Jakarta, Wartaprmbaruan.co.id – Merespon polemik RUU MK, Oase Law Firm menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema “Quo Vadis Perubahan UU MK: Lucuti Independensi, Penguatan KKN & Oligarki, ataukah singkirkan Hakim Progresif”.
Acara berlangsung selama 4 jam dengan dihadiri Prof. Dr, Ibnu Sina Chandranegara,S.H.,M.H.,Dr.Firman Wijaya, S.H.,M.H., Dr. Khairul Fahmi, S.H.,M.H., dan Fadli Ramadhanil, S.H.,M.H.serta ratusan peserta yang terdiri dari unsur Akademisi, Praktisi Hukum, Civil Society dan Mahasiswa (27/5/2024).
Acara dibuka dengan overview dari Sunandiantoro, S.H.,M.H. selaku Direktur Oase Law Firm yang mengatakan perubahan RUU MK dilakukan dengan menyalahi prosedur dan merupakan Ancaman serius bagi Hakim Progresif yang tidak tunduk pada ketiak kekuasaan.
“Revisi UU MK ini dilakukan dengan senyap dan menyalahi prosedur. Pertama, RUU MK tidak masuk daftar PROLEGNAS. Kedua, dibahas saat DPR di masa reses sedangkan Pemerintah di masa transisi, Ketiga, ruang partisipasi publik ditutup” jelas Direktur Oase Law Firm yang akrab disapa Sunan.
Ada beberapa isu krusial dibahas dalam FGD Oase, Pertama, perubahan pasal 23 A ayat (2), (3), dan (4) mewajibkan Hakim Konstitusi yang ingin melanjutkan jabatannya setelah 5 (lima) Tahun menjabat untuk meminta izin kepada Lembaga pengusul.
Menurut Prof. Dr, Ibnu Sina Chandranegara, S.H.,M.H., Hal tersebut berpotensi membuka ruang Intervensi kepada Hakim Konstitusi yang berseberangan dengan kemauan Presiden dan DPR, sehingga berakibat melucuti independensi dan imparsialitas Hakim Konstitusi.
“Kewajiban meminta ijin kepada lembaga pengusul setelah Hakim Konstitusi menjabat lima tahun berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk mengintervensi Hakim Konstitusi yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden dan DPR. RUU MK jelas-jelas melucuti independensi dan imparsialitas Hakim Konstitusi” jelas Prof. Dr, Ibnu Sina Chandranegara,S.H.,M.H.
Seharusnya keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi penyeimbang (checks and balances) terhadap kekuasaan eksekutif dan legislative, serta memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.
“Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi penyeimbang (check and balances) kekuasaan EKsekutif dan legislative karena kedudukannya sejajar dengan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. Jangan sampai Perubahan keempat RUU MK malah menguatkan praktek KKN dan Oligarki” pungkas Dr. Khairul Fahmi, S.H.,M.H.
Kedua, perubahan pasal 27A memerintahkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi beranggotakan 5 (lima) orang, 3 (tiga) diantaranya diusulkan oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
Menurut Dr. Firman Wijaya, S.H.,M.H. keterlibatan ketiga Lembaga pengusul berpotensi membuka ruang intervensi terhadap Lembaga penegak etik MK, sehingga berakibat pada independensi dan imparsialitas Majelis Kehormatan MK..
“Terlibatnya DPR, Presiden dan Mahkamah Agung sebagai pengusul tiga anggota Majelis Kehormatan MK juga berpotensi mengancam independensi dan imparsialitas” terang Dr. Firman Wijaya, S.H.,M.H. saat mengisi acara sebagai narasumber.
Ketiga, perubahan pasal 87 yang berpotensi dipergunakan oleh Lembaga pengusul untuk menyaring kembali Hakim Konstitusi yang telah (a) menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.
Menurut Fadli Ramadhanil, S.H.,M.H perubahan aturan peralihan pasal 87 RUU MK seharusnya tidak berlaku surut bagi Hakim Konstitusi yang saat ini menjabat dan sarat akan kepentingan politik lembaga pengusul.
“Aturan peralihan pasal 87 RUU MK telah menerapkan hukum yang berlaku surut bagi kelima Hakim Konstitusi yang saat ini masih menjabat. Padahal sudah ada Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang menyatakan perubahan substansi undang-undang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dalam hal ini Hakim Konstitusi” tegas Fadli Ramadhanil, S.H.,M.H, Perludem saat menjadi narasumber FGD OASE.(PR)