Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kondisi kebebasan sipil dan kualitas demokrasi Indonesia dalam satu dekade terakhir kian memburuk. Hal ini terverifikasi oleh laporan Democracy Index 2022 keluaran The Economist Intelligence Unit (EIU), di mana Indonesia kembali masuk kategori “demokrasi cacat”. Kebebasan sipil di ruang digital juga kian terkungkung, sebagaimana dikonfirmasi oleh laporan Freedom on the Net 2022.Kendati represi terhadap aktivisme di ruang digital semakin meningkat, aktivisme masyarakat sipil ruang publik tersebut juga meningkat, terutama di masa pandemi 2019-2021. Temuan ini dipaparkan oleh Muhammad Fajar, peneliti Institutes for Advanced Research (IFAR) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di webinar “Memperluas Aktivisme Digital di tengah Menyempitnya Ruang Sipil” yang diadakan Yayasan Tifa, Kamis, 16 Februari 2023 lalu.
“Berdasarkan 3.873 data kampanye aktivisme digital yang dilakukan organisasi gerakan sosial di media sosial selama 2016-2021, riset kami merekam bahwa periode 2019-2021 merupakan periode puncak aktivisme digital. Pembatasan mobilitas sosial di tengah begitu banyaknya kebijakan- kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat dan memperlebar jurang ketidaksetaraan antarwarga masyarakat mendorong mereka memanfaatkan ruang publik digital untuk melakukan aksi kolektif,” ujar Fajar yang merupakan salah satu dari empat peneliti “Peran Aktivisme Digital Kelompok Muda dan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Gerakan Sosial di Indonesia (2016-2021)”.
Secara tren, isu hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan lingkungan mendominasi aktivisme digital organisasi gerakan sosial, dengan publik dan pemerintah sebagai sasaran utama. Berdasarkan bentuknya, berbagi tips dan informasi dan protes daring adalah aktivisme digital yang paling banyak ditemukan. Masa pandemi juga mendorong peningkatan drastis aktivisme digital berbentuk webinar untuk mengupas isu-isu sosial-politik terkini.
Yoes C. Kenawas, kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, menjelaskan, “Bentuk aktivisme digital yang lebih agresif dan berisiko hanya dilakukan oleh sedikit organisasi masyarakat sipil. Pilihan ini tidak terlepas dari lanskap risiko aktivisme digital di Indonesia saat ini, misalnya risiko hukum dijerat dengan UU ITE atau KUHP, risiko serangan digital, ataupun seperti buzzer dan pasukan siber, yang bisa mendelegitimasi gerakan dan organisasi.”
Di tengah kritik terhadap aktivisme digital sebagai aktivisme klik (clicktivism) dan aktivisme malas (slacktivism), penting untuk mengetahui efektivitas aktivisme digital untuk mendukung pencapaian tujuan gerakan dan dampak nyatanya. Merespon kebutuhan ini, Aulia Dwi Nastiti yang juga merupakan kandidat doktor ilmu politik di universitas yang sama dengan Yoes, menjelaskan efektivitas aktivisme digital oleh masyarakat sipil di Indonesia berdasarkan studi kasus terhadap tiga aktivisme digital di media sosial, yaitu #SahkanRUUPKS, #BaliTolakReklamasi, dan #PapuanLivesMatter. #SahkanRUUPKS memiliki tingkat efektivitas paling tinggi, #BaliTolakReklamasi memiliki tingkat efektivitas menengah, sedangkan efektivitas kampanye #PapuanLivesMatter paling rendah dalam mencapai tujuan gerakan dan memberi manfaat bagi organisasi pegiat aktivisme digital.
Menurut Aulia, momentum dan viralitas di media sosial penting bagi aktivisme digital. Namun, untuk menjadi efektif, aktivisme digital perlu didukung faktor lainnya, termasuk konsolidasi antarorganisasi penggerak aktivisme, akses langsung ke pembuat kebijakan, dan intensitas kampanye. Selain itu, keragaman figur yang terlibat dalam aktivisme dapat memberikan legitimasi yang lebih.
Lebih jauh lagi, Luthfi Adam, peneliti di Monash University Indonesia, menambahkan bahwa dampak aktivisme digital dapat diukur dari partisipasi dan apati publik serta konsesi atau represi dari pemerintah. Partisipasi publik di aktivisme #PapuanLivesMatter meningkat secara signifikan, sementara dalam kasus #SahkanRUUPKS dan #BaliTolakReklamasi meningkat secara bertahap. Selain itu, aktivisme #BaliTolakReklamasi dan #PapuanLivesMatter juga meraih dukungan dari luar Bali dan Papua.
Aktivisme #SahkanRUUPKS dan #BaliTolakReklamasi sama-sama mendapatkan peningkatan respon positif dari pemerintah, sementara represi pemerintah terhadap aktivisme #PapuanLivesMatter meningkat secara drastis. “Aktivis di ketiga gerakan sama-sama mengalami represi digital, misalnya peretasan dan kampanye tandingan oleh buzzer. Tapi, aktivis #PapuanLivesMatter mengalami represi ekstrem berupa internet throttling dan shutdown,” jelas Luthfi.
Meskipun aktivisme digital meningkat secara kuantitas, mayoritas aktivisme digital dilakukan oleh organisasi yang berkedudukan di Indonesia bagian Barat. Temuan ini menyoroti masalah kesenjangan distribusi akses kepada infrastruktur internet, ekonomi, sosial, dan politik antara Indonesia Barat, Tengah, dan Timur yang belum teratasi. Di samping menutup kesenjangan digital, penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil di Indonesia Tengah dan Timur, baik dari segi institusionalisasi aktivisme digital maupun keamanan digital mendesak dilakukan untuk memperluas jangkauan dan dampak aktivisme digital di Indonesia.
“Lanskap aktivisme digital saat ini membuat organisasi masyarakat sipil lebih cakap menerapkan strategi kontra-represi dan kontra-narasi sebagai respon balik pada serangan atau dampak negatif yang muncul dari aktivisme mereka. Aspek keamanan digital dan kapasitas mengelola kampanye serta membentuk aliansi perlu dilembagakan agar tidak hilang saat pergantian anggota organisasi,” tangkas Yoes.
Menyikapi temuan dan rekomendasi penelitian, Yayasan Tifa akan menyelenggarakan rangkaian diskusi dengan pegiat aktivisme digital, serta pelatihan. Melalui rangkaian kegiatan tersebut, pegiat aktivisme digital diharapkan dapat merencanakan arah strategis aktivisme digital di Indonesia dalam merespon dinamika yang memengaruhi konteks aktivisme digital saat ini.