Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Dewan Pers mencatat laporan pelanggaran pers yang masuk didominasi hal-hal sederhana, terkait cover both side (pasal 2) dan uji informasi (pasal 3) Kode Etik Jurnalistik."Pasal 3 Uji Informasi itu saja 600-700 laporan. Jadi misalnya ada laporan masyarakat karena memuat sebuah berita yang tidak dikonfirmasi, ketika saya tanya informasi dari mana? dari press conference Pak," tutur anggota Dewan Pers Arif Zulkifli dalam Sesi IV Konvensi Media Massa: Masa Depan Jurnalisme di Indonesia' di Ballroom Grand Mercure, Medan, Rabu (8/2/2023).
Dua pembicara lainnya yakni Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Adi Prinantyo, dan Najwa Shihab dari Narasi TV.
Acara ini dipandu dosen Komunikasi Unika Atmajaya Jakarta, Fransiskus Sudiasis.
Konvensi ini merupakan rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2023 yang dipusatkan di Kota Medan, Sumatera Utara.
Sementara, lanjut Arif, pernyataan dari konferensi pers meski dilengkapi video dan rilis resmi sekalipun tak bisa dijadikan sumber berimbang dalam pemberitaan.
"Dia tidak tahu bahwa konferensi pers itu pernyataan sepihak, satu sumber dalam liputan. Nggak bisa satu sumber, dia harus menguji informasi ke sumber lain, kemudian ke pihak yang dituduh," terangnya.
"Apakah ini sudah jalan? belum sepenuhnya. Banyak (media) yang baik-baik, banyak juga yang masih jelek," ucap Arif, menambahkan.
Kemudian kewajiban media massa lainnya adalah memberi informasi kepada publik. "Apakah kita sudah menjalankan kewajiban kita untuk memenuhi publik untuk tahu?" tanyanya pula.
Arif menegaskan, sejatinya wartawan harus nyinyir terhadap apapun kebijakan pemerintah asal dibatasi dua hal, check and recheck. Wartawan tidak boleh pula memuji atau membebek pada kekuasaan.
"Karena wartawan bagian dari 'oposisi', dia harus menjadi counter attack dari pemerintah. Jadi kalau wartawan, mohon maaf, diajak ke IKN (Ibu Kota Negara) memuji, saya kehilangan argumentasi. Dia harus kirim wartawan ke sana, mengecek apakah benar yang diklaim pemerintah. Dia perlu ke Kementerian Keuangan mengecek anggarannya, apakah memang cocok," kritiknya.
Najwa dalam kesempatan itu justru mempertanyakan kemampuan media massa atau pers saat ini memulihkan lagi otoritas sebaga penyaji informasi tanpa banding.
"Karena kalau sekarang hanya berperan sebagai broker informasi, semuanya kan bisa dilakukan sendiri bahkan oleh sumber primer, setiap kementerian sekarang punya channel Youtube sendiri. Pak Mahfud tak perlu undang wartawan, bikin conference press di Youtube sudah selesai, setiap pertandingan olahraga sudah bisa live streaming, tidak perlu wartawan sebagai broker, penyampai informasi untuk memberitahu Arsenal Alhamdulillah puncak juara," urainya.
Selebritis pun demikian. Lewat sosial media, mereka bisa live Instagram tanpa perlu wartawan infotainment menunggu di depan rumahnya.
"Jadi kalau cuma jadi live broker informasi, rasa-rasanya itu sudah tidak lagi relevan. Bahwa saat ini tsunami informasi, ya kemampuan media memilih mana fakta, isu, mana propaganda, kemampuan itu masih bisa dilakukan oleh media profesional tapi kalau cuma itu makin tidak relevan," ucap feminis ini yang dikenal karena membintangi acaranya sendiri, yaitu Mata Najwa.
Berbeda dengan negara yang di dalamnya ada otoritas, menurut dia, media tak punya privilege (keistimewaan) itu. Ia berpendapat, otrokritik media hanya bisa diperoleh lewat kerja-kerja jurnalistik secara independen dan konsisten. Media harus mampu menyediakan informasi tanpa banding.
"Sekarang kita sudah begitu banyak dispute informasi, dan bagaimana media bisa melaukan kerja untuk mengatakan final yang memang deharusnya bertanggung jawanb untuk suatu peristiwa ya orang ini," tuturnya.
Tantangan berikutnya, kata dia, adalah bagaimana media massa mampu memanfaatkan teknologi.
"Mudah-mudah Hari Pers Nasional ini menjadi tonggak pengingat kita untuk terus relevan, berbenah diri, mau belajar, membongkar apa yang dipelajari dan mendapatkan ilmu yang baru, sesuatu yang sulit, yang butuh kemauan besar untuk membongkar kebiasaaan lama dan mencoba kebiasaan baru," kata dia.
Sementara, Adit mengatakan media massa memiliki kekuatan kontrol sosial, salah satunya kepada pemerintah.
Keberatan terhadap pemberitaan media massa juga bagian dari kontrol sosial. Setidaknya ada tiga mekanisme yang diatur dalam UU Pers terkait keberatan terhadap media.
"Pertama hak jawab apabila sudah dimuat, pihak yang keberatan masih keberatan maka kedua mengadu ke Dewan Pers dan dimediasi Dewa Pers. Kemudian apabila mediasi masih belum memuaskan maka baru membuka ke jalur hukum," urai Adit sekaligus mengulas keberatan Anies Baswedan atas foto berita Harian Kompas edisi 8 September 2022 lalu.
Lebih lanjut Adit optimistis jurnalisme berkualitas tidak akan ada matinya sepanjang insan-insan pers selalu menggali ide-ide kreatif. "Karena yang membuat media tetap eksis adalah mereka yang adaptif dan inovatif," tutup dia. ***