Oleh Yayat S. Soelaeman
OPINI, Tangerang Selatan, www.wartapembaruan.co.id – Isu-isu strategis yang berkembang saat berlangsungnya Musyawarahh Nasional (Munas) Alfakes (Asosiasi Perusahaan Laboratorium Pengujian, Kalibasi, Pemeliharaan dan Perbaikan Fasilitas Kesehatan) III di Hotel Horison, Tangerang, Rabu (20/9/2023) lalu membutuhkan perhatian serius dari para pelaku usaha di dunia laboratorium pengujian kalibrasi nasional itu.
Asosiasi yang telah tiga kali melaksanakan Munas dan kini memiliki ketua umum baru untuk periode lima tahun ke depan itu (2023-2028), akan menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas hasil uji laboratorium kalibrasi alat kesehatan (alkes), termasuk menjalankan misi melakukan pengujian kalibrasi terhadap seluruh alkes di seluruh rumah sakit, puskesmas, dan sarana layanan kesehatan di Indonesia.
Ketua Umum Alfakes yang baru terpilih, Adhi Prihasto (pemilik PT Medcalindo), tidak hanya membutuhkan dukungan dari seluruh pelaku usaha laboratorium pengujian kalibrasi, tetapi lebih dari itu, ia harus mampu melakukan berbagai terobosan penting, terutama dalam memperkuat organisasi Alfakes dan membangun kerja sama yang solid, adil dan transparan dengan seluruh pelaku usaha laboratorium kalibrasi nasional.
Bidang pengujian kalibrasi terhadap alat-alat kesehatan di seluruh sarana layanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan puskesmas di Indonesia, hingga saat ini masih dianggap sebagai kepentingan nomor sekian, atau mungkin hanya menjadi bagian dari sektor pemeliharaan alkes, sehingga kebanyakan institusi sarana layanan kesehatan, rumah sakit, dan puskesmas tidak merasa wajib untuk mengkalibrasi alkes mereka.
Padahal sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 363/Menkes/Per/IV/1998 tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat Kesehatan yang mewajibkan setiap alat kesehatan yang dipergunakan di Sarana Pelayanan Kesehatan (rumah sakit, puskesmas) dilakukan pengujian dan kalibrasi secara berkala, sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Sayangnya peraturan itu kurang efektik dan tidak berjalan, dengan beberapa alasan, di antaranya, sedikitnya jumlah perusahaan laboratorium pengujian dan kalibrasi alkes (hanya ada sekitar 70 perusahaan) dan lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, demikian juga Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) milik pemerintah, hanya ada di beberapa kota besar di Indonesia.
Namun dalam tiga tahun terakhir kepengurusan Alfakes yang diketuai Dr H. Hendrana Tjahjadi, Alfakes melakukan berbagai terobosan dan pendekatan dengan para pejabat tinggi dan para pejabat pengambil keputusan, di antaranya menemui Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, anggota DPR RI di komisi terkait, pimpinan DPRD DKI Jakarta, dan pejabat pemerintahan pusat dan pemerintah daerah di bidang kesehatan.
Sedikit banyak, upaya terobosan dan pendekatan pengurus Alfakes terhadap para pejabat pengambil keputusan itu telah memberikan dorongan kuat kepada para pimpinan sarana pelayanan kesehatan untuk mematuhi Permenkes RI No. 363/1998 tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat Kesehatan, sekaligus memahami pentingnya melakukan kalibrasi terhadap alkes karena menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Betapa tidak, kini para pemimpin fasyankes, rumah sakit, dan puskesmas di seluruh Indonesia, mulai menyadari betapa pentingnya alat-alat kesehatan mereka melaksanakan pemeriksaan uji laboratorium kalibrasi setahun sekali oleh lembaga yang memiliki sertifikasi dan dilaksanakan oleh teknisi-teknisi kalibrasi yang memiliki kompetensi.
Sebelumnya, kata Dr Hendrana Tjahjadi, kesadaran rumah sakit-rumah sakit di Indonesia terhadap pentingnya kalibrasi alkes masih belum menggembirakan, sehingga Alfakes harus melakukan langkah-langkah strategis dan edukasi terus menerus, selain itu, perusahaan pengujian lab kalibrasi juga harus meningkatkan kualitas manajemen perusahaan dan para teknisi kalibrasinya.
“Melakukan pengujian dan kalibrasi terhadap alkes wajib dilakukan oleh seluruh rumah sakit, puskesmas, maupun pusat-pusat pelayanan kesehatan, sehingga alat-alat kesehatan yang ada benar-benar layak pakai,” kata Dr Hendrana.
Dikemukakan, dengan melakukan pengujian dan kalibrasi terhadap alkes, maka sesungguhnya dapat mencegah terjadinya kasus-kasus salah ukur terhadap kondisi pasien. Tanpa uji kalibrasi, maka resikonya sangat besar terhadap keamanan dan keselamatan manusia atau pasien.
Ia menduga, kalangan rumah sakit dipandang lebih mementingkan pembelian alat-alat kesehatan baru, pengadaan obat dan makanan, sedangkan upaya pengujian dan kalibrasi terhadap alkes belum menjadi prioritas.
“Pengujian dan kalibrasi alkes sesungguhnya menyangkut nyawa manusia, oleh karena itu kewajiban kalibrasi alkes menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah, termasuk pihak rumah sakit,” kata Dr Hendrana.
Laboratorium Kalibrasi terbatas
Sedikitnya jumlah perusahaan laboratorium kalibrasi di Indonesia, membuat alat kesehatan di seluruh sarana pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terlayani dengan baik. Hanya ada 70 perusahaan lab kalibrasi, yang kapasitas lab-nya hanya mampu mengkalibrasi maksimum 200.000 alkes/tahun, sedangkan jumlah alkes di seluruh sarana pelayanan kesehatan di Indonesia jumlahnya mencapai hampir dua juta unit.
“Kepengurusan Alfakes mendatang saya harapkan mampu mendorong perusahaan laboratorium anggota Alfakes untuk mendirikan cabang-cabang perusahaan di beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia, misalnya di Sulawesi, Kalimantan, Papua dan lain-lain,” kata Dr Hendrana.
Pekerjaan rumah lain, menurut Hendrana, adanya ketidaknormalan dalam penetapan tarif pengujian kalibrasi oleh perusahaan-perusahaan laboratorium, yang akhir-akhir ini cenderung turun. Turunnya tarif uji kalibrasi, menurutnya, kemungkinan karena adanya perang harga yang dilakukan oleh anggota Alfakes akibat adanya situasi yang kurang menguntungkan.
“Pengujian kalibrasi adalah bisnis besar, permintaan sangat besar, jadi seharusnya ketika supply dan demand seperti saat ini, tidak mungkin untuk terjadi perang harga. Ini anomali yang tidak seharusnya terjadi,” kata Hendrana.
Ia menduga perusahaan laboratorium kalibrasi cenderung diatur oleh pasar, salah satu alasannya adalah karena lokasi perusahaan laboratorium bertumpu di satu wilayah, dan tidak menyebar di seluruh wilayah Indonesia.
“Perusahaan laboratorium bertumpu di Jakarta dan di Pulau Jawa, beberapa ada di Sumatera, sedangkan di provinsi lain sangat kurang, bahkan tidak ada,” katanya.
Isu lain, menurutnya, Alfakes harus terus mendorong pemerintah agar mendirikan institusi pengawas lembaga kalibrasi, termasuk institusi yang mengawasi rumah sakit-rumah sakit dan puskesmas terkait pelaksanaan pengujian dan kalibrasi fasilitas kesehatan.
Tanpa ada institusi yang mengawasi, katanya, maka pimpinan rumah sakit dan puskesmas akan kembali mengabaikan kewajiban untuk melakukan kalibrasi terhadap alkes, dan akibat buruknya sangat jelas, alkes yang digunakan untuk memeriksa pasien tidak terjamin kelaikannya, sehingga sangat mungkin terjadi salah diagnosis.
Sementara itu mantan Sekjen Alfakes Mujiono Oetojo mengharapkan pengurus Alfakes ke depan dapat meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya dengan jajaran Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada), Masyarakat Metrologi Indonesia (MMI), Lembaga Standardisasi Nasional Satuan Ukuran (SNSU), atau Komite Akreditasi Nasional (KAN).
“Alfakes ke depan seyogyanya memulai membangun kerja sama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, meningkatkan kualitas pelayanan, dan menghindari persaingan internal yang kurang perlu,” katanya.
Sementara itu salah satu anggota Alfakes, Sonny Kasim, SE (Direktur PT Calibramed) mengatakan bahwa tantangan ALfakes ke depan sangat berat, sehingga membutuhkan keseriusan dari seluruh jajaran pengurus Alfakes untuk melakukan langkah-langkah strategis yang dibutuhkan.
“Selain jumlah perusahaan lab kalibrasi yang sedikit dan tidak merata di seluruh Indonesia, Alfakes ke depan harus mampu lebih mengatur dan mengayomi para anggotanya, termasuk dalam menerapkan tarif uji lab kalibrasi yang harus mampu menutupi biaya operasional perusahaan,” katanya.
Ia juga menyoroti fungsi Balai Pengamanan Fasilitas Keamanan (BPFK) milik pemerintah yang seharusnya melayani rumah sakit dan puskesmas dengan modal terbatas, namun pada kenyataannya, BPFK saat ini juga melayani rumah sakit (swasta dan pemerintah) besar, padahal BPFK menerapkan tarif kalibrasi bersubsidi yang lebih rendah, sehingga kenyataan itu mengganggu perusahaan kalibrasi swasta.
“Pengurus Alfakes ke depan harus mampu memimpin dan menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadap perusahaan lab kalibrasi, misalnya jangan membiarkan terjadi perang harga dalam penetapan tarif kalibrasi, karena pada akhirnya, anggota Alfakes akan saling bersaing dan mementingkan diri sendiri,” katanya.
Munas Alfakes
Sementara itu pada puncak kegiatan Munas Alfakes III, dilakukan pemilihan ketua umum baru. Dua kandidat yang maju dalam pemilihan langsung adalah Adhi Prihasto, ST (Direktur PT Medcalindo), dan Hanafi, ST, M.ST (Direktur SDM PT Mitra Solusi Elektromedik).
Dalam kesempatan kampanye, Adhi Prihasto menjelaskan visinya untuk menjadikan Alfakes sebagai rujukan bagi tersedianya layanan kalibrasi dan pemeliharaan alkes yang bermutu, berkualitas, dan terpercaya.
Sedangkan misinya antara lain meningkatkan kompetensi anggota Alfakes, memajukan dan menyejahterakan seluruh anggota asosiasi, serta berusaha menjaga persaingan yang sehat dan wajar di antara para anggota Alfakes.
Selain itu, Adhi Prihasto akan berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas layanan, memberikan layanan informasi terkini terkait peraturan dan peluang pasar kepada seluruh anggota, dan memperkuat jaringan kerja sama dengan pemerintah dan seluruh pihak terkait.
Sedangkan Hanafi akan mengembangkan visi menjadikan Alfakes sebagai institusi penguji dan pemeliharaan fasilitas layanan kesehatan yang profesional dan terpercaya guna mendukung transformasi kesehatan secara nasional.
Mengenai misi, Hanafi akan berjuang untuk menjaga dan meningkatkan mutu anggota Alfake, meningkatkan partisipasi anggota, memperluas jaringan dan kerja sama dengan pemerintah dan pihak berkepentingan, serta meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang Alfakes dan pengujian kalibrasi kepada masyarakat luas dan seluruh pihak terkait.
“Nilaii yang harus dikembangkan Alfakes di masa depan adalah tentang kualitas, integritas, dan keramah-tamahan,” kata Hanafi.
Dalam pemungutan suara langsung, dari 42 pemilih yang hadir, Adi Prihasto memperoleh 25 suara, sedangkan Hanafi mendapatkan 17 suara.
Beberapa pemilik perusahaan anggota Alfakes menganggap dua kandidat memiliki kelebihan dan kekuatan yang dapat memajukan Alfakes ke depan, karena itu mereka mengharapkan Adhi Prihasto sebagai Ketua Umum Alfakes mengajak Hanafi untuk bersama-sama membangun dan memajukan Alfakes.
“Hanafi memiliki visi yang bagus, terutama untuk melakukan transformasi bidang kesehatan nasional, karena itu ia layak untuk duduk di kepengurusan baru Alfakes,” kata salah satu pemilik perusahaan anggota Alfakes. (ys_soel)