun produksi dari sumber lain berkurang.
Menurut estimasi dari Oil World, permintaan minyak kelapa sawit akan meningkat sebesar 1,7 juta ton. Namun, Fenny menyatakan bahwa data dari Oil World sering kali dipertanyakan keakuratannya.
“Data dari pakar lokal, seperti Pak Gula, dianggap lebih dapat diandalkan karena didasarkan pada pengamatan langsung di lapangan,” tambahnya.
Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Fenny mengingatkan bahwa jika stagnasi terus berlanjut dan program-program dalam negeri tidak ditingkatkan, dampak politik ekonomi global terhadap Indonesia akan mengalami penyesuaian.
“Hal ini terutama akan mempengaruhi pergerakan politik dan ekonomij negara-negara di dunia, serta menimbulkan berbagai pembatasan dan restriksi,” pungkas Fenny. (Azwar)