Oleh: Geofani Milthree Saragih (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara)
OPINI, Wartapembaruan.co.id -- Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara baru yang muncul pada masa awal reformasi. Salah satu alasan utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah salah satu tujuan mulia reformasi, yaitu supremasi hukum. Mahkamah Konstitusi memiliki peranan penting dalam menjaga produk hukum terkhusus dalam hal ini adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang agar sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945. Maka, Mahkamah Konstitusi harus dapat dijadikan sebagai suatu lembaga yang agung dan murni agar penegakan hukum di Indonesia dapat diimplementasikan sebagaimana idealnya.
Dalam perkembangannya, lembaga ini semakin buruk Namanya. Dugaan buruk rakyat terhadap Mahkamah Konstitusi lebih kepada personal dari pada hakimnya. Sebagaimana pada saat pengujian Perpu UU Cipta Kerja di awal tahun ini, penggugat meminta agar ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman untuk tidak ikut serta dalam majelis hakim yang menangani perkara pengujian Perpu UU Cipta Kerja tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, sebagaimana yang kita ketahui bahwa UU Cipta Kerja yang kemudian diberlakukan kembali melalui Perpu Cipta Kerja merupakan Undang-Undang yang diajukan dari Pemerintah. Beberapa waktu lalu sebelum pengujian tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi menikah dengan adik Presiden Indonesia.
Memang benar bahwa kita tidak boleh menduga secara berlebihan terhadap adanya kemungkinan pengaruh asmara hakim terhadap putusannya, namun sebagai manusia yang tidak sempurna apapun masih bisa terjadi.
Terlebih karena rasa kekerabatan yang begitu kuat pada karakter orang Indonesia, jadi tidak heran apabila dugaan negatif seperti itu bisa muncul. Pemohon pengujian Perpu UU Cipta Kerja khawatir akan ada intervensi secara batin terhadap Anwar Usman dalam melakukan pengujian Perpu UU Cipta karena itu merupakan produk hukum yang diajukan oleh Presiden yang merupakan Abang Iparnya.
Terlebih lagi bahwa UU Cipta Kerja (yang kemudian menjadi Perpu UU Cipta Kerja) merupakan salah satu kampanye dan program utama dari Jokowi di masa periode kedua kepemimpinannya sebagai Presiden negara Indonesia.
Isu selanjutnya yang membuat semakin buruknya Mahkamah Konstitusi di mata rakyat Indonesia adalah dengan diberhentikannya hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto yang merupakan hakim Mahakmah Konstitusi yang diajukan oleh DPR.
Alasan yang menjadi blunder bagi DPR adalah alasan mereka dibalik mencabut Aswanto dari hakim Mahkamah Konstitusi. Bambang Wuryanto (Ketua Komisi III DPR RI) mengatakan bahwa adapun alasan utama yang membuat Aswanto “ditarik” oleh DPR dari Mahkamah Konstitusi adalah karena banyak produk-produk hukum DPR yang dianulir oleh Aswanto selama menjabat sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Makin buruknya, Bambang Wuryanto menganalogikan hubungan antara DPR pengusul dengan hakim Mahkamah Konstitusi seperti hubungan antara direksi (Aswanto, hakim Mahkamah Konstitusi suatu perusahaan dengan owner (DPR). Cara pandang demikian memposisikan hakim Mahkamah Konstitusi sebagai “orang titipan” dari DPR. Jelas ini merupakan cara pandang yang sangat keliru, seakan-akan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan tempat “titip mentitip” jagoan antara ketiga lembaga antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kejadian pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto seakan masih memiliki hubungan dengan terpilihnya hakim Mahkamah Konstitusi yang baru terpilih beberapa waktu yang lalu, Arsul Sani. Tidak ada masalah dengan personal seorang Arsul Sani, jelas beliau memiliki track record yang bagus dalam ketatanegaraan Indonesia.
Namun yang menjadi masalah adalah latar belakang beliau yang merupakan Wakil Ketua MPR RI aktif. Begitu banyak tokoh hukum yang telah memiliki jam terbang tinggi dan pengalaman yang begitu banyak, mengapa opsi jatuh kepada personal yang lebih “kaya ilmunya” di dunia poltik?. Beberapa waktu lalu sebelum terpilih, Arsul Sani memang sudah menegaskan bahwa akan muncul dari jabatannya sebagai Wakil Ketua MPR RI (DPR) dan akan mundur juga dari keanggotaan partai PPP. Benar, bahwa latar belakang seorang Arsul Sani sangat kental dengan politik, sehingga tidak heran apabila banyak orang yang mengkritik atas terpilihnya Arsul Sani sebagai hakim Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh DPR. Apakah pengajuan anggota DPR menjadi hakim Mahkamah Konstitusi merupakan kewaspadaan DPR agar produk hukum mereka kedepan dapat diamankan di Mahkamah Konstitusi? Patut untuk dinanti. Sebanyak-banyaknya ucapan yang disampaikan oleh manusia, lebih banyak yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Kalimat akhir dari opini ini yang saya ingin sampaikan adalah bahwa tidak boleh “memvonis” seseorang dengan berlebihan tentang sesuatu, namun menduga merupakan suatu sikap yang bijak, karena dugaan merupakan awal dari sikap kritis terhadap sesuatu.
Geofani Milthree Saragih merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Riau dan saat ini merupakan mahasiswa aktif di Magiter Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan konsentrasi Hukum Tata Negara. Aktif dalam penulisan jurnal dan buku hukum.