Wartapembaruan.co.id, Pengasyik spiritual itu indah dan syahdu. Ketika sakit pun, dia nikmati sebagai suatu hikmah yang memberi isyarat pada dirinya sebagai hamba sahaya. Sakit perutnya yang melilit itu membangunkan kesadaran untuk mengoreksi diri. Mungkin saja tak salah dalam pola makan yang telah dia lakukan, tapi mungkin saja soal cara bagaimana dia bisa mendapatkan makanan yang harus dikunyah dengan cara yang tidak benar pula.
Seperti waktu sakit sebelumnya, dia pun mulai menyadari betapa nikmatnya kentut yang tak sepenuhnya dalam kekuasaan dirinya. Lalu dia semakin paham, ternyata dirinya tak sepenuhnya mutlak berdaulat atas dirinya sendiri. Seketika itulah dia menyadari adanya tapal batas antara dirinya dengan Sang Maha Pencipta.
Sejak itu, kawan ini semakin asyik dan khusuk berkelana mencari rumah Tuhan. Yang pasti, dia sangat yakin tak akan pernah dia jumpai di tempat maksiat. Apalagi di kantor para koruptor yang rakus dan tamak mengumbar birahi hewani yang semakin jauh dari insan mulia --manusia -- yang telah berjuluk khalifah Allah di muka bumi.
Dalam sekelebat perenungannya, dia menjadi paham wajah Fir'un yang tidak pernah dia jumpai sebelumnya. Sampai hari ini pun kisah Fir'un yang sungguh melegenda itu menjadi monumen abadi untuk diingat agar tidak sampai terprovokasi menjadi bagian dari derap barisan kekejiannya iku menuju neraka.
Dalam momentum serupa inilah dia yakin neraka dan surga itu bukan fiksi karangan manusia. Namun jelas narasinya milik Allah yang ada di mana-mana, tapi pasti satu juga adanya.
Orang Indonesia mungkin tak latah menyebutnya Yang Maha Esa. Bahkan tak hanya dijadikan bagian dari falsafah hidup yang terurai dalam sila Pancasila, tetapi juga menjadi bagian penting -- seperti ruh -- dari UUD 1945 yang terasa masih sangat sakral, meski sudah tercabik-cabik dan terabaikan entah oleh siapa mereka yang culas, dan tak pula merasa takut kualat.
Jacob Ereste
Banten, 13 Februari 2023