LEBAK, Wartapembaruan.co.id — Niatnya melakukan survei bakti sosial dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2024 di tanah Baduy Desa Kanekes. Pusat kegiatan HPN itu sendiri akan dipusatkan di Jakarta.
Kanekes tergelar di punggung-punggung Pegunungan Kendeng di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Sore itu, Rabu (27/12/2023), hujan rintik-rintik yang membasahi tanah dan batu-batu di jalan membuat perjalanan tim survei bakti sosial (baksos) HPN dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat terhenti.
Mobil double gardan yang ditumpangi tim akhrinya terperosok juga ke tepi jalan ketika berbelok menuju arah Cijahe, tempat terdekat menuju Baduy Dalam.
Tim sempat berhenti di Ciranji yang berbatasan dengan Kampung Nangerang. Di Ciranji Pasir ini tim hanya bisa memandangi deretan atap bangunan rumah Baduy tersaput kabut, sambil menemui sejumlah warga Baduy Luar.
Mereka (Tim Baksos HPN) yang datang sore itu Mohammad Nasir, Karim Paputungan, Elly Sri Pujianti, Dadang Rachmat, dan istrinya yang aktif di Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI).
“Kami harus segera menyelesaikan survei ini untuk disampaikan kepada Ketua HPN 2024 pak Marthen Selamet Susanto. Apapun keputusan hasil rapat nanti,” kata Nasir.
Di Ciranji Pasir, tim bertemu Ambu (ibu) Cudi, mantan istri Jaro Saija tokoh masyarakat Baduy yang menjadi penghubung masyarakat Baduy dan pemimpin pemerintah RI. Selain Ambu Cudi, tim bertemu Ardi, Ketua RT 004/010 Cijanar, Leuwidamar yang sehari-hari mengurus 82 kepala keluarga, terdiri atas warga 174 laki-laki dan 157 perempuan.
“Ambu Cudi di sini pernah menjadi first lady. Suaminya seorang pemimpin adat nomor satu Baduy,” kata M Arif Kirdiat, Ketua Yayasan Relawan Kampung Indonesia (YRKI) yang sudah lama mendedikasikan pengabdiannya di Kanekes.
Arif Kirdiat dikenal di Kanekes di Kanekes karena yayasannya bersama donatur membangun beberapa jembatan gantung, dan fasilitas kesehatan, termasuk pos kesehatan desa di kawasan Baduy.
Arif secara sengaja mengawal perjalanan tim baksos HPN. Banyak hal yang bisa dikonsultasikan dengan Arif, terutama penanggulangan stunting (tengkes) yang menjadi tujuan utama survei.
“Memang di sini banyak orang sakit akibat gizi buruk. Makan sekadarnya hanya mengejar kenyang, tanpa memperhatikan protein dan gizi,” kata Arif yang dibenarkan Ambu Cudi.
Menurut Arif di Baduy, tidak ada istilah stunting. Yang namanya stunting di Baduy, ya gizi buruk itu.
“Kematian bayi dan ibu saat melahirkan tinggi di sini,” tambah Arif yang sudah bekerja sama dengan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia untuk menangani gizi buruk di Baduy Dalam dan Luar. Jumlahnya mencapai sekitar 15.000 penduduk.
Ular Tanah
Masyarakat Baduy yang tinggal di Desa Kanekes seluas 5.101,85 hektar itu secara diam-diam mengalami problem menghadapi berkembangbiaknya ular yang mereka sebut ular tanah. Tahun lalu korban gigitan ular yang meninggal delapan orang, dan tahun 2023 turun tiga orang meninggal. Lainnya selamat.
Ular tanah yang menggigit warga kebanyakan hidup di ladang-ladang. Ketika petani membersihkan ladang tiba-tiba ular tanah menggigit.
“Tiba-tiba celetut di kaki, ular menggigit. Kalau sudah kena gigit ular ini, tidak bisa diapa-apakan. Harus cari penawar bisa ular. Tapi di Puskesmas tidak ada obatnya. Serum anti bisa ular hanya ada di Rumah Sakit Umum di Serang. Jadi harus ke Serang,” kata Ardi.
Kalau kejadiannya malam hari, sebisa-bisanya warga mengobatinya sendiri. “Dengan jampe-jampe, doa juga,” kata Ardi, ketua RT Cijanar.
Dokter-dokter Puskemas pesan, korban gigitan ular jangan diobati secara tradisonal, jangan diisap darahnya, jangan dikeluarkan darahnya. Tetapi warga kesulitan membawa ke puskesmas kalau kejadiannya malam hari.
Pada saat hujan dan suasana dingin, ular tanah banyak yang naik ke jalan, ke bebatuan, mencari kehangatan. Akibatnya di jalan warga banyak kena gigitan ular tanah.
Masyarakat Baduy dengan berbagai suka-dukanya, sudah berabad-abad tinggal di Kanekes. Mereka tersebar di tiga kampung di Desa Kanekes yaitu Kampung Cikeusik, Cibeo, Cikartawana.
Mereka hidup mengikuti adat yang sudah ditetapkan nenek moyang, dengan Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan yang menjadi tuntunan dalam menjalani hidup. (*)