OPINI, Wartapembaruan.co.id - Adat memiliki peran strategis yang penting dalam panggung demokrasi di Indonesia. Salah satunya memperkuat partisipasi pemilih dalam agenda pemilihan umum setiap lima tahun sekali, merupakan langkah yang tak boleh berhenti dilakukan.
Sejatinya ini adalah ikhtiar pendidikan demokrasi dari yang menjewantahkan seluruh elemen masyarakat untuk memahami pentingnya ber-demokrasi dalam manifestasi kedaulatan rakyat sesuai Undang Undang Negara Republik Indonesia 1945.
Diskursus tentang gagasan demokrasi dalam bingkai adat menjadi kajian yang debatable. Sebab gagasan ini mewakili ruang kajian yang sangat distingtif, di mana konsep demokrasi yang berasal dari pemikiran Yunani Kuno, kemudian dilanjutkan dalam tradisi keilmuan Barat.
Dengan demikian, untuk melihat sejauh mana keterlibatan adat dalam penguatan dalam berdemokrasi dan melahirkan kebijakan publik, tentu saja harus melihat pola-pola partisipasi seperti apa yang digunakan masyarakat dalam kebijakan publik. Sutoro Eko (2006) membagi paling tidak ada empat pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, yakni: Pertama, Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal; kedua, Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal. Ketiga, Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publik barang -barang publik, Keempat, Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
Nah dari keempat pola di atas yang merujuk pada bagaimana penguatan berdemokrasi serta serta kuatnya partisipasi masyarakat secara aktif dalam pembuatan kebijakan hingga menentukan nasib bangsa menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan, apalagi Pemilu (Pemilihan Umum) sebuah fase utama dalam manifestasi kedaulatan rakyat, seperti layaknya membangun sebuah bangunan rumah perlu adanya fondasi kuat lagi baik dan terpelihara.
Dari hasil temuan di lapangan, setidaknya ada banyak aspek mengenai adat nan kowi yang amat kental dengan masyarakat Minangkabau khususnya yang berada di Provinsi Sumatera Barat, ihwal itu menjadi kekuatan penuh dalam pendidikan atau manifestasi peningkatan partisipasi pemilih dalam agenda pemilu (pemilihan umum).
Manifestasi Ninik Mamak dan Suku
Rumah gadang sebagai simbol kebesaran demokrasi Minangkabau masih kelihatan karismanya. Masih relevan idiom kamanakan baraja mamak, mamak baraja panghulu, panghulu baraja ka mufakaik, Mufakaik baraja ka nan bana, Nan bana baraja ka nan Ciek, Nan ciek badiri sendiri. Kata baraja dalam arti yang sebenarnya adalah belajar bukan beraja yang selama ini melekat dan benak kita, karena kata baraja ini masih kita pergunakan dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat Minangkabau.
Zaman prasejarah media berdemokrasi di tataran adat Minangkabau menggunakan medan nan bapaneh sebagai simbol demokrasinya, kemudian zaman berikutnya dikenal dengan Balerong sari atau rumah gadang. Meskipun tempatnya tidak presentatif tetapi keputusan yang diambil tetap mencerminkan kepentingan masyarakat. Bentuk sarana demokrasi yang sangat sederhana tetapi menghasilkan suatu keputusan yang brilian dan elegan.
Sejatinya adat istiadat masyarakat Minangkabau memiliki pemahaman mengenai partisipasi berdemokrasi tidak jauh berbeda dengan pemerintah memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan adat yakninya "kemufakatan"atau bisa diartikan kebuletan, kebaikan atau tujuan. Oleh sebab itu, pendidikan berdemokrasi untuk masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan khusus "adat" yang memiliki formasi dan emosional yang jelas ditengah masyarakat. Seperti halnya di Ranah Minangkabau yang memiliki komunitas terkecil yang disebut dengan kaum atau suku yang sangat kental akan pemahaman adat beristiadat.
Dengan itu, suku atau kaum adalah sarana jelas dan tepat untuk peningkatan pemahaman berdemokrasi hingga memiliki daya juang untuk meningkatnya partisipatif masyarakat dalam memilih. Perwujudan itu, akan terangkum dalam iktiar bersama yang dimulai adanya kepercayaan "trust" baik dari lembaga penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu dan masyarakat itu sendiri.
Salah satu cara untuk membangun trust atau kepercayaan yakni memberikan ruang bagi lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu hingga penyelenggara terkecil sekalipun untuk bisa melaksanakan pendidikan demokrasi dengan komunitas suku atau kaum, semisal dengan salah satu suku, seperti suku Chaniago, Patopang, Piliang dan Malayu yang berada di satu nagari tersebut. Mungkin dengan cara emosional dan pendekatan melalui meminta izin dan waktu kepada ninik mamak, datuk ataupun urang tuo suku untuk bisa mengumpulkan atau menghadirkan anak kamanakan dan kaumnya di satu wadah yang biasanya tempat berkumpul dalan suku yakninya rumah gadang atau balai balai adat, dengan menekankan akan pentingnya berdemokrasi sebagai integritas bangsa yang berdaulat dengan "goal" naiknya parisipatif kehadiran masyarakat akan datang ke TPS, alhasil pesan atau suara orang yang dihormati dalam kaum atau suku itu jelas sangat mempengaruhi peningkatan pemilih artinya peran ninik mamak sangatlah penting.
Menegaskan pemilu merupakan sarana integrasi bangsa. Sebab, bisa menyatukan berbagai perbedaan. Sekarang tinggal kita yang dapat mengeliminir virus ini dengan kembali mempelajari kearifan local sebagai kekuatan pendidikan demokrasi yang kita miliki karena kearifan local yang kita miliki masih yang terbaik dalam pergaulan hidup umat manusia di ranah Minangkabau ini.
Fungsikan elemen yang ada sesuai dengan format dari masing-masing unsur yang ada dalam tatanan masyarakat Minangkabau. Sejogjanya, dengan pemilu ini pihak telah mengembalikan demokrasi ke warna asli dari bentuk akar budaya yang kita miliki, benturan-benturan budaya tidak pernah bergesek keras. Itulah orkes simfoni hidup yang memainkan peran dan tipikalnya sesuai dengan warna asli.
Dengan kita memaknai intrumen demokrasi yang ada dalam khazanah budaya Minangkabau kita dapat menghargai hidup ini lebih baik. Rumah Gadang, Balai Balai, Suku dan Kaum serta Ninik Mamak merupakan fasilitas dan kawahcandradimuka masyarakat Minangkabau dalam berdemokrasi.
Mudah-mudahan local wisdom atau local genius yang kita miliki dapat menata bentuk demokrasi di Minangkabau lebih baik. Permasalahan timbul karena kita tidak lagi memberdayakan institusi yang kita miliki. Institusi suku dan kaum serta rumah gadang merupakan saksi yang dapat kita petik manfaat dalam meniti kehidupan di dunia ini. Itulah intisari dalam merawat jagad membangun peradaban melalui pemilihan umum (Pemilu).
Penulis: Mutia Rahmi, S.Pd (Bendahara Netfid Sumatera Barat).