Iklan

Dampak Utang, Mandatory Spending Hilang

warta pembaruan
27 Juni 2023 | 7:57 PM WIB Last Updated 2023-06-27T12:57:41Z


Oleh: Dr. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc (Pemerhati Kebijakan Publik/Ketua Dewas Pusat IAI/Dosen FISIP UNAS)

Cibubur, Wartapembaruan.co.id - Kita semua sepakat dan juga Konstitusi Negara mengamanatkan bahwa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara sejahtera (WelfareState). Beberapa pasal di Konstitusi antara lain pasal 28H dan pasal 34, mengingatkan betul kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, mengatasi kemiskinan, mencerdaskan masyarakat, dan memberikan jaminan sosial kepada seluruh penduduk.

Tiga pilar utama untuk mewujudkan welfarestate itu, adalah pilar pendidikan, pilar kesehatan dan pilar meningkatkan pendapatan masyarakat (perekonomian rakyat).

Disamping  perintah Konstitusi, juga TAP MPR Nomor 10 Tahun 2001, memerintahkan kepada Presiden untuk menyediakan biaya pendidikan 20% dari APBN, serta untuk mencapai Human Development Indeks, anggaran kesehatan diupayakan mencapai 15% dari APBN.

Kekuatan hukum TAP MPR itu setingkat di bawah Konstitusi, tetapi juga setingkat di atas Undang-Undang. Lihat saja UU Nomor 12 Tahun 2011 ( pasal 7)  dan diubah menjadi UU Nomor 13/2023 Tentang Penyusunan Peraturan Per-Undang-Undangan.

UU Tentang Kesehatan  adalah UU yang merupakan urutan ketiga sesuasi pasal 7 UU 12/2011, sesudah UU Dasar 1945 dan TAP MPR. Artinya Undang-Undang Kesehatan itu tidak boleh bertentangan dengan norma hukum d iatasnya.

Itulah sebabnya mengapa UU 36/2009, mencantumkan mandatory spending untuk anggaran kesehatan sebesar minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD ( pasal 171 ayat (1) dan (2). Pemerintah dan DPR sepakat pada tahun 2009 itu untuk patuh pada pasal 28H dan pasal 34 Konstitusi dan TAP MPR Nomor 10/2001.

Terbitnya mandatory spending sektor Kesehatan itu dengan alas hukum Undang-Undang, untuk melengkapi sektor Pendidikan yang atas perintah Konstitusi ditetapkan anggaran yang harus disediakan minimal 20% dari APBN dan APBD.

Apakah dengan mandatory sepending di sektor kesehatan dan pendidikan dapat menaikkan dengan signifikan Indek Pembangunan Manusia Indonesia (HDI), ternyata belum. Kita ketahui 3 variabel indeks yang digunakan adalah kesehatan, pendidikan dan pengeluaran riil per kapitan yang disesuaikan. IPM iIndonesia tumbuh 0,003 tahun 2020, 0,49 tahun 2021, dan 0,86 pada tahun 2022. Pada tahun 2019 sempat tumbuh 0,74.

Selama 4 tahun IPM Indonesia belum berhasil tumbuh menembus angka 1.  Dengan effort dari 2 sektor saja (Pendidikan, dan Kesehatan), menghabiskan anggaran 25% dari APBN. IPM Indonesia tahun 2021 adalah 72,29 dan tahun 2022 adalah 73,15, masuk kategori “Tinggi”. Negara tetangga sudah masuk kategori “Sangat Tinggi” di atas 80.  Di banyak Negara, termasuk Indonesia bahwa IPM merupakan salah satu indikator utama untuk menilai kinerja pemerintah,  Bayangkan pemerintah setiap tahun tidak mampu menaikkan 1 poin Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. 

Dampak Mandatory Spending Kesehatan Yang Dihapus

Dari gambaran yang diuraikan di atas, dengan effort anggaran 25% dari APBN berdasarkan mandatory spending pendidikan dan kesehatan, ternyata kenaikan IPM kita tidak naik untuk masuk dalam kategori “Sangat Tinggi” di atas 80 seperti negara tetangga (Singspura, Malaysia, Thailand). Apa mungkin akan masuk kategori “Sangat Tinggi” jika mandatory spending kesehatan  dihilangkan. Artinya tidak ada kepastian besaran anggaran sektor kesehatan dari APBN setiap tahunnya. Tergantung sejauh mana Kemenkes menyusun anggaran dan ketersediaan pendapatan negara. Ada potensi alokasi anggaran APBN untuk sektor kesehatan akan kurang dari 5%. Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran?

Kementerian Kesehatan selama ini sering mengeluh kecilnya belanja kesehatan untuk UKM (Usaha Kesehatan Masyarakat),  baik berupa promosi dan preventif kesehatan. Terbesar belanja kesehatan untuk kuratif dan rehabilitatif (llayanan rujukan) dengan kebutuhan alkes dan obat2an yang  semakin meningkat. 

Rasanya tidak masuk akal jika Kemenkes dalam DIM RUU Obl Kesehatan menghapuskan mandatory spending yang diusulkan DPR sebesar 10% dari APBN dan 10% dari APBD. Patut diduga ada tekanan dari Kemenkeu, apa lagi Sekjen Kemenkes di import dari Kemenkeu. Kenapa?

Ruang fiskal anggaran APBN 2023 ini, tidak sedang baik-baik saja. Dengan total APBN 2023 sebesar Rp3000 triliun, sudah harus dikurangi sekitar Rp1.000 triliun untuk bayar utang dan cicilan. Dikurang lagi untuk sektor pendidikan Rp600 triliun (20%), sektor kesehatan Rp.150 triliun, dan dana desa sekitar Rp70 triliun. Sisanya tinggal Rp1.180 trilun. Sisa itu harus dikeluarkan untuk sektor lain yang juga besar seperti pertahanan, infrastruktur, perlindungan sosial dengan berbagai program bantalan sosial, dan juga untuk dana alokasi khusus ke daerah.

Kondisi itu, meyakini kita bahwa besarnya utang dengan cicilan yang sudah banyak jatuh tempo, berdampak terhadap keberlanjutan belanja sektor pembangunan lainnya. Kalau utang semakin “bengkak” dikhawatirkan pembangunan akan mengalami stagnan. Pengangguran akan meningkat. Kemiskian meningkat, dan derajat kesehatan masyarakat akan menurun. Penerima PBI semakin meningkat. Suatu lingkaran setan yang di dalam lingkaran itu manusia.

Semakin sempit ruang fiskal APBN menjadi alasan kuat Kemenkeu untuk menghapus mandatory spending dalam pengajuan DIM Pemerintah, dan diamini 5 fraksi dari 9 fraksi DPR Komisi IX. Kemenkes tidak berkutik, atau bahkan memang menginginkannya, tidak peduli masih banyaknya target-target program dalam RPJM 2019-2024 belum tercapai. Mungkin saja dalam pikiran pejabat birokrasi di Kemenkeu dan Kemenkes, di BPJS Kesehatan ada dana jaminan sosial yang berhasil di tarik dari peserta sekitar Rp140 triliun. cukuplah untuk bantalan pelayanan rujukan di FKTL, dan layanan primer di FKTP.

Disamping itu mengajak pihak investor untuk mendirikan RS-RS Internasional, dan memasukkan dokter spesialis asing dan aseng (?) dari pada mereka berobat ke LN, yang menurut hitungan pemerintah sampai Rp170 triliun dana keluar dari kocek 1 juta masyarakat Indonesia. Dengan RUU Obl Kesehatan, pemerintah lebih mempermudah lagi dengan menyediakan RS-RS Internasional tumbuh subur di Indonesia tentu dengan paket dokternya, dan mengambil langsung uang dari kocek masyarakat untuk mereka bawa pulang ke negeri asalnya. Itu logika yang sulit terbantahkan.

Bagaimana dengan dokter spesialis Indonesia apa tidak bisa bekerja di RS Internasional? Pasti bisa, dan dibutuhkan khususnya untuk menjadi dokter jaga. Nggak mau? Pikir dua kali, karena akan diberikan gaji tinggi. Tenaga kesehatan Indonesia akan menjadi kacung di negeri sendiri. 

Dahsyatnya dampak utang bagi keberlangsungan pembangunan manusia Indonesia, saat ini sudah menunjukkan sisi “destruktif” nya.  Perintah Konstitusi dan TAP MPR Nomor 10/2001 terkait biaya kesehatan 15% sudah dikesampingkan pada titik nol %.  Kalau Presiden Jokowi mengatakan bahwa pembangunan itu harus berkelanjutan tidak mulai dari 0 KM seperti stasiun pump bensin. Nyata Presiden Jokowi menginginkan melalui Menkes agar mandatory spending kesehatan dimulai dari nol %.

BPJS Kesehatan Akan Jadi Bantalan Biaya Kesehatan

Kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan saat ini sedang surplus puluhan triliun, membuka mata pemerintah untuk melihat potensi dana milik masyarakat yang didapat dari iuran itu sekitar Rp140 triliun, selisih sedikit dengan belanja sektor kesehatan dari APBN  2023 (Rp150 triliun), dugaan kita semakin menggairahkan Kemenkeu dan Kemenkes untuk menjadikan DJS itu sebagai bantalan pelayanan kesehatan.

Secara perlahan tapi pasti pemerintah akan mengurangi dana PBI, bahkan sampai hari ini belum ada kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan dan PBI itu di sektor mana, apakah sektor kesehatan atau sektor social security, atau ikut hilang bersama belanja sektor kesehatan. Boleh saja pemerintah mengurangi dana PBI asalkan pendapatan masyarakat makin meningkat dan lapangan kerja terbuka lebar.

Konsekwensinya persoalan cost sharing dalam pelayanan kesehatan akan muncul lagi kepermukaan. Terutama penyakit katastropik dan chronic, yang memerlukan belanja obat yang mahal, pihak BPJS Kesehatan mungkin tidak sanggup lagi membiayainya secara penuh. BPJS Kesehatan dengan tekanan keadaan termasuk besarnya utang belanja negara, harus bermanuver mempertahankan diri dari iuran peserta yang tidak mudah dan sensitif jika dinaikkan. Apalagi jika PBI menciut, dan peserta menunggak semakin banyak.

Jika Pemerintah tidak melakukan proteksi terhadap BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab dan dibawah langsung Presiden akan kembali mengalami “bleeding” yang mengancam hidup BPJS.

Kesimpulan

Kalau jargon para stakeholder kesehatan  dalam aksi demonya Tolak RUU Obl Kesehatan, dirasa belum cukup.  Harus dilengkapi dengan jargon: *STOP BERUTANG, TUNDA MEMBAYAR UTANG.* (Azwar)

Cibubur, 28 Juni 2023

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dampak Utang, Mandatory Spending Hilang

Trending Now

Iklan