Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kekeliruan memahami posisi partai politik (Parpol), politisi parpol dan lembaga legislatif (DPR) karena melihatnya sepotong-sepotong dan mereduksinya semata dalam cara pandang sistem Pemilihan Umum (Pemilu).Celakanya sistem Pemilu legislatif yang proporsional dikontestasikan dan dikomparasikan baik buruknya, efektifitas dan efisiensinya antara tertutup dan terbuka.
Demikian dikemukakan Hasanudin, Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 98 (SIAGA 98) yang menilai akibatnya sistem Pemilu proporsional ini, baik tertutup maupun terbuka menjadi buruk keduanya, setidaknya dalam wacana yang berkembang karena argumentasinya yang bersifat politis.
SIAGA 98 memandang bahwa terbuka maupun tertutup dalam sistem Pemilu proporsional adalah sama-sama demokratis dan sama-sama dapat diberi landasan hukum sehingga dapat dilakukan, tergantung pembuat peraturannya (open legal policy).
“Sistem memilih legislatif dapat apa saja diterapkan, baik distrik, proporsional ataupun campuran. Diantaranya tak dapat diuji atau dipersoalkan derajat demokratisnya bahkan menolaknya sebagai tidak demokratis,” ucap Hasanuddin dalam keterangan persnya (14/01/2023).
Sebab, Aktivis 98 ini menegaskan, sistem ini dalam ruang lingkup pelaksanaan demokrasi Pemilu!.
Jadi hentikan kekonyolan memperdebatkan tertutup atau terbuka dalam sistem pemilu proporsional.
Hasanuddin menjelaskan, Dalam hal hendak dicari kesesuaian bangunan demokrasi dalam lembaga legislasi kita, maka membangun sistem rekruitmen anggota legislatif salah satu dari varian proporsional.
“Tertutup atau terbuka haruslah dilihat dan diukur dari dari cara bekerjanya legislatif kita dan sistem yang bekerja di legislatif (DPR),” ujarnya.
Menurutnya, Jika ini ditelusuri dari jejak cara bekerja dan sistem kerja legislasi DPR, yang memperlihatkan dominasi keputusan politik pada partai politik via fraksi.
“Dan bukan orang-perorang, maka semestinya Sistem Pemilu kita agar sebangun dalam konstruksi bekerja legislatif adalah sistem pròporsional tertutup,” tegasnya.
Namun kenyataannya adalah sistem yang digunakan adalah proporsional terbuka. Wajar saja, Hasanuddin berujar, karena bangunan politik legislatif kita tidak terkonstruksi dengan benar.
Setiap produk legislasi, digugat (dimohonkan) diuji kembali oleh partai politik melalui jalur hukum Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini ironis! Dan kekonyolan yang demokratis,” pungkasnya.