Oleh : Farhans Mahendra Syam, S.H.
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara).
OPINI, Wartapembaruan.co.id -- Selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan, Pemerintah Israel melalui militernya telah melancarkan berbagai serangan ke wilayah Palestina di Jalur Gaza. Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi berbagai tragedi kemanusiaan, seperti kelaparan massal hingga isu terkini berupa penyerangan ke kamp yang dihuni oleh warga palestina yang mengungsi di daerah Rafah oleh militer Israel. Benjamin Netanyahu menyebutkan bahwa, tujuan Israel menyerang dan menggempur Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas. Namun dibalik itu pada Februari 2024, Nir Barkat selaku Menteri Perekonomian Israel menyebutkan bahwa Israel juga mendapatkan sebuah keuntungan dari penyerangan ke Gaza ini.
Nir Barkat menyebut bahwa dengan adanya operasi penyerangan militer Israel ke Gaza memantik ketertarikan negara-negara lain untuk membeli senjata militer Israel dan meningkatkan perdagangan senjata militer Israel. Pada akhirnya, perang Israel-Palestina di Jalur Gaza dimanfaatkan sebagai sarana promosi perdagangan senjata militer oleh pihak Israel. L
Namun keuntungan tersebut perlu dipertanyakan lebih lanjut, karena selain pada dasarnya penyerangan Israel ke Jalur Gaza bertentangan dengan kaidah hukum internasional, penyerangan tersebut juga telah mendapatkan berbagai kecaman dari masyarakat internasional. Oleh karenanya, terdapat potensi money laundering dari “keuntungan” yang didapat dari penyerangan tersebut.
Potensi money laundering tersebut diperkuat dengan adanya surat perintah penangkapan oleh Jaksa Mahkamah Pidana Internasional Karim Khan terhadap Presiden Israel, Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant. Di dalam surat perintah penangkapan tersebut, termuat diantaranya beberapa tindak kriminal yang dikenakan kepada keduanya dan umumnya berupa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.
Tanggung Jawab Kolektif dan Tanggung Jawab Individual Israel sebagai entitas negara yang diakui kedaulatannya oleh beberapa negara barat atau sebagai entitas kelompok terorganisasi non-negara dari sudut pandang negara-negara yang tidak mengakui kedaulatannya, pada saat ini memiliki tanggung jawab kolektif atas kejahatan perang yang dilakukannya selama penyerangan ke Gaza. Penjatuhan tanggung jawab tersebut didasarkan pada semua tindakan orang-orang yang mengambil bagian dari angkatan bersenjata Israel yang dibebankan kepada Israel sendiri sebagai entitas negara atau kelompok terorganisasi non-negara. Bentuk nyata dari adanya tanggung jawab kolektif Israel diwujudkan dalam kecaman masyarakat internasional melalui sidang PBB.
Tanggung jawab individual dalam hal ini terhubung dengan adanya prinsip pertanggungjawaban komando yang membebani pertanggungjawaban bawahan militer kepada atasan militer atau sipil yang menggerakkan atau memerintahkan penyerangan ke Gaza. Dalam kasus ini, tanggung jawab individual dibebankan kepada Netanyahu selaku atasan tertinggi militer dari unsur sipil dan Gallant selaku Menteri Pertahanan yang membawahi langsung angkatan bersenjata Israel.
Penjatuhan Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant Karim Khan selaku Jaksa Mahkamah Pidana Internasional menjatuhkan perintah penangkapan kepada Netanyahu dan Gallant dengan dasar adanya tindakan menyebabkan kelaparan, penderitaan, serta penyerangan kepada penduduk sipil Palestina di Gaza secara sengaja. Tindakan tersebut didakwa sebagai kejahatan perang. Adapun tiga tindakan lainnya yang didakwakan berupa pemusnahan dan/atau pembunuhan massal, persekusi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Mayoritas dakwaan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.
Sejarah mencatat bahwa, mayoritas para penjahat perang yang diadili melalui pengadilan internasional seperti Pengadilan Nuremberg, Pengadilan Tokyo, dan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), diputus dengan hukuman mati. Diantara para penjahat perang tersebut seperti para petinggi Nazi Jerman, petinggi militer Jepang para era perang dunia II, serta para petinggi negara yang terlibat pada kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di pada saat perang Serbia-Bosnia. Petinggi Negara pada tingkat Perdana Menteri seperti Hideki Tojo dijatuhi hukum mati atas dakwaan kejahatan perang oleh Pengadilan Tokyo. Adapun penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat pada kasus Radovan Karadzic yang dijatuhi hukuman 40 tahun penjara oleh International Residual Mechanism for Criminal Tribunals (IMCT).
Dilihat dari fakta-fakta sejarah tersebut sebagai perbandingan dengan kasus perintah penangkapan Netanyahu dan Gallant, terdapat tendensi penjatuhan hukuman oleh hakim Mahkamah Pidana Internasional mengarah setidaknya pada hukuman mati atau penjara selama 40 tahun.
Rezim Hukum Anti-Money Laundering Internasional dan Keuntungan Israel
Standar Predicate crimes internasional yang menjadi dasar adanya rezim hukum anti-money laundering internasional ditentukan dalam Konvensi Palermo tahun 2000. Di dalam konvensi tersebut ditentukan adanya definisi kejahatan serius sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dapat dihukum dengan hukuman perampasan kebebasan setidaknya 4 (empat) tahun atau hukuman yang lebih serius.
Melihat dari kemungkinan penjatuhan hukuman kepada Netanyahu dan Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan perbandingan penjatuhan putusan hakim atas kasus-kasus dan dakwaan serupa di masa lalu. Maka keuntungan yang sebelumnya disampaikan oleh Nir Barkat jika telah secara nyata menjadi pendapatan pada kas Israel, mengakibatkan adanya potensi money laundering. Hal ini dikarenakan sejumlah keuntungan yang dapat dinilai dengan uang tunai tersebut merupakan hasil dari promosi senjata militer melalui tindak kejahatan perang.
Penulis adalah mahasiswa Magister Ilmu HukumUniversitas Sumatera Utara