Oleh: Timboel Siregar (Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)
Pinang Ranti, Wartapembaruan.co.id - RUU Kesehatan sudah diketuk palu di Paripurna DPR menjadi UU Kesehatan. Disahkannya UU Kesehatan tersebut menuai protes dari banyak pihak, dengan argumentasi penolakan yang beragam, baik dari sisi formil maupun materiilnya.
Polemik tersebut juga disertai adanya respon publik yang mengintepretasikan lain tentang isi pasal per pasal yang ada di UU Kesehatan tersebut. Dalam sebuah pemberitaan disebutkan UU Kesehatan yang baru tidak lagi mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan. Bahkan, beleid terbaru yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7) kemarin menghilangkan istilah "BPJS Kesehatan" yang tadinya ditemukan pada draf terakhir.
Argumentasi yang dibangun tersebut didasari pada intepretasi Pasal 100 RUU Kesehatan yang mengamanatkan pada ayat (1) nya yaitu Pemberi kerja wajib menjamin Kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan Kesehatan pekerjanya.
Demikian juga pada Pasal 100 ayat (3) disebutkan Pemberi kerja wajib menanggung biaya atas penyakit akibat kerja, gangguan Kesehatan, dan cedera akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tentunya Pasal 100 ayat (1) dan ayat (3) tersebut adalah kewajiban dasar pemberi kerja untuk menjamin Kesehatan dan keselamatan kerja para pekerjanya, dan oleh karenanya pasal tersebut tidak bisa diintepretasikan bahwa UU Kesehatan tidak lagi mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.
Bahwa kewajiban dasar pemberi kerja tersebut difasilitasi dan dibantu oleh Negara dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sehingga bila ada pekerja mengalami sakit, cedera, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja maka pembiayaannya ditanggung oleh BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Fakta hukumnya seluruh pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, seperti yang diamanatkan UU SJSN dan UU BPJS serta regulasi operasionalnya di tingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden. Baik UU SJSN dan UU BPJS masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum untuk mewajibkan pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya di seluruh program jaminan sosial.
Dalam Pasal 454 UU Kesehatan tidak menyebutkan adanya pencabutan pemberlakuan pada UU SJSN dan UU BPJS. Dengan demikian pelaksanaan Program Jaminan Sosial masih mengacu kepada UU SJSN dan UU BPJS.
Bila pemberi kerja tidak mendaftarkan dan membayarkan iuran para pekerjanya ke program jaminan sosial maka ada konsekuensi hukum berupa sanksi yang akan dikenakan kepada pemberi kerja tersebut. Sanksi tersebut diamanatkan Pasal 17 UU BPJS junto PP No. 86 tahun 2013.
Amanat UU SJSN dan UU BPJS tersebut, untuk program Jaminan Kesehatan Nasional ((JKN), ditegaskan kembali pada Pasal 411 ayat (2) UU Kesehatan yang dengan eksplisit menyatakan Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh penduduk. Ini artinya seluruh penduduk termasuk pekerja wajib ikut program JKN.
Adalah hal yang sangat keliru bila ada pihak yang mengintepretasikan bahwa UU Kesehatan yang baru tidak mengatur terkait sanksi jika ada orang yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan. Bahwa Pasal 17 UU BPJS junto PP No. 86 tahun 2013 tetap berlaku dan mengikat sebagai sanksi yang diberikan kepada seseorang yang tidak menjadi peserta JKN, dan sanksi bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan dan membayarkan iuran pekerjanya ke JKN dan seluruh program jaminan sosial yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Tentunya membaca UU Kesehatan harus juga membaca UU SJSN dan UU BPJS yang terkait dengan program JKN dan Program JKK sehingga antara UU Kesehatan dan UU SJSN dan UU BPJS saling terkait satu sama lain dan saling melengkapi. (Azwar)
Pinang Ranti, 15 Juli 2023