Oleh: C.H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Negara itu ada karena ada tiga faktor utama, yakni ada wilayah yang berdaulat, ada rakyat sebagai suatu bangsa yang mengisi wilayah dan ada pemerintah yang mengatur rakyat dan menjaga keutuhan wilayah.
Negara yang demokratis, adalah suatu negara yang menerapkan sistem pemerintahan dijalankan secara demokratis. Disebut demokratis jika pemerintahan itu pilihan rakyat sesuai dengan sistem pemilihan yang disepakati rakyat itu sendiri.
Indonesia sudah menyepakati dalam memilih cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilakukan dengan Pemilihan Langsung melalui kendaraan bernama Partai Politik. Posisi Ketua Partai politik menjadi sangat penting karena merekalah yang mengajukan calon pemimpin negara dan pemerintahan yang akan dipilih rakyat.
Dengan peran Ketua partai sebagai lembaga politik yang bertugas menyiapkan calon pemimpin negara dan pemerintahan, menyebabkan puluhan partai politik berdiri sejak akhir masa Orde Baru. Sepertinya partai politik itu suatu usaha perseroan terbatas, yang akan mendapatkan proyek pembangunan dari pemerintah. Gejala partai politik seperti membangun suatu PT, atau CV, sudah terlihat ketika Ketua partai itu tidak pernah berganti, dan bahkan memperkuatnya dengan menempatkan anak, istri, menantu, besan, ponakan sebagai pengurus inti partai.
Gejala ini sudah terlihat sejak 18 tahun yang lalu, dimana Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya dipilih secara langsung. Demi demokrasi. One person, one vote. Hasilnya transaksi politik uang menjadi fenomena umum, masif dan terbuka dengan berbagai pola dan strategi memanfaatkan celah aturan yang memang terbuka. Misalnya memberikan sembako dengan alasan bansos, memberikan gratis biaya kesehatan. mendatangi para tokoh agama dan tokoh masyarakat, dan meninggalkan amplop berisi uang saat pamitan, bahkan ada yang menyelipkannya ke kantong tokoh-tokoh tersebut.
Kita nggak usah bicara soal pembelian kertas suara di TPS, sehingga jumlah suara yang dihitung di TPS bisa berbalik angka tiba di KPU. Tapi itu tidak mudah membuktikannya, karena sudah berjamaah dan sulit membuktikannya secara hukum.
Buah dari demokrasi reformasi 18 tahun yang lalu itu, nyata senyata-nyatanya. Seorang Bupati habis periode digantikan periode berikutnya oleh istrinya. Ada yang digantikan oleh anaknya, walaupun anaknya belum matang, ada juga diteruskan oleh ponakannya, menantunya dan sederatan keluarga sedarah. Inilah salah satu contoh bentuk politik dinasti.
Makna dinasti itu adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Sedangkan politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (anak, istri, menantu, ponakan) sedarah, sedulur, untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.
Dinasti Keluarga Presiden
Sebenarnya tidak ada yang aneh terkait dengan dinasti keluarga Presiden. Karena Presiden Jokowi hanya meniru apa yang dilakukan para Gubernur, Bupati, dan Walikota di sebagian provinsi, Kabupaten dan Kota. Berguru pada pengalaman para Kepala Daerah itu, dan ternyata rakyat tenang-tenang saja, dan para Ketua partai ikut terlibat sehingga berlangsung lancar, maka pada periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi mulai percaya diri menampilkan anak dan menantunya menjadi Walikota Solo dan Medan. Dan dalam pemilihan menang mutlak, berkat dukungan Partai Politik terbesar yaitu PDIP.
Ada pendapat yang menyatakan “Kekuasaan itu adalah candu”. Orang kalau sudah kecanduan ciri khasnya adalah kehilangan nalar, kehilangan akal sehat, kehilangan marwah, dan cenderung menggunakan segala cara untuk mendapatkan candu.
Oleh karena itu, jika seseorang sedang menggenggam kekuasaan yang diberikan rakyat, cenderung untuk tidak ingin melepaskannya. Karena itu ada Konstitusi yang mengancam akan memakzulkan Presiden jika menyalahgunakan kekuasaan itu. Tetapi namanya juga usaha, ada pihak-pihak yang mendorong Presiden maupun mungkin saja keinginan Presiden, untuk berkuasa 3 periode, atau menunda Pemilu 1 atau 2 tahun, dengan tujuan yang “mulia” menyelesaikan pembangunan yang tertahan karena Covid-19.
Ternyata, sebagian besar masyarakat pada setiap survei tidak setuju, dan ditolak Partai PDIP dimana Presiden Jokowi adalah petugas partai itu. Tiga periode kandas, perpanjangan Pemilu juga kandas, maka usaha tidak kenal menyerah dilanjutkan dengan Cawe-Cawe Presiden ke Ketua Umum Partai Politik. 6 Ketua Umum Partai pendukung pemerintah diarahkan agar Pilpres hanya diikuti 2 pasang calon. Calon dari partaI oposisi diupayakan terdiskualifikasi dengan menggunakan instrumen hukum, yakni hukum kekuasaan. Usaha ini juga gagal, karena akhirnya 3 paslon. Satu Paslon diantaranya dari oposisi melenggang masuk pendaftaran Capres dan Cawapres ke Kantor KPU.
Tetapi, tunggu dulu. Pak Jokowi memerlukan jaminan dan dapat dipastikan 100% bahwa jika berakhir sebagai Presiden, sebagai mantan Presiden akan tetap aman, tidak dijangkau hukum, dan meneruskan program-program pembangunan yang dikerjakan selama 10 tahun. Kalau sekedar “jaminan” pastilah sudah diberikan oleh Ganjar dan Prabowo, untuk melindungi Jokowi.
Sebenarnya posisi Jokowi aman di kedua kandidat Presiden (Ganjar dan Pranowo), tetapi belum tentu jika Presidennya Anies Baswedan. Rupanya tidak cukup posisi yang “aman” tersebut. Jokowi memerlukan adanya benteng pertahanan kekuasaan yang berbentuk dinasti. Maka diorbitkan darah daging Jokowi putra pertama Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Walikota Solo, tidak tanggung-tanggung dicalonkan menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo, dan didukung 4 partai senayan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN.
Ketua Umum partai itu sepertinya sudah kehilangan nalar akal sehat, beramai-ramai menyongsong anak muda usia 35 tahun dinasti Jokowi itu. Mereka itu yakin betul MK akan meloloskan Gibran untuk memenuhi sarat pencalonan. Suatu keyakinan bahwa lembaga itu memang sudah berubah fungsi menjadi Mahkamah Keluarga. Urusan keluarga akan masuk ke meja Hakim Konstitusi, dan hasilnya memang terbukti benar. Persoalan sedarah, sedulur, politik dinasti sudah masuk ke MK dan mengalir ke darah Ketua MK yang merupakan paman Gibran (adik ipar Jokowi). Karena keputusan MK final dan mengikat merupakan senjata pamungkas atas berbagai upaya hukum lainnya.
Hari ini Kamis 26 Oktober 2023, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi di pimpin Prof Jimly Asshidiqqie memimpin rapat dengan pelapor dengan terlapor Hakim Konstitusi. Sampai dimana ujungnya proses ini, apakah dapat menggagalkan pencalonan Gibran, mari kita ikuti perkembangan politik dan hukum yang sedang hangat sekarang ini.
Kita menyimak dua minggu berturut-turut Majalah Tempo edisi 16-22 Oktober 2023 dan 23-29 Oktober 2023, mengupas habis soal politik dinasti Presiden Jokowi. Edisi 16-22 Oktober 2023 cover Majalah dengan judul “Gerilya Untuk Putra Mahkota” , pada halaman 23, menulis Opini dengan judul “Skenario Culas Prabowo-Gibran”. Dan edisi 23-29 Oktober 2023 dengan Cover berjudul “Skandal Mahkamah Keluarga” dengan menulis Opini “Mahkamah yang Kehilangan Muruah”. Muruah itu adalah menjaga kehormatan diri.
Kedua Opini yang diulas Tempo secara detail itu, benar-benar menempatkan Pemimpin Negeri ini sudah kehilangan identitas diri. Kata Culas dan Kehilangan Muruah dalam suatu penulisan Majalah Tempo yang punya standar penulisan yang tinggi, ternyata sudah kehilangan kata untuk menggambarkan bagaimana politik dinasti yang dilakukan sudah pada titik kepantasan yang rendah.
Jika upaya perubahan tidak segera dilakukan, dan rakyat dininabobokkan janji manis elite politik yang sudah kehilangan akal sehat, maka pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia tahun 2045, yang katanya tahun Emas, Indonesia akan menjadi negara Dinasti Kerajaan yang bergelimang emas, dengan casing Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Azwar)
Cibubur, 26 Oktober 2023