Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, menyelenggarakan forum diskusi membahas penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri terutama di negara-negara kawasan Asia Pasifik dan Afrika di Jakarta baru-baru ini.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Ayub Basalamah mengatakan, kegiatan ini merupakan komitmen Pemerintah Indonesia untuk membangun sinergi dengan perusahaan swasta dalam menembus pasar barang dan jasa internasional.
“Kementerian Luar Negeri sebagai pembawa pesan Indonesia ke dunia dan penghimpun pesan dunia untuk Indonesia telah berhasil menjalankan fungsinya dengan baik, terutama pada bidang ekonomi. Acara-acara (sosialisasi) seperti ini sangat membantu pihak swasta untuk mengetahui peluang-peluang di luar negeri dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun sinergi dengan pihak Swasta,” kata Ayub Basalamah.
Selain sebagai media informasi mengenai potensi bisnis di pasar internasional, kegiatan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai wadah untuk menyampaikan kritik dan saran yang membangun dari pelaku usaha Indonesia kepada Pemerintah Indonesia.
Kritik dan saran yang membangun tentunya sangat dibutuhkan pemerintah untuk terus meningkatkan pelayanannya sehingga lebih efektif dan maksimal dalam mendukung peningkatan daya saing Indonesia di pasar internasional.
Wakil Ketua Umum DPP APJATI Bidang Tenaga Kerja Ahli dan Profesional, Said Saleh Alwaini, menyampaikan pandangannya mengenai regulasi yang kurang tepat dalam penempatan tenaga kerja ahli dan profesional ke luar negeri di acara tersebut.
Menurutnya, regulasi penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) saat ini masih bersifat pukul rata, dimana pengaturan antara PMI yang bekerja di sektor rentan (vulnerable sectors) dengan sektor lainnya tidak dibedakan.
“Ketika berbicara mengenai penempatan PMI sebagai asisten rumah tangga (domestic workers) dengan perawat dan insinyur ke Australia tentu prosedurnya harus dibedakan. Prosedur yang ketat dengan verifikasi berlapis sangat diperlukan untuk melindungi domestic workers karena pekerjaannya masuk ke dalam kategori vulnerable sectors.Tetapi, untuk penempatan tenaga skilled dan professional, regulasi yang terlalu ketat justru menghambat upaya peningkatan jumlah penempatan sektor tersebut” ujar Said Saleh Alwaini.
Prosedur yang ketat tersebut juga menghambat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dalam menempatkan tenaga kerja yang ahli dan profesional ke negara-negara yang potensial.
Padahal penempatan PMI yang ahli dan profesional di negara-negara tersebut dapat menghasilkan efek pengganda seperti mendatangkan permintaan ekspor barang dari Indonesia ke negara-negara tersebut.
“Kita ambil contoh PMI yang kita tempatkan di Australia. Satu waktu ketika saya berkunjung ke Australia saya mendapat request dari orang-orang yang berhasil kita berangkatkan ke sana untuk ekspor coconut husk dari Indonesia," ujarnya.
"Tentu hal seperti ini yang kita harapkan, dimana PMI yang kita kirim ke luar negeri bisa menjadi duta pemasaran produk-produk Indonesia di luar negeri,” lanjut Said Saleh Alwaini.
Kegiatan sosialisasi seperti ini tentu sangat bermanfaat untuk membuka wawasan pelaku usaha Indonesia mengenai potensi-potensi di pasar internasional.
Selain itu kegiatan ini dapat menjadi media tukar pikiran antara pihak swasta dan pemerintah untuk meningkatkan sinergi di antara keduanya.
APJATI sangat berharap Kementerian atau Lembaga lainnya, terus membuka forum diskusi seperti ini dengan para pelaku usaha, khususnya di bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan penempatan PMI ke luar negeri.
(Azwar)