Oleh: Wahyu Atmadji: Wartawan Senior
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Satu peristiwa selalu melahirkan banyak perspektif. Pembunuhan tokoh penting, misalnya, biasanya penyidik akan memulai melacak tersangka dan menggali motifnya berdasarkan pihak mana yang diuntungkan, atau pihak yang secara tidak langsung mendapatkan keuntungan dari kasus itu.
Dalam perkara penelikungan Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bakal Cawapres, sepintas yang bersalah dan berkhianat adalah ketua Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Surya Paloh.
Pasalnya Ketua Umum Partai Nasdem ujug-ujug, tanpa persetujuan anggota KPP, mengesahkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai calon wakil presiden mendamingi Anies Baswedan yang dijagokan KPP..
Yang kebakaran jenggot, ya, Partai Demokrat tentu saja. Tetapi siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam kasus ini ?.
Mari kita lihat. Surya Paloh pernah dianggap berkhianat dan dosa besar di mata PDI Perjuangan karena ujug-ujug menyalonkan Anis yang nota bene lawan politik partai incumbent. Entah kebetulan atau apa, yang jelas, tak berapa lama dosa menteri Nasdem ditelanjangi dan menjadi tersangka korupsi, dan Nasdem diceraikan dalam koalisi PDI Perjuangan.
Ancaman Utama
Saat ini ada tiga capres. Dua capres Ganjar Pranowo dan Prabowo Subiyanto bisa dikatakan The Jokowi's Man. Hanya Capres Anies Baswedan yang jadi ancaman utama sesungguhnya. Prabowo (Gerindra) yang didukung Golkar dan PAN, awalnya juga sempat didukung Cak Imin bersama PKB yang dipimpinnya.
Jika Anis terus merangsak maju, dan akhirnya menang, berakhirlah kekuasaan PDI Perjuangan. Kalah oleh lawan politik tentu mengandung banyak konsekwensi. Beda jika yang memenangi Prabowo yang sejak awal sudah menyebut sebagai tim-nya Jokowi meski bukan calon dari PDI Perjuangan.
Celah ini agaknya yang dimanfaatkan Surya Paloh untuk "menebus dosa" atas kesalahannya pada penguasa. Ia sengaja membuang AHY dan menukarnya dengan Cak Imin. Satu pukulan telak langsung menjungkalkan Demokrat yang selama ini bersetaru dengan PDI Perjuangan utamanya sang ketua umum.
Partai Demokrat seperti dihadapkan pada jalam buntu ketika sudah siap untuk berlari kencang. Kecil kemungkinan Demokrat yang sudah menyatakan ketersinggungannya dan memilih mundur dari KPP lantas bergabung ke koalisi PDI Perjuangan. Apalagi sejak awal Demokrat seperti dimain-mainkan. Hanya di-PHP. Pilihan tinggal merapat ke kubu Prabowo bersama Golkar dan PAN. Tapi lagi-lagi itu bukan habitatnya karena Prabowo juga tim-nya Jokowi.
Kenapa Surya Paloh lebih memilih Cak Imin ketimbang AHY. Benarkah keponakan Gus Dur yang tak lagi rukun dengan keluarga mantan Ketua Umum PBNU itu lebih tinggi nilai jualnya ? Benar perolehan suara PKB dalam Pemilu 2019 meningkat menjadi 13,5%. Tetapi bukan berarti rasio tingkat keterpilihan Cak Imin sebesar itu.
Sukses Mempermalukan
Saat ini Surya Paloh telah sukses mempermalukam Demokrat dan membuat heboh koalisi KPP yang akan berdampak pada perolehan suara karena terjungkalnya AHY. Duet Capres Anies-Cak Imin bisa jadi nilai jualnya lebih rendah ketimbang Anis-AHY. Situasi ini juga memuluskan jalan bagi dua pasangan The Jokowi's Man tadi.
Surya Paloh selama ini kita kenal sebagai pengusaha. Dalam politik ia berperan sebagai king maker, karena sepintas, pribadinya tidak berambisi duduk di kekuasaan. Tetapi lebih kepada menempatkan orang-orangnya di posisi kunci. Setidaknya bisnisnya akan lebih aman. Jiwa pedagang yang mencari keuntungan materi, mencari keamanan dan manfaat praktis dari sana, agaknya lebih kental dibanding ambisinya menjadi penguasa.
Benarkah keputusannya yang dilakukannya sebagai ketua KPP, secara diam-diam memasukkan Cai Imin, itu murni karena kalkulasi demi kemenangan Anies semata tanpa pertibangan lain, tanpa ingin menarik keuntungan atau pengaruh pribadi dari Jokowi dan PDI Perjuangan ?
Atau mungkinkah ada pemilik kekuasan, atau yang dekat dengan penguasa, yang "mengatur" Surya Paloh sehingga berlaku demikian ?
Dalam politik semua serba mungkin. Katena dasarnya adalah kepentingan. Tak musuh atau kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.
Lawan politik dalam politik ptaktis hanya masalah waktu dan kepentingan Lawan akan dengan mudah menjadi kawan lewat cara yang tak disangka-sangka.
Demikian pula sebaliknya. Kawan politik saat ini adalah lawan politik yang tertunda.
Dalam sengkarut ini jangan terpukau manuver elit di permukaannya. Karena bisa saja ada kepentingan, agenda lain, bahkan kepentingan politik pribadi ketimbang demi kemaslahatan semua. (Azwar)