Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kaum muda Indonesia yang tergabung dalam 8th Youth Forum ICTOH 2024 mendeklarasikan 8 (Delapan) langkah untuk membantu Indonesia melindungi generasi muda dari cengkeraman dan ancaman industri produk tembakau guna menciptakan masa depan yang lebih sehat dan terbebas dari dampak buruknya.
Deklarasi ini disampaikan perwakilan anak muda, dalam rangkaian Indonesian Conference on Tobacco or health (ICTOH) 2024 menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024, yang berlangsung dari tanggal 29-31 Mei 2024, di Bandung, Jawa Barat.
Adapun kedelapan langkah yang dideklarasikan ini meliputi:
1. Menuntut pelarangan total segala bentuk iklan, promosi dan sponsorship produk tembakau di semua media termasuk media digital
2 Mendesak agar Peringatan Kesehatan Bergambar atau Pictorial Health Warning(PHW) pada semua kemasan produk tembakau, termasuk rokok elektronik, diperbesar sehingga bisa memberikan edukasi optimal
3. Menjamin pelaksanaan 100% KTR di lingkungan terdekat anak dan di tempat umum demi terwujudnya lingkungan yang sehat
4. Mendesak Pemerintah untuk mengatur dengan tegas pelarangan penjualan produk tembakau pada anak dan remaja serta percepatan pembentukan regulasi terkait rokok elektronik untuk mencegah dampak buruk bagi anak
5. Melarang penjualan rokok eceran untuk menutup akses produk tembakau, terutama bagi perokok pemula
6. Mendorong kaum muda untuk berpartisipasi aktif sebagai upaya pencegahan meningkatnya perokok pemula melalui program edukasi dan advokasi
7.Memperkuat peran keluarga dalam mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan tidak mengonsumsi rokok dan produk tembakau dan menciptakan rumah tanpa rokok
8. Mendorong efektivitas kolaborasi antar instansi dari tingkat pusat hingga tingkat administrasi terkecil untuk memastikan kebijakan pengendalian tembakau sebagai perlindungan anak.
Menurut salah seorang pembaca Deklarasi, Disty (16 tahun), *Pendidik Sebaya Young Health Program (YHP) Indonesia*, iklan, promosi dan sponsor rokok mendorong keingintauan remaja untuk mencari informasi lebih lanjut dan mencoba merokok.
"Di lingkungan teman-teman saya, iklan dan promosi rokok itu justru mendorong mereka untuk cari tau lebih banyak tentang rokok. Ini menjadi kekhawatiran kami. Apalagi iklan-iklan rokok itu sangat kreatif, yang membuat anak dan remaja itu makin penasaran. Dan yang sangat kami khawatirkan, karena rasa ingin tau yang dalam itu, anak dan remaja jadi mencoba merokok,” ujar Disty.
Kekhawatiran Disty juga menjadi kekhawatiran Lisda Sundari, *Ketua Lentera Anak.* yang mengatakan, secara psikologis anak masih sedang berkembang dan rentan dipengaruhi. Gempuran paparan iklan dan promosi rokok di media konvensional dan media sosial mempengaruhi anak untuk ingin tau lebih banyak tentang rokok, dan mencoba merokok. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) pada 26 Januari 1990, yang disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.
”Dengan meratifikasi KHA, Negara punya kewajiban untuk melindungi anak dari informasi dan materi yang dapat membahayakan kesejahteraannya. Ini berdasarkan pasal 17 dan 36 KHA, berupa kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala kegiatan yang mengambil keuntungan dari mereka atau dapat membahayakan kesejahteraan dan perkembangan mereka. Tapi upaya perlindungan itu tidak terlihat, karena anak-anak masih diintervensi oleh industri tembakau melalui paparan iklan dan promosi rokok yang masif, bertebaran di hampir seluruh media komunikasi,” kata Lisda.
Bahkan, Lisda menambahkan, tidak hanya anak yang rentan diintervensi oleh industri tembakau. "danya fakta lembaga yang juga diintervensi dengan berbagai tujuan, seperti upaya untuk meningkatkan citra baik industri rokok dan bagian dari lobi agar regulasi pengendalian tembakau yang sedang dibuat tidak merugikan kepentingan industri tembakau," tambah Lisda.
Menurut Lisda, berdasarkan laporan sebuah jurnal internasional pada Mei 2018, sebuah lembaga internasional yang mengawasi implementasi Konvensi Hak Anak, didekati oleh industri tembakau dengan memposisikan dirinya sebagai mitra yang ingin membantu dan terlibat dalam upaya pencegahan merokok remaja. "Ini menjadi bagian dari strategi industri tembakau secara keseluruhan untuk meningkatkan citra perusahaannya untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau global,” ujar Lisda.
Sepakat dengan Lisda, Mouhamad Bigwanto SKM., MPHM., *Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI)*, menegaskan industri tembakau masih menggunakan berbagai taktik untuk mempengaruhi kebijakan publik demi melindungi kepentingannya. Salah satu bentuk upaya mempengaruhi kebijakan ini antara lain mencampuri proses pembuatan kebijakan pelarangan iklan dan promosi produk tembakau untuk memastikan tidak ada gangguan terhadap pemasaran produknya kepada generasi muda yang menjadi target utama produknya.
Menurut Bigwanto, masifnya iklan, promosi dan sponsor rokok karena regulasi pengendalian tembakau di Indonesia sangat lemah.
”Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih membolehkan iklan rokok secara langsung di media penyiaran. Kondisi ini terjadi karena adanya campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan aturan pengendalian tembakau, dan di sisi lain pemerintah sangat lembah merespon campur tangan tersebut. Inilah yang menjadikan upaya pelarangan iklan rokok selama berpuluh tahun di Indonesia tidak pernah terwujud,” ujarnya
Bigwanto menambahkan, salah satu persoalan pelik adalah karena sikap pemerintah yang masih menganggap industri tembakau adalah industri yang normal. Sehingga tidak ada peraturan untuk membatasi kerjasama dengan industri tembakau.
”Sikap pemerintah ini harus dikoreksi. Karena produk tembakau itu memang legal, tapi produknya tidak normal sesuai ketentuan dalam UU tentang Cukai. Dimana disebutkan di pasal 2 UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik dimana konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi adalah barang yang kena cukai termasuk berupa hasil tembakau,” imbuhnya.
Tapi persoalannya adalah, lanjut Bigwanto, apakah pemerintah mau atau tidak untuk menyelamatkan anak Indonesia dari intervensi industri tembakau.
”Kalau mengacu kepada Konvensi Hak Anak, pemerintah semestinya harus lebih berani menolak campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan. Sebab, kepentingan industri yang berorientasi pada profit, sampai kapanpun tidak akan pernah sejalan dengan tujuan kesehatan, yaitu melindungi generasi masa depan dari zat adiktif nikotin,” ungkapnya.
Menurut Ridhwan Fauzi, SKM., MPH., Ph.D., dari WHO Indonesia, Indonesia sebenarnya punya peluang untuk mengatur pengendalian tembakau yang lebih tegas untuk melindungi anak-anak. Sebab ada best practice di beberapa negara yang mampu membuat regulasi pengendalian tembakau lebih kuat, dan Indonesia seharusnya bisa meniru hal yang baik tersebut untuk melindungi kesehatan anak Indonesia. ”Tapi masalahnya pemerintah kita sangat ramah terhadap industri tembakau,” ujar Ridhwan.
Ia mencontohkan negara Thailand yang memiliki BUMN tembakau namun bisa membuat regulasi pengendalian tembakau yang kuat. “Sementara di Indonesia, dimana perusahaan rokok dimiliki penuh oleh swasta, tapi kita sangat ketinggalan dalam regulasi pengendalian tembakau dan dalam penanganan konflik kepentingan antara industri tembakau dan upaya perlindungan kesehatan masyarakat,” pungkasnya. (Azwar)