Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Yogyakarta)
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Yogyakarta)
OPINI, Wartapembaruan.co.id -- Jika tidak dalam pola ekstrim berupa versus, keduanya dapat digambarkan dalam hubungan yang lebih kalem, berupa Anis Vis a Vis Cak Imin satu misi dalam kontestasi politik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2024.
Anis dikenal politikus yang bermain dalam arena agama. Politik yang dipandang memiliki ranah berbeda dengan agama menjadi hal berbeda bagi sosok yang belakang sering dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras. Gerakan sensasional PA 212, dukungan ORMAS FPI, dan berbagai aksi menyuarakan dukungan dari kalangan Islam mempertebal citra Anis, sosok yang bermain dalan arena agama.
Muhaimin Iskandar atau dikenal Cak Imin sebaliknya, lahir dari rahim nahdliyyin suatu kubu yang seringkali diwacanakan berseberangan dengan paham Islam yang bertentangan dengan kebudayaan lokal. Kubu, penolak Islam sebagai kebdaraan politik melalui slogan “Islam, yes, partai Islam, no”.
Kemana Gerakan Islam Garis Keras
Kelompok pendukung Anis sering dicitrakan sebagai kelompok Islam garis keras. Tidak dalam arti politik praktis, semangat mereka sering diterjemahkan sebagai usaha untuk memperjuangkan nilai Islam dinilai frontal.
Sebenarnya apakah ada Islam garis keras? Maka kemana gaungnya, kelompok yang seringkali dikenal kontra dengan nilai-nilai budaya? Atau pertanyaannya dibalik, menghadapi fenomena ini bagaimana konsistensi (istiqomah) sikap kelompok nahdliyyin?
Dikatakan vis a vis adalah kewajaran bagi dua kubu berda, namun sama menonjolnya dan memiliki pengaruh besar. Kelompok nahdliyyin membawa semangat Islam Nusantara berbeda namun dalam wadah yang sama dalam dengan Islam yang disebut tadi, garis geras.
Adakah Jalan Alternatif?
Jika suara ummat, khususnya Islam, telah menyatu dalam satu suara, menyatakan dukungan kepada pasangan vis a vis ini, lantas kemana atau masih adakah suara dari (kelompok) umat lain? Jika masih, maka suara sumbang akan kesulitan menentukan sikap seperti menjatuhkan pilihan.
Katakanlah terdapat kelompok yang tidak terlibat, namun misalnya satu pemikiran dengan salah satu diantara keduanya. Satu paradigma namun ada yang tidak mengambil langkah politik praktis. Pilihan paling mungkin adalah menjadi lebih lentur.
Panggung politik senantiasa menampilkan wajah dinamis. Kepentingan bahkan menjelma ikatan yang tidak tampak berupa vis a vis di satu sisi namun begitu erat di sisi yang lain berupa kepentingan yang dalam rupa pencapresan.[*]