Lhokseumawe, Wartapembaruan.co.id -- Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Lhoksemawe mendesak Polresta banda Aceh untuk mengusut tuntas atas kasus tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh, dan kami (SMUR) juga mendesak DPRA untuk mencabut semua yang terlibat tindak pidana korupsi yang ada didalam Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 58 orang yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi SPPD fiktif tersebut, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh mengembalikan uang kerugian negara tahun anggaran 2022 sebesar Rp 258.584.600.
Pengembalian uang hasil dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas itu dilaksanakan di Aula Polresta Banda Aceh, Kamis (7/9/2023).
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh mengejutkan publik. Lembaga yang dimandatkan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan masa konflik aceh, justru tersandung kasus korupsi.
“SMUR Lhokseumawe mendesak polresta banda aceh untuk bersikap Objektif dan adanya keterbukaan informasi kepada publik dalam menangani kasus korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh, Karna ditakutkan adanya suatu tindakan untuk menghalangi proses peradilan pidana (Obstruction of Justice ) yang dilakukan oleh polresta banda aceh. Penanganan perkara kasus tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh yang dilakukan oleh penegak hukum polresta banda aceh dianggap telah memenuhi kriteria Obstruction of Justice. Ujar Ketua SMUR Lhokseumawe, Rizal Bahari
Rizal juga menduga penyelidik dan penyidik polresta banda aceh melakukan obstruction of justice dalam perkara tersebut berupa memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana korupsi di lembaga KKR, perbuatan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur didalam pasal 221 ayat (1) KUHP.
Polresta banda aceh melakukan dugaan penghalangan keadilan (Obstruction of Justice) yang berarti suatu tindakan untuk menghalangi proses pidana, yaitu upaya untuk menghalangi dan melakukan tindakan yang menghalangi proses pidana. Dugaan Perbuatan memberikan pertolongan pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh dan dugaan tindakan Suap dapat dipandang sebagai tindakan yang menghalang-halangi proses pidana. Apabila kita kaji dengan unsur unsur tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP Sebab, ada tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk menghindari penyidikan.Ujar rizal
Sebelumnya, masyarakat aceh harus menerima fakta yang cukup pahit yaitu penghentian penyelidikan kasus tersebut oleh penyidik Polresta Banda Aceh.Kasus tersebut dihentikan usai komisioner KKR Aceh mengembalikan kerugian negara dari SPPD fiktif senilai Rp 258.584.600.
Polresta banda aceh menyelesaikan kasus ini secara Restorative Justice. Padahal kalau penyelesaian kasus itu secara Restorative Justice harus mengundang masyarakat Aceh untuk menyaksikan pengembalian kerugian negara dan pengampunan tersebut harus disetujui oleh masyarakat aceh sendiri.
Karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak pernah berdosa kepada Pemerintah, melainkan telah berdosa kepada masyarakat Aceh sendiri.
“Karena menurut teori, restorative justice adalah metode penyelesaian kasus di dalam ilmu hukum dengan menghadirkan pelaku dan korban, jadi jelas di sini korbannya adalah masyarakat Aceh bukan pemerintah,” kata rizal.
Apalagi penghentian penyidikan kasus tindak pidana korupsi tersebut kata Rizal, tidak memiliki dasar hukum.
Jika merujuk pada Pasal (4) Undang-undang tindak pidana korupsi, disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.
dengan adanya pengembalian tersebut menjadi bukti bahwasanya memang benar kkr melakukan tindak pidana korupsi dan hal tersebut harus diproses secara hukum, tidak cukup dengan pengembalian kerugian negara karena didalam undang-undang tindak pidana korupsi juga menyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana, "pungkas rizal
Seharusnya, kata Ketua SMUR Lhokseumawe, DPRA mengambil sikap yang tegas dalam kasus ini dengan memberhentikan/menggantikan anggota KKR yang terlibat korupsi.
Menurut Ketua SMUR, menggantikan para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi di KKR tersebut merupakan upaya untuk menyelamatkan hak-hak para korban konflik Aceh. Padahal,dalam Qanun Aceh
Nomor 17 Tahun 2013 pada Pasal 17 ayat (1), dijelaskan bahwa anggota KKR bisa diberhentikan karena ditetapkan sebagai terdakwa oleh pengadilan karena telah melakukan tindak pidana. Seharusnya, mereka yang terlibat dalam tindak pidana korupsi harus dihukum sesuai yang telah diatur dalam undang-undang 1945, "ujar ketua SMUR Rizal Bahari.
Ketua SMUR juga menjelaskan, perbuatan yang dilakukan oleh pihak Polresta banda aceh yaitu melakukan dugaan penghalangan keadilan (obstruction of justice) Itu harus diberikan sanksi pidana sebagaimana yang telah diatur didalam pasal 221 ayat (1) KUHP.
Dan kami (SMUR) Lhoksemawe, mendesak polresta banda aceh untuk menuntaskan kasus tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR atau tidak kami akan menyurati komisi pemberantasan korupsi (KPK), dan semua yang terlibat tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR termasuk pihak polresta banda aceh yang melakukan dugaan tindakan penghalangan keadilan (obstruction of justice) dengan memberikan pertolongan kepada pelaku korupsi, harus diberikan sanksi pidana sesuai yang telah di atur didalam undang undang 1945