Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJamsostek) melanggar HAM soal klaim jaminan kematian (JKm) transpuan miskin yang ditolak.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, kasus di tingkat Pengaduan Komnas HAM, BPJamsostek diduga melanggar hak atas kesejahteraan, kesehatan, dan perlakuan diskriminatif karena menolak klaim-klaim kematian transpuan yang merupakan peserta aktif BPJamsostek.
Kasus ini sekarang sedang ditangani oleh Komnas HAM, khususnya di bagian mediasi. “Karena ada dugaan pelanggaran HAM, terutama hak atas kesejahteraan, secara spesifik juga hak atas kesehatan dan ada potensi perlakuan diskriminatif dalam klaim BPJS di mana mereka (warga transpuan-red) terdaftar sebagai peserta,” ujar Anis Hidayah dalam keterangan tertulisnya, Kamis, (4/4/2024).
Komnas HAM akan melakukan proses mediasi dengan pihak teradu, BPJamsostek. Pengaduan ini terjadi setelah Jaringan Komunitas untuk BPJamsostek yang dikoordinir Hartoyo dari Suara Kita melapor.
Jaringan Komunitas untuk BPJamsostek pada Kamis, 4 April 2024 siang, kembali melakukan pengaduan ke kantor Komnas HAM karena warga transgender lanjut usia dan miskin yang menjadi peserta aktif BPJamsostek, menolak klaim jaminan kematiannya.
Hartoyo menuturkan, BPJamsostek menolak dengan alasan yang dibuat-buat, seperti surat wasiat transgender tidak memenuhi syarat, dianggap punya penyakit menahun, dan tidak bekerja.
Padahal, lanjut Hartoyo, ketika mereka mendaftar, BPJamsostek menerimanya dan warga transgender ini secara aktif membayar iuran.
Kondisi demikian, dinilai makin ironis oleh Hartoyo, sebab BPJamsostek pada 27 Maret lalu menerbitkan surat penolakan anjuran atau rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) atas tuntutan pemenuhan hak klaim jaminan kematian warga transgender miskin.
“Masih ada 163 peserta BPJamsostek aktif dari kelompok transgender yang dikelola oleh komunitas. Artinya jika salah satu peserta tersebut meninggal, berpotensi akan ditolak klaim kematiannya oleh BPJS Ketenagakerjaan,” tutur Hartoyo.
Kekhawatiran kelompok transpuan tersebut mengacu pada kasus penolakan klaim kematian transpuan oleh BPJamsostek kantor Salemba. Terlebih, menurut Hartoyo, penolakan klaim kematian bukan hanya dialami oleh komunitas transpuan, tapi juga masyarakat lainnya yang menjadi peserta BPJamsostek
Hsrtono, lalu mencontohkan dua kasus pengaduan penolakan klaim kematian dari peserta non-transpuan yang terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan Ngawi, Jawa Timur. Alasannya hampir sama dengan yang ditimpakan kelompok transpuan.
Mengacu pada Permenaker No.5/2021 pasal 63 dan 64, BPJamsostek melakukan verifikasi hanya untuk memastikan kebenaran peserta meninggal, bukan untuk melakukan verifikasi status pekerjaan atau penyakitnya. Begitu juga perihal surat wasiat peserta BPJamsostek telah diatur dalam PP No.44/2015 pasal 40 ayat 2 poin b.4.
Hartoyo mengaku kecewa lantaran dua ketentuan atau kebijakan tersebut belum menjadi acuan bagi BPJamsostek, sehingga mengakibatkan kerugian bagi peserta BPJamsostek, termasuk kelompok transpuan.
Hartoyo juga menduga bahwa kasus penolakan klaim kematian peserta oleh BPJamsostek terjadi secara masif di seluruh Indonesia. "Padahal, setiap peserta secara sah memiliki kartu dan membayar iuran bulanan BPJamsostek, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkas Hartoyo. (Azwar)