Wartapembaruan.co.id, Masih saja ada orang yang mempersoalkan Pancasila itu bukan ideologi negara. Pendapat serupa ini bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis praktis dalam mewujudkannya untuk tata kelola negara. Sebab semuanya sampai hari ini memang masih samar-samar -- tak jelas dalam wujud apa implementasinya, sehinga yang dominan justru perilaku korup di mana-mana. Tentu saja, ini bukan buah dari Pancasila yang harus dipetik segenap warga bangsa Indonesia. Karena Pancasila itu acap disebut juga sebagai falsafah bangsa.
Lalu ada pula pihak lain yang menganggap keliru ketika Pancasila diposisikan sebagai falsafah bangsa yang kemudian dijadikan ideologi negara. Khusus dalam kasus falsafah bangsa yang ditarik masuk menjadi ideologi negara, ada banyak hal yang tercecer, sehingga terkesan banyak muatan nilainya yang hilang dari falsafah bangsa itu, meski tak juga masuk menjadi bagian dari nilai-nilai ideologi negara yang perlu menjadi pakem dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai abdi negara.
Ibarat boyong-boyong ketika pindah rumah atau kantor, ya wajar saja toh, banyak juga barang dan perkakas lain yang tertinggal -- atau tidak terbawa saat pemindahan dilakukkan dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Lalu ada juga pihak yang menyangsikan bahwa Pancasila sebagai falsafah bangsa telah tergradasi nilai filosofisnya karena dijadikan pakem ideologi negara. Sehingga pemahaman, pendalaman dan penghayatan pada nilai-nilai Pancasila yang utuh sebagai falsafah yang telah menghujam dalam hati dan jiwa segenap warga bangsa Indonesia jadi goyah. Penyebab utamanya karena implementasi dari nilai-nilai Pancasila tidak bisa dipraktekkan dalam tata kelola negara yang justru semakin banyak melahirkan bandit-bandit di semua lini, seperti kata Profesor Machfud MD.
Mulai dari hukum dan peradilan sampai tata aturan perundang-undangan telah diijonkan, atau diperjual- belikan seperti narkoba dan lapak judi di tengah masyarakat secara bebas.
Dalam perputaran duit yang begitu cepat dan dakhsyat itu, pangkat dan jabatan pun bisa dipesan sesuai dengan selera dan keinginan pemesan. Seperti Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah di Indonesia, termasuk dalam menentukan wakil rakyat yang tidak lagi mengutamakan suara, aspirasi serta keluhan dan kritikan rakyat. Itulah fenomena dari aksi dan unjuk rasa yang dianggap angin, tak digubris bahkan di sekitar gedung parlemen itu dipasang pagar dan kawat berduri yang angkuh. Agar gedung rakyat itu tak tersentuh oleh rakyat, yang katanya pemilik sah dari negeri ini.
Pancasila sebagai Ideologi memang harus berpatokan pada lima prinsip dasar berbangsa dan bernegara. Karena itu, Pancasila sebagai Ideologi Negara dapat dipahami sebagai suatu sistem yang dapat dijadikan asas untuk menentukan arah dari tujuan bernegara bagi bangsa Indonesia, bukan bagi penguasa.
Kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara -- seingat penulis baru gencar dilakukan semasa Orde Baru untuk menangkal Ideologi Komunis -- sehingga semakin mantap menetapkan ideologi negara Indonesia adalah Pancasila. Artinya, nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia harus tegak lurus berpijak pada sila-sila Pancasila. Dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 jelas dan tegas menyatakan bahwa upaya pembentukan pemerintahan negara Indonesia untuk melindungi segenap warga bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Begitulah susunan kemerdekaan kebangsaan bagi Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan UUD 1945. Dan sekarang telah diamandemen secara beruntun hingga menimbulkan kegaduhan dan kekacauan dalam mengelola negara.
Makna dari negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah berulang kali dipertanyakan pelaksanaan dan perwujudannya sampai hari ini
Negara yang berkedaulatan rakyat dengan dasar negara Pancasila, maka fungsi dan tujuan negara Indonesia tegas disebutkan dalam alinea pembukaan UUD 1945 bahwa untuk melindungi segenap warga bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum yang berdasarkan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, harus dan wajib diwujudkan. Jika tidak, itulah maknanya pengkhianatan terhadap cita-cita rakyat oleh pelaksana negara.
Jadi jelas untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar (UUD1945) yang pada tahun 2002 telah diamandemen sekehendak hati oleh MPR RI yang dikomando Amin Rais bersama gerombolannya yang ada di Senayan.
Padahal di dalam uraian pembukaan UUD 1945 ini disebutkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik, yang berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Sehingga proses amandemen yang dianggap legal atau kudeta konstitusi ini harus menyertakan rakyat. Karena kedaulatan milik rakyat. Dan parlemen itu sekedar wakil yang harus dan wajib mendengar, menampung dan mengedepankan suara rakyat yang diwakilinya.
Akibat dari amandemen pesanan itu pakem ekonomi Pancasila tidak lagi merujuk pada pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945 yang asli. Padahal sangat tegas dan lugas dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dan untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan untuk hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sehingga bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi tidak bisa dijual bulat-bulat kepada pihak asing maupun perusahaan swasta seperti sekarang. Jadi makna dari ayat ini jelas menandaskan bahwa sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak berdasarkan pada persaingan usaha serta sikap individual, seperti diberikan kepada pihak asing atau perusahaan milik swasta yang semakin liar dilakukan oleh pemerintah. Akibat buruknya, rakyat telah dikorbankan menjadi mangsa keberingasan dan ketamakan kaum kapitalis di negeri ini.
Ekonomi neoliberal yang berwatak Kapitalis di negeri kita sekarang, justru seperti mendapat angin untuk berkibar karena didukung pula oleh para cecunguk yang selalu mencari keuntungan pribadi tanpa perduli untuk kepentingan orang banyak.
Jadi sikap khianat pada Pancasila -- sebagai ideologi maupun sebagai falsafah hidup bangsa harus segera dikoreksi dan dihentikan praktek liarnya, sebelum menjadi bencana dan menelan banyak korban. Termasuk peran BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila). Sebab pekerjaan yang harus dan wajib dilakukan oleh BPIP adalah menerapkan ideologi Pancasila itu untuk penyelenggara negara yang semakin ramai melakukan korupsi, seperti yang semakin mengerikan terjadi sekarang ini.
Kasus transaksi yang janggal sebesar 395 triliun rupiah dan satu segerombolan anggota DPRD di Kabupaten Jambi, sungguh keterlaluan yang menyayat hati rakyat. Belum lagi sejumlah Kepala Daerah yang terus susul menyusul tertangkap tangan.
Karena itu, pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor dan perampasan aset yang bersangkutan harus segera disahkan. Kelak dalam proses pembahasan dan pengesahan hukuman mati dan perampasan aset bagi para koruptor ini, bisa ditilik siapa saja dan pihak mana pula yang merasa berkeberatan untuk diberlakukan RUU Hukuman Mati dan perampasan aset bagi koruptor ini, dapat diketahui juga keterlibatan mereka dalam perilaku buruk tersebut.
Hingga dengan pemberlakuan hukuman mati dan perampasan aset para koruptor itu dapat diharapkan aparatur negara mampu dan wajib memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam segenap gerak dan langkahnya untu menjalankan fungsi dan tugas sebagai abdi negara. Untuk ini pun jelas dapat diharapkan mampu menangkal ideologi komunis yang makin banyak meresahkan banyak pihak karena adanya indikasi akan bangkit kembali di negeri Pancasila ini.
Oleh karena itu, Pancasila yang sarat muatan nilai-nilai spiritual dapat dimaksimalkan pemahaman dan implementasinya dalam tata kehidupan bernegara untuk kemudian diharapkan bisa memperbaiki tatanan berbangsa yang lebih baik dan manusiawi bertumpu pada nilai etik profetik, illahi Rabbi.
Banten, 21 April 2023
Jacob Ereste