Wartapembaruan,co.id, Jakarta - Pernah mendengar nama Sosaku Kobayashi? Bagi pecinta novel biografi mungkin pernah membaca kisah Totto-Chan yang fenomenal dengan latar sekolah Tomoe Gakuen. Sosok Sosaku Kobayashi adalah Kepala Sekolah dalam kisah nyata tersebut. Banyak hal berbeda yang dilakukan Sosaku Kobayashi dalam mengelola Tomoe Gakuen, beberapa diantaranya mungkin dianggap tak lazim diterapkan dalam dunia pendidikan pada umumnya. Satu hal cukup mencolok dari sosok kepala sekolah ini dalam kisah tersebut adalah pada saat adegan beliau, sebagai kepala sekolah mau mendengarkan celoteh seorang gadis kecil selama 4 jam lamanya.
Hal ini menjadi menarik karena secara struktural terdapat posisi superior dan inferior antara Kobayashi dan gadis kecil Totto Chan (Tetsuyo Kuronayagi). Dimana Kobayashi sebagai orang dewasa berada di sisi superior, dan Kuronayagi sebagai siswa usia muda di pihak inferior. Lazimnya pola komunikasi superior-inferior yang terbangun pada umumnya menempatkan pihak superior sebagai komunikator (orang yang berbicara atau menyampaikan pesan) dominan, dan pihak inferior sebagai komunikan atau pendengar. Pola seperti ini kerap terlihat dalam interaksi komunikasi atasan-bawahan, orangtua-anak juga antara guru-murid.
Kisah ini menjadi salah satu inspirasi terbesar bagi penulis dalam menjalankan peran sosial sebagai seorang guru BK di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada situasi dan porsi yang tepat, seorang guru dan orang dewasa sangat perlu memberi ruang dan kesempatan pada siswa untuk dapat bebas bercerita serta menyampaikan isi hati dan kepala. Siswa punya kebutuhan untuk diapresiasi, dan bentuk apresiasi tak melulu berupa hadiah atau piagam penghargaan.
Mendengarkan siswa dengan penuh perhatian apapun topik yang dibicarakan bisa jadi adalah bentuk penghargaan tak ternilai dari seorang guru kepada muridnya. Sebagai seorang guru BK, penulis kemudian menemukan fakta di lapangan dalam keseharian, bahwa siswa perlu diakomodir kebutuhannya untuk didengarkan. Walau kebanyakan topik pembicaraan para bocah dan remaja ini terlihat tidak penting dalam standard orang dewasa, namun topik tersebut bisa jadi sangat penting bagi mereka. Siswa dan anak tidak akan mungkin dengan mudah mau bercerita kepada guru atau orangtua di saat mereka mengalami masalah, jika mereka tidak pernah didengarkan ketika sedang membicarakan topik yang remeh temeh.
Keterampilan untuk menjadi pendengar aktif yang baik mutlak perlu dimiliki oleh guru BK agar siswa bisa merasa nyaman datang ke Ruang BK sekolah untuk mencurahkan isi hati atau sekedar bercerita mengobrol santai. Kecenderungan yang terjadi saat ini, Ruang BK sekolah masih lebih sering berfungsi sebagai ruang sidang bagi siswa bermasalah ketimbang sebagai ruang konsultasi bagi siswa yang membutuhkan solusi masalah. Dalam menanggapi curahan hati siswa dan penanganan masalah pun lebih diperlukan keterampilan mendengarkan ketimbang memberikan nasihat wejangan panjang kali lebar.
Pengalaman penulis sebagai Guru BK dalam penanganan beragam kasus siswa pun ternyata jauh lebih efektif ketika tidak banyak menasihati dan lebih dominan mengambil peran sebagai pendengar. Beberapa metode penanganan masalah di Ruang BK yang cenderung minim wejangan, namun lebih banyak mendengarkan.
Resolusi Konflik
Dalam menangani konflik antara dua pihak atau lebih yang terlibat pertikaian atau selisih paham antar teman, biasanya penulis menggunakan metode Resolusi Konflik. Langkah-langkah penerapannya sangat sederhana namun sangat efektif.
Sebagai contoh kasus anggap saja terjadi selisih paham antara siswa A dan siswa B.
Langkah penanganan kasus:
Minta A menceritakan kronologi kejadian menurut versinya. B diam mendengarkan saat A bercerita. Lalu minta B mengulangi seluruh cerita A semirip mungkin di setiap urutan kata. Kemudian bergantian B yang menceritakan kronologi versinya. Dan selanjutnya A mengulangi cerita B semirip mungkin.
Bagian ini sangat penting dilakukan untuk memberi pemahaman pada siswa, bahwa untuk satu kejadian yang sama ternyata ada pendapat dan sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang pribadinya.
Minta A mengungkapkan perasaannya terkait kejadian/konflik tersebut. Lalu B mengulangi ungkapan perasaan A. Kemudian bergantian B mengungkapkan perasaannya, dilanjuitkan A mengulangi perkataan B.
Tahap ini akan menumbuhkan empati pada satu sama lain. Saling memahami perasaan satu sama lain. Saling meresapi apa yang dirasakan oleh lawannya, dan memperluas pemahaman bahwa perasaan yang dirasakan orang lain belum tentu sama dengan perasaan pribadinya.
Tahap ketiga adalah, guru menanyakan pendapat A dan B tentang kejadian tersebut, misalnya dengan kalimat:
“Menurut kalian sekarang bagaimana sih setelah saling mendengar dan berbicara. Kira-kira apakah ada pihak yang salah atau benar kah dalam hal ini?.”
Lalu beri mereka waktu untuk berpikir untuk menelaah situasi yang berlangsung. Serta memberi mereka waktu untuk melakukan koreksi diri. Sebab kebanyakan konflik yang terjadi antar siswa di lingkup sekolah umumnya melibatkan sisi salah dan sisi benar dari semua pihak yang terlibat.
Akhir dari tahap ini biasanya adalah munculnya sikap sportif dengan pengakuan kesalahan dari A dan B. Biasanya kalimat yang tercetus adalah:
“Saya salah karena tadi melakukan hal ini dan itu. Tapi saya rasanya tidak salah di bagian melakukan anu…”
Di tahap penutup setelah kedua pihak merasakan dan mengakui kesalahan masing-masing, guru cukup bertanya:
“Jadi ternyata semuanya ada salah dan benarnya ya? Lalu sekarang apa yang ingin kalian lakukan?”
Pertanyaan ini adalah pemantik yang menjadi stimulus untuk A dan B saling meminta maaf atas dasar keinginan dan keputusan sendiri. Tanpa paksaan dan tekanan atau pun perintah dari orang dewasa.
Coaching
Proses ini dapat dilakukan jika siswa datang ke Ruang BK dalam upaya mencari solusi atas masalah pribadi yang dialaminya. Ketimbang memberi saran dan nasihat, melakukan coaching dapat menjadi solusi yang lebih efektif sebab mengaktifkan nalar siswa untuk mencari jalan keluar sendiri dengan memberdayakan segala aset materil dan non materil yang dimiliki siswa. Guru BK cukup mengajukan pertanyaan-pertanyaan pemantik yang menstimulasi nalarnya untuk membangkitkan kreativitas berpikir untuk mencari solusi. Langkah coaching sederhana yang dapat dilakukan antara lain:
Validasi perasaan siswa terhadap situasi yang dihadapinya. Apabila siswa remaja masih merasa kesulitan untuk mengidentifikasi perasaannya, Guru BK dapat menggunakan alat bantu media seperti gambar-gambar, kartu atau lambang emotikon wajah yang dapat mewakili perasaan siswa saat itu. Terima perasaan-perasaan siswa, dan tanyakan apa yang menyebabkan perasaan tersebut muncul dalam dirinya.
Tanyakan kebutuhan/keinginan siswa terhadap situasi yang dihadapi. Misalnya dengan pertanyaan:
“Dengan keadaan ini, apa sih yang kamu inginkan atau kamu butuhkan?”
Ajak siswa menggali aset-aset yang dimiliki untuk dapat mewujudkan keinginannya atau untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Guru BK dapat mengajukan pertanyaan seperti:
“Kira-kira apa ya yang bisa/mau kamu lakukan supaya yang apa kamu inginkan itu bisa terwujud?”.
Tahap terakhir adalah penguatan dan penegasan yang merupakan stimulus agar siswa segera merealisasikan rencana yang sudah dirancangnya. Guru BK dapat mengajukan pertanyaan sederhana:
“Kapan nih kamu akan mulai melakukan semua rencana itu?”
Kedua metode tersebut telah diterapkan penulis selama bertahun-tahun dan terbukti 95% efektif untuk mengatasi permasalahan yang masuk ke Ruang BK sekolah. Satu kesamaan dari kedua metode di atas adalah: Guru BK lebih banyak mendengarkan ketimbang memberi wejangan dan berbicara. Tidak seperti saran dan nasihat yang terkadang berpotensi tidak sesuai untuk diterapkan pada kondisi unik setiap siswa, resolusi konflik dan coaching dapat lebih efektif karena semua solusi dan alternatif pemecahan masalah bersumber dari siswa sesuai dengan kebutuhan dan aset pendukung yang dimiliki masing-masing siswa.
Penulis : Puri Fitriani.