Semarang, Wartapembaruan.co.id -- Pameo lumrah yang menyebut jika ada tiga akademisi berkumpul maka akan ada 9 pendapat yang saling berbeda menjadi terbantahkan jika topik bahasannya sama : penegakkan hukum.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Diponegero, Dr Umi Rozah, pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Sultan Agung, Dr Rahmat Bowo Suharto serta pengamat politik Dr Ari Junaedi yang juga pengajar program pascasarjana di berbagai perguruan tinggi di tanah air secara serempak menyebut kondisi penegakkan hukum di tanah air masih memprihatinkan.
Dari acara diskusi hukum yang bertajuk “Menggugat Konsistensi Penegakkan Hukum di Indonesia yang dihelat Forum Wartawan Hukum Semarang di Semarang, Jawa Tengah (7/08 2023), Rahmat Bowo berpendapat jika benteng keadilan ingin berdiri kokoh maka penegak hukum harus konsisten menegakkan hukum.
“Inkonsistensi penegakkan hukum akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya akses keadilan bagi rakyat pencari keadilan semakin tidak terjangkau. Konsep penegakan hukum adalah penegakan hukum yang dilakukan dengan tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan,dan kebenaran,” jelas Rahmat Bowo.
Menurutnya, penegakan hukum di lembaga peradilan dilakukan dengan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang dinamis.
Sebaliknya Ari Junaedi menyoroti Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir keadilan bermuara, harusnya steril dan imun dari pihak-pihak yang berperkara. Berbagai kasus rasuah yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan staf, panitera, hakim agung bahkan sekretaris MA menunjukkan MA tidak kebal dengan
“Seharusnya MA menjaga marwahnya sebagai benteng terakhir keadilan dengan menjaga jarak dengan semua pihak yang berperkara sekalipun dengan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI). Mengingat Satgas BLBI adalah juga pihak yang berperkara, tidak seharusnya MA menghadiri pertemuan sekalipun dikemas dengan nama focus group discussion (FGD) yang diadakan beberapa waktu lalu di Bandung, Jawa Barat,”ungkap Ari Junaedi.
Senada dengan Ari, Umi Rozah berharap pola rekrutmen hakim harus dibenahi mengingat hakim tidak saja harus menggunakan logikanya tetapi juga nuraninya.
"Hakim tidak boleh terpaku pada legalistik formal, padahal subtansi keadilan bisa didapat dengan menggunakan akal dan nurani. Banyak kasus-kasus hukum diselesaikan hakim dengan pola seperti robot mekanis akibatnya produk hukum yang dihasilkan menjadi abal-abal,”papar Umi Rozah.(PR/ Red)