Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, pihaknya bakal mendaftarkan judicial review terhadap Pemenaker No 5 Tahun 2023 yang memperbolehkan pengusaha melakukan pemotongan upah sebesar 25% ke Mahkamah Agung pada bulan April ini. Dalam judicial review ini, Said Iqbal mengatakan ada sejumlah permasalahan yang ditimbulkan dari Pemenaker No 5 tahun 2023.
Pertama, Permenaker itu menunjukkan Menaker Ida Fauziyah melawan kebijakan Presiden Joko Widodo. Iqbal mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang disahkan DPR menjadi UU mengatur pengusaha tidak boleh membayar upah di bawah upah minimum.
Said Iqbal mencatat, sikap Menteri yang melawan kebijakan Presiden sangat berbahaya dan ini bukan kali pertama. Tercatat beberapa waktu silam Menaker menerbitkan Permenaker No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang diteken Presiden.
“Menaker dan jajarannya benar-benar tidak memahami dunia ketenagakerjaan. Tidak mengerti hukum,” kata Said Iqbal, Senin (10/4/2023).
Kedua, pemotongan upah 25 persen menurunkan daya beli buruh. Iqbal mengingatkan turunnya daya beli buruh mengakibatkan konsumsi berkurang sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Bukan berarti kalangan buruh menutup mata atas kesulitan yang dialami industri padat karya, tapi kebijakan yang diambil tak boleh memotong upah buruh.
“Ini akhirnya pengusaha sulit buruh juga sulit. Kalau daya beli turun buruh tidak bisa membeli barang yang diproduksi, dampaknya justru lebih besar,” tutur Said Iqbal.
Ketiga, berpotensi terjadi diskriminasi upah. Iqbal berpendapat dalam regulasi perburuhan termasuk Konvensi ILO No.133 menegaskan tidak boleh ada diskriminasi upah. Pemotongan upah ini bentuk diskriminasi terhadap buruh di perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor.
Perusahaan padat karya dengan orientasi dalam negeri akan dirugikan karena harus tetap membayar upah buruh secara penuh, tapi perusahaan yang orientasi ekspor hanya membayar upah buruh 75 persen. Akibatnya produk yang dihasilkan perusahaan padat karya orientasi dalam negeri menjadi kurang laku karena turunnya daya beli.
Keempat, perusahaan padat karya sudah mendapat beragam insentif. Misalnya, industri padat karya orientasi ekspor akan tetap mendapat profit sekalipun pesanannya berkurang. Hal itu karena perusahaan padat karya orientasi ekspor sudah menghitung keuntungan setiap barang yang diproduksi. Selain itu perusahaan sudah menerima tax holiday, keringanan bunga bank, tax amnesty, dan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah.
Ketimbang memotong upah buruh, Iqbal mengusulkan pemerintah untuk memberi keringanan dalam bentuk insentif bagi perusahaan padat karya dan padat modal yang mengalami kesulitan.
Terkait dengan Permenaker No 5/2023 tersebut, Said Iqbal juga menyoroti salah satu kriteria perusahaan yang diperbolehkan memotong upah. Di mana dalam Pasal 3 disebutkan, perusahaan yang diperbolehkan memotong upah 25% jika persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen. Itu artinya, biaya tenaga kerja dalam biaya produksi sangat kecil, di kisaran 15 persen.
“Karena biaya tenaga kerja sangat kecil, sangat kejam jika biaya tenaga kerja yang sudah kecil itu masih saja dipotong 25%,” kata Said Iqbal. Dia menyebut, kebijakan Menteri Ketenagakerjaan ini kejamnya melebihi pinjol.
Seharusnya, kata Said Iqbal, Pemerintah fokus pada komponen biaya non tenaga kerja yang prosentasenya jauh lebih besar. Misalnya dengan mengurangi atau menurunkan harga BBM dan TDL sebesar 25 persen. Bukan malah mengurangi upah buruhnya.
Said Iqbal juga menyebut pemotongan upah sebesar 25 persen adalah tindak pidana kejahatan. Hal ini mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa pengusaha tidak boleh membayar upah di bawah upah minimum.
“Ditegaskan dalam Undang-Undang, membayar upah di bawah upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan,” tegasnya.
Bilamana ditemui adanya perusahaan yang memotong upah, Said Iqbal mengaku sudah menginstruksikan kepada buruh agar segera membuat laporan polisi dengan mengadukan perusahaan atas tindak pidana membayar upah di bawah upah minimum. Hal ini, karena, ketika upah dipotong 25% saja saja perusahaan telah membayar upah di bawah upah minimum.
Untuk itu, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menghimbau kepada perusahaan untuk tidak menerapkan Permenaker No 5 Tahun 2023. Terlebih lagi, keberadaan Permenaker No 5 Tahun 2023 statusnya di bawah Undang-Undang.
“Lebih kuat Undang-Undang dibandingkan Permenaker. Undang-Undangnya tidak dihapus. Jadi kita akan gunakan Undang-Undang untuk mempidanakan pengusaha yang memotong upah 25%,” ujar Said Iqbal.
Selain mengadukan secara pidana, Said Iqbal juga menyerukan kepada buruh, bilamana perusahaan memaksa pemotongan upah, langung mengirimkan pemberitahuan mogok kerja.
Ketiga, berpotensi terjadi diskriminasi upah. Iqbal berpendapat dalam regulasi perburuhan termasuk Konvensi ILO No.133 menegaskan tidak boleh ada diskriminasi upah. Pemotongan upah ini bentuk diskriminasi terhadap buruh di perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor.
Perusahaan padat karya dengan orientasi dalam negeri akan dirugikan karena harus tetap membayar upah buruh secara penuh, tapi perusahaan yang orientasi ekspor hanya membayar upah buruh 75 persen. Akibatnya produk yang dihasilkan perusahaan padat karya orientasi dalam negeri menjadi kurang laku karena turunnya daya beli.
Keempat, perusahaan padat karya sudah mendapat beragam insentif. Misalnya, industri padat karya orientasi ekspor akan tetap mendapat profit sekalipun pesanannya berkurang. Hal itu karena perusahaan padat karya orientasi ekspor sudah menghitung keuntungan setiap barang yang diproduksi. Selain itu perusahaan sudah menerima tax holiday, keringanan bunga bank, tax amnesty, dan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah.
Ketimbang memotong upah buruh, Iqbal mengusulkan pemerintah untuk memberi keringanan dalam bentuk insentif bagi perusahaan padat karya dan padat modal yang mengalami kesulitan.
Terkait dengan Permenaker No 5/2023 tersebut, Said Iqbal juga menyoroti salah satu kriteria perusahaan yang diperbolehkan memotong upah. Di mana dalam Pasal 3 disebutkan, perusahaan yang diperbolehkan memotong upah 25% jika persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen. Itu artinya, biaya tenaga kerja dalam biaya produksi sangat kecil, di kisaran 15 persen.
“Karena biaya tenaga kerja sangat kecil, sangat kejam jika biaya tenaga kerja yang sudah kecil itu masih saja dipotong 25%,” kata Said Iqbal. Dia menyebut, kebijakan Menteri Ketenagakerjaan ini kejamnya melebihi pinjol.
Seharusnya, kata Said Iqbal, Pemerintah fokus pada komponen biaya non tenaga kerja yang prosentasenya jauh lebih besar. Misalnya dengan mengurangi atau menurunkan harga BBM dan TDL sebesar 25 persen. Bukan malah mengurangi upah buruhnya.
Said Iqbal juga menyebut pemotongan upah sebesar 25 persen adalah tindak pidana kejahatan. Hal ini mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa pengusaha tidak boleh membayar upah di bawah upah minimum.
“Ditegaskan dalam Undang-Undang, membayar upah di bawah upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan,” tegasnya.
Bilamana ditemui adanya perusahaan yang memotong upah, Said Iqbal mengaku sudah menginstruksikan kepada buruh agar segera membuat laporan polisi dengan mengadukan perusahaan atas tindak pidana membayar upah di bawah upah minimum. Hal ini, karena, ketika upah dipotong 25% saja saja perusahaan telah membayar upah di bawah upah minimum.
Untuk itu, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menghimbau kepada perusahaan untuk tidak menerapkan Permenaker No 5 Tahun 2023. Terlebih lagi, keberadaan Permenaker No 5 Tahun 2023 statusnya di bawah Undang-Undang.
“Lebih kuat Undang-Undang dibandingkan Permenaker. Undang-Undangnya tidak dihapus. Jadi kita akan gunakan Undang-Undang untuk mempidanakan pengusaha yang memotong upah 25%,” ujar Said Iqbal.
Selain mengadukan secara pidana, Said Iqbal juga menyerukan kepada buruh, bilamana perusahaan memaksa pemotongan upah, langung mengirimkan pemberitahuan mogok kerja.
“Mogok kerja adalah sesuatu yang sah untuk dilakukan, ketika mereka memotong paksa upah buruh,” pungkas Said Iqbal dengan tegas. (Azwar)