Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mencerminkan dua arus besar yaitu antara yang ingin keberlanjutan dalam artian tetap seperti kondisi sekarang ini dengan mereka yang menghendaki perubahan dan keberlanjutan (change and continuity).
Agenda perubahan memang butuh dukungan dan semangat kesukarelawanan (volunteerism) dari semua komponen masyarakat agar bisa terwujud, sehingga bisa menghasilkan kepemimpinan yang bisa membawa perubahan lebih baik.
Menurut Teguh Juwarno, seorang praktisi media yang juga caleg Nasdem dari Dapil Tegal Brebes, pada Diskusi Menara Perubahan Talks, Rabu (6/12/2023), menyoroti kondisi kehidupan bernegara yang dibaratkan seperti sebuah perusahaan, dimana jajaran eksekutif adalah para direksi, sedangkan anggota DPR nya adalah komisaris.
"Para direksi dan komisaris ini seharusnya kompak untuk memajukan perusahaan yang bernama Negara Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya justru terjadi kongkalikong antara direksi dan komisaris untuk merampok perusahan sehingga tidak menguntungkan perusahaan (negara) tapi malah justru merugikan para pemegang saham yaitu rakyat Indonesia yang seharusnya bisa hidup lebih sejahtera," ujar Teguh.
Teguh menambahkan, kondisi kehidupan rakyat yang tidak sejahtera karena kehidupan masyarakat selalu diwarnai dengan bayang bayang ketakutan dan ketidakbebasan.
Teguh mengutip hasil survei salal satu lembaga menyatakan bahwa 60% rakyat Indonesia sekarang mengalami ketakutan untuk menyuarakan ekspresi kebebasan berpendapatnya. "Mereka seolah merasa hidup bukan di alam demokrasi, tapi di alam otoriter dimana semua warga hidup dalam ketakutan dan ancaman aparat," ucap Teguh.
Teguh juga mengingatkan, Pilpres 2024 harus bisa menghasilkan kepemimpinan nasional yang memiliki ide dan gagasan besar untuk membawa Indonesia kembali menjadi negara maju dan besar.
"Oleh sebab itu rakyat perlu mengkritisi ide dan gagasan besar para calon pemimpin yang ada. Rakyat tidak boleh menukar suaranya dengan iming uang 50 ribu rupiah, yang akan ditukar dengan penderitaan selama lima tahun, karena itu merupakan bentuk penghinaan dan pelecehan kepada rakyat Indonesia," tegas Teguh Juwarno
Sedangkan narasumber lainnya, Prof Dr. Didin S Damanhuri, guru besar ekonomi pertanian dari IPB, memaparkan, di era Presiden Jokowi kehidupan berdemokrasi tidak bertumbuh, ekonomi mengalami krisis akibat wabah pandemi sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi dan hanya bertumbuh sekitar 5% walaupun pemerintah sudah menggelontorkan berbagai program populis. (Azwar)