Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Partai Buruh dan organisasi serikat buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senin (17/4). Aksi ini merupakan rangkaian aksi yang rutin diselenggarakan setiap hari Selasa. Tetapi karena hari Selasa bertepatan dengan hari terakhir kerja sebelum libur hari raya, aksi dimajukan menjadi hari Senin.
Presiden Partai Buruh mengatakan, dalam aksi ini Partai Buruh akan mengusung tiga isu. Pertama, cabut omnibus law UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kedua, cabut parliamentary threshold yang menciderai demokrasi dan melanggengkan oligarki. Dan ketiga, sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
“Massa aksi berasal dari Jabodetabek, kurang lebih berjumlah 500 orang,” kata Said Iqbal.
Iqbal menjelaskan, terkait dengan buruh, ada 9 isu yang dipersoalkan dalam UU Cipta Kerja. Mulai dari upah murah (upah minimum tidak dirundingkan dengan serikat buruh), outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan (perbudakan modern/modern slavery), buruh dikontrak terus-menerus tanpa periode, pesangon rendah, PHK dipermudah, istirahat panjang 2 bulan dihapus, buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan melahirkan tidak ada kepastian mendapatkan upah, buruh yang bekerja 5 hari dalam seminggu hak cuti 2 harinya dihapus, jam kerja buruh menjadi 12 jam sehari karena boleh lembur 4 jam per hari sehingga tingkat kelelahan dan kematian buruh akan meningkat, buruh kasar tenaga kerja asing mudah masuk, dan adanya sanksi pidana yang dihapus.
Sedangkan untuk petani, yang dipersoalkan adalah terkait dengan keberadaan bank tanah yang memudahkan korporasi merampas tanah rakyat. Hal lain yang dipersoalkan adalah diperbolehkannya importir melakukan impor beras, daging, garam, dan lain-lain saat panen raya. Serta dihapusnya sanksi pidana bagi importir yang mengimpor saat panen raya.
Mengenai penolakan terhadap parliamentary threshold, Said Iqbal menyebut kebijakan ini menghidupkan kembali demokrasi terpimpin dan mempertahankan oligarki partai politik.
"Dalam simulasi, bilamana partai politik dalam Pemilu 2024 mendapatkan 30-40 kursi di DPR RI, maka ada kemungkinan bisa tidak lolos parliamentary threshold. Karena meskipun mendapatkan 30 - 40 kursi DPR RI, tetapi bisa saja suara yang didapat di bawah 4% suara sah nasional," kata Said Iqbal.
"Bayangkan sebuah partai politik yang memenangkan Pemilu 2024 dengan 40 kursi tidak bisa duduk di Senayan hanya karena perolehan suaranya kurang dari 4% sah nasional 2024," jelasnya.
Dia melanjutkan, dengan demikian 40 kursi partai politik tersebut dibajak oleh parpol yang ada di parlemen. Oleh karena itu, Partai Buruh meminta parliamentary threshold 4% dicabut atau _parliamentary threshold juga dimaknai 4% dari jumlah kursi di DPR RI, yang besarnya adalah 4% x 580, yaitu 23-an kursi.
Isu lain yang juga akan disuarakan dalam aksi ini adalah mendesak agar RUU PPRT yang sudah 18 tahun belum juga disahkan segera disahkan.
Menurut Said Iqbal, RUU PPRT diperlukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pekerja rumah tangga. Di mana mereka hingga saat ini tidak memiliki kepastian terkait jam kerja, upah, dan jaminan sosialnya.
"Mengapa RUU PPRT yang diharapkan untuk segera disahkan tak kunjung disahkan, padahal sudah 18 tahun. Tetapi giliran UU Cipta Kerja yang ditolak kaum buruh dengan cepat segera disahkan? DPR ini mewakili siapa sebenarnya?" pungkas Said Iqbal. (Azwar)